Cerpen 4. "Si Patah"

44 5 0
                                    

Dimas menyeduh kopi hitam dengan tangannya sendiri. Bibirnya khusyuk menikmati tiap tetes dalam gelas berukuran mini. Sambil sesekali menghisap juara (merk rokok) miliknya yang tinggal seujung jari, dipandangnya lekat-lekat hamparan awan menggantung dengan indah nan bertepi. Udara dingin tak begitu mencekam karena cahaya surya memeluknya dengan hangat sehangat pelukan kekasih.

Pendakiannya kali ini dalam rangka mengusir sepi yang bertengger di dadanya bertahun-tahun lalu tak mau pergi. Beribu cara telah dilakukannya sampai saat ini, namun nihil tak satupun dari banyak caranya yang bisa mengusir bayangan Eli.

Perempuan manis yang memiliki pipi tirus dengan tahi lalat di sudut alisnya yang tebal itu membuatnya siang dan malam tak bisa tidur.

Dimas masih belum bisa melupakan Eli walaupun sudah berusaha mendaki berkali-kali. Berharap dengan kesibukannya itu dapat menghilangkan secuil dari banyaknya rasa kecewa yang tumpah dalam hatinya gara-gara ulah mantannya itu.

Meski teman-temannya sibuk berfoto cekrak cekrek sana sini, Dimas tak memiliki gairah. Ia sama sekali tidak minat. Baginya seindah apapun pemandangan yang ada di depannya, masih belum ada apa-apa nya dengan indahnya kenangan bersama Eli.

Lihatlah kicau burung yang saling berkejaran itu, yang ia lihat hanya dirinya dengan Eli sedang berlari kejar-kejaran. Tengoklah gumpalan awan yang mengambang di sisi selatan sana, matanya menangkap dirinya dengan Eli yang sedang becanda sambil melempar satu dua popcorn padanya. Lalu di ujung barat sana, terhampar bukit-bukit yang menjulang tinggi, juga rumah-rumah yang teramat kecil, namun matanya hanya menangkap ada wajah Eli yang sedang bersembunyi di balik bukit itu.

"Mas, sini. Kamu nggak mau foto?" ajak Erik setengah memaksa.

Dimas pun menghampirinya dan berpose di belakang papan bertuliskan,

Top Puncak
ATAP JAWA TENGAH
3428 mdpl

dengan senyum palsu beberapa kali. Tubuhnya yang dibalut kemeja eiger blackborneo dengan celana lapangan everest dan sepatu treksta yang setia menemaninya sejak pertama kali mendaki itu lantas bergaya seadanya.

********

Pukul 05:30

Jangan lupa besok pagi kita akan sidang. Persiapkan semuanya dengan matang yah Mas.

Dibaca nya pesan wa yang terlihat dari notifikasi.

Lelaki sepuh yang suaranya begitu lembut bahkan setiap orang yang mendengarnya bisa langsung mengantuk itu adalah Pak Budi, dosen pembimbing 1 dalam proses skripsinya.

Beliau memang terkenal dosen yang sangat friendly, Dimas sangat beruntung mendapat dospim seperti Pak Budi, teman-teman lainnya tak jarang banyak yang iri. Namun mereka tidak tahu saja, walaupun Pak Budi memang sangat baik dan bersahabat, tapi kalau sudah urusan skripsi, masalah revisiannya begitu banyak.

Itu dialami oleh Dimas, entah sudah berapa kali terhitung suruh revisian, padahal baru sampai bab 3. Tapi Dimas sudah lebih dari 3x revisi.

Untungnya Dimas anak yang rajin, dia juga tidak pernah mengeluh. Jadi pantas saja di saat teman-teman belum apa-apa, dia sudah melesat duluan.

Dan sekarang, skripsinya sudah berada di tahap akhir. Dari mulai bab 1 sampai 5, sudah digarap olehnya. Kini Dimas tinggal mempersiapkan ujian saja.

Ujian yang benar-benar ujian terakhir kalinya. Setelah itu ia bisa lulus dan langsung wisuda.

"Njih Pak. Siap. Minta doanya ya Pak," balasnya dengan satu emot senyum.

"Iya Mas. Bapak doain terus. Moga bisa menjawab seluruh pertanyaan penguji yah. Lancar semuanya, Aamiin."

Banyak Jalan Menuju WisudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang