Cerpen 7. "Si Panik"

36 3 0
                                    

Tak ada satu kata pun yang bisa mewakili bagaimana kondisi Nabila di penghujung kuliahnya itu. Jika teman-temannya berambisi untuk lulus bersama di semester 8, bahkan di pembukaan semester 9 ia belum juga memulai skripsinya.

Nabila bingung harus bagaimana menerima penolakan terus menerus hingga membuatnya lemah dan sempat stag dua semester lamanya.

Melihat teman-temannya yang sudah sidang kompre bahkan wisuda di semester 7 membuat dadanya begitu sesak. Cemburu dan iri seketika melanda hatinya.

Bukan hanya itu, tetangga dan keluarga nya juga terus mengintimidasinya dengan pertanyaan-pertanyaan, kapan wisuda? Sudah lulus belum? Skripsinya sampai mana? Kapan nikah? Kok nggak lulus-lulus? Membuatnya seakan dihantui siang dan malam.

Bahkan teman-temannya yang sudah mengerjakan skripsi saja tak lagi menjadi tempat yang nyaman untuk dicurhati. Mereka selalu bilang, "ya ayo garap, kalau ngga digarap ya ngga mulai-mulai, kalau digarap ya cepet selesai." Ya kalau gitu Nabila juga tahu. Nggak perlu dikasih tahu. Mana bilangnya sambil nyolot lagi.

Bukannya termotivasi, kalimat itu justru membuatnya semakin tidak bisa dimengerti. Padahal temannya tahu bagaimana perjuangan Nabila mencari judul, membaca ratusan jurnal dan banyak usaha lainnya. Ia sudah berjalan, tapi nggak ada jalan.

Sampai pada suatu titik, melihat keberhasilan teman-temannya satu persatu dan cibiran dari sana sini membuatnya begitu down.

Nabila jadi murung di kos, tidak napsu makan, jantung sering berdebar, bahkan kadang merasa nyeri di beberapa bagian. Perubahan pola makan yang begitu drastis membuat berat badannya turun sampai anjlok. Ia juga mulai sensitif terhadap apapun.

Contohnya saja ketika ditanya adik tingkatnya lewat japri mengenai wisuda dan kelulusannya, Nabila seketika marah, tersinggung dan langsung update status di story wa nya sampai berkali-kali.

Kalian tuh kenapa sih, nanyain Aku kapan lulus terus. Gk tau apa itu pertanyaan sensitif buat mahasiswa semester tua!

Sebel bgt ma orang yg suka manas-manasin pake kata "kapan wisuda?"

Dan beberapa story keluh kesah lainnya.

Merasa tidak memiliki teman dan hidup sendirian di tengah kampus dengan jutaan mahasiswa ambis, akhirnya Nabila memutuskan untuk pergi ke psikolog dalam rangka berkonsultasi bagaimana seharusnya ia bertindak.

Singkat cerita, Nabila menemui psikolog beberapa kali. Namun itu tak membawa perubahan banyak dalam dirinya. Ia masih tetap saja sensitif dengan semua orang, dan mulai menutup diri. Entah apa sebabnya, bisa jadi psikolognya belum mendalami kasus atau barangkali Nabila sendiri yang tidak berniat untuk merubah dirinya.

Suatu ketika, saat Nabila berkonsultasi di salah satu biro layanan psikologi di Semarang, ia bertemu dengan seseorang yang sama-sama ingin berkonsultasi.

Berawal dari iseng-iseng ngobrol tanya nama dan asal, lama kelamaan mereka berdua mulai berbincang lebar sampai keduanya merasa akrab. Dan pada suatu pembicaraan tertentu, tak sengaja mereka sharing ternyata kasus mereka berdua sama. Dilema mahasiswa semester tua yang nggak lulus-lulus.

Perempuan itu lebih tinggi dari Nabila, wajahnya agak kecoklatan, namun auranya memancarkan kedamaian sejak pertama kali Nabila berjumpa dengannya.

Namanya adalah Khodijah. Khodijah adalah salah satu mahasiswa di kampus swasta yang ada di Semarang, pakaiannya lebih tertutup ketimbang Nabila. sedangkan Nabila adalah mahasiswa di kampus Negeri.

Merasa belum cukup hanya berbincang sederhana, mereka akhirnya memutuskan untuk pergi berdua di suatu tempat. Istilahnya ngopi lah yah. Untuk melanjutkan obrolan yang deep talk.

Banyak Jalan Menuju WisudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang