Cerpen 2. "Si Kapok"

91 6 0
                                    

Widya terpaksa pulang berjalan kaki untuk sampai di gerbang dari gedung fakultasnya yang berada di pojok sendiri. Hari-hari yang biasa dilaluinya dengan naik motor bersama sahabat sekaligus teman sekamarnya, Dian. Kali ini ia harus belajar untuk mandiri ke mana-mana sendiri, dengan berjalan kaki. Mulai sekarang keringatnya akan sering keluar demi menahan selembar dua lembar uang dari dompetnya.

Bagaimana tidak? Pasalnya walau Dian tidak satu jurusan dengannya, tiap hari dari semester awal hingga akhir mereka makan bersama, tidur juga dengannya. Namun nasib berkata lain perihal urusan wisuda.

Dian sudah wisuda kemarin, dan Widya hanya bisa menemaninya. Bahkan di beberapa sesi Widya membantu Dian untuk berfoto bersama teman, rekan, atau adik tingkatnya. Maklum lah, Dian kan aktivis, banyak relasinya. Sedangkan Widya, hanya seorang mahasiswi kupu-kupu, relasinya pun tak lebih dari dua puluh satu.

Dalam hati Widya begitu panas melihat pemandangan saat itu. Seharusnya hari itu adalah harinya juga memakai toga dan atribut wisuda lainnya. Tapi tak apalah, kepada siapa pula dia harus marah. Kecemburuannya bisa ditahan selama hari wisuda itu, karena jika tidak, itu akan mempermalukan dirinya sendiri.

Setelah prosesi wisuda selesai, Dian langsung boyong bersama keluarga nya ke Demak. Dia sudah tidak ngekos lagi bersama Widya. Dan yah, bisa dipastikan bagaimana kondisi Widya sekarang. Tidur sendirian, beli makan sendirian, tak ada teman main dan mengobrol, bayar uang kos dobel, kerja part time yang melelahkan. Ditambah dengan judul skripsi yang tak kunjung di terima dosen.

Sebenarnya dalam hidup Widya, ia tak sedikitpun mengeluh. Lahir dari keluarga sederhana, punya uang seadanya, makan senemunya, ia menerima semuanya termasuk kejombloannya yang sudah akut. Tetapi kondisi semester akhir yang memaksanya untuk hidup sendiri membuatnya overthinking. Belum lagi melihat sahabatnya yang sudah lulus duluan. Rasanya seperti dia sedang dikejar-kejar makhluk tak kasat mata, bingung mau lari dan bersembunyi ke mana.

Widya kira perjalanan skripsinya akan semulus Dian. Karena apa yang dilakukan Dian tidak pernah ditinggalkan oleh Widya. Widya selalu bersamanya. Belajar bersama, berdiskusi bersama, dan ke perpus bersama. Tetapi hanya karena satu masalah, Widya merasa sangat tertinggal. Itu semua adalah gara-gara JUDUL!!!

Widya sampai terheran-heran bagaimana mungkin Dian semulus itu judulnya di acc oleh dosen. Sekali mengajukan, langsung diterima tas tes tas tes, sat set sat set. Tiba-tiba sudah sidang dan lulus saja.

Sedangkan Widya? Lihatlah, dirinya begitu mengenaskan tiap kali memandang cermin.

Tubuhnya mematung dihadapan cermin yang bisa melihat seluruh tubuhnya. Dipandangnya baik-baik, pikirannya berkutat tak tau ke mana arahnya. Di bukanya kerudung pashmina yang membalut kepalanya. Terlihat rambut-rambut di ujung wajahnya basah oleh keringat yang mengucur menemani langkah kakinya.

Widya selalu lelah tiap kali habis bertemu dosen. Bahkan setelah ke enam kalinya ia mengajukan judul pada wali dosennya, judul skripsinya tak kunjung pula di acc.

Jika boleh jujur, Widya hampir saja frustasi. Ada saja kesalahan yang diperbuatnya. Judul pertama dianggap kurang menarik, judul kedua terkesan kurang menonjol tema spesifiknya, judul ketiga antara variabel dependen dengan variabel independen tidak sesuai, judul keempat entah apa alasannya suruh ganti, judul kelima dosen tetap menggeleng, sampai pada judul yang barusan ia ajukan, katanya malah suruh prariset dulu. Ditanya ini itu, ngalor ngidul. Selalu saja ada kurangnya!

Ingin rasanya Widya berteriak di depan muka dosen. Tetapi itu tindakan yang gila. Tidak mungkin dia melakukannya. Hanya Widya saja yang sampai berpikir sejauh itu.

Terus gimana dong? Bagaimanapun kemarahannya harus diluapkan. Dia tidak bisa berdiam diri terus seperti itu. Namun lagi-lagi egonya dipatahkan oleh pikiran sehatnya.

Banyak Jalan Menuju WisudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang