Abang, ini ibu kirim kue bawang ke tempatmu ya.
Terdengar suara ibu dari seberang. Yup, ibu sedang meneleponku.
" Iya bu, makasih. Ibu tidak usah memaksakan diri untuk memasak ya, khawatirnya kecapekan" kataku sambil mengerjakan tugas kantor yang ku lanjutkan di rumah.
Ibu tidak repot bang. Kamu tahu sendiri kan, kalau ibu suka memasak.
" Iya, tapi tidak usah kirim – kirim ke abang juga. Kalau kirim ke abang kan berarti ibu buatnya banyak" kataku lagi. Aku sebenarnya hanya khawatir jika ibu sakit lagi karena kelelahan. Ibu sering vertigo.
Nggak repot sama sekali. Tadi dibantu sama adikmu
" Adik di rumah bu ?" tanyaku.
Adikku sekarang sudah kuliah semester tiga. Memang dia kuliah di kotaku, tapi karena perjalanannya jauh, adik memilih untuk kos. Ayah dan ibu awalnya keberatan, tapi setelah melihat aktivitas adikku akhirnya mengijinkan juga walaupun harus dengan syarat setiap akhir pekan harus pulang. Ayah dan ibu khawatir jika waktunya libur, digunakan untuk bermain-main. Wajar sih menurutku, ayah dan ibu khawatir ke anak perempuannya.
Oh iya bang, ibu ngirim kuenya banyak. Nanti dibagi ke Galih dan Mila ya.
Hahh...aku nggak salah dengar kah ? Mila ? Kenapa harus masuk ke agenda ibuku ? seketika itu juga aku menghentikan pekerjaanku di laptop.
" Apa bu ? Mila juga dikasih ?" tanyaku untuk memastikan kembali kalau aku tidak salah dengar. Kalau Galih mah tidak usah ku pertanyakan, karena setiap mengirim makanan , pasti galih kebagian.
Iya, sudah ibu bungkuskan sendiri.
" Kenapa bu ?"
Kenapa apanya ?
Hahh...kenapa aku jadi menurun gini sih. Gimana ibu tidak bertanya balik padaku kalau pertanyaanku justru malah kenapa. Aku pun memukul-mukul kepalaku. Aduhh
" Oh, eh ...enggak...nggak papa bu"
Ya udah gitu aja ya, paling besok pagi sudah sampai paketnya. Oya, besok kalau ketemu Mila, salam dari ibu ya bang.
" i...iya bu"
Ya udah kamu hati-hati di sana. Assalammu'alaikum
"Iya bu. Wa'alaikumsalam"
Setelah berbicara dengan ibu, aku pun meletakkan handphone di meja kerjaku. Aku masih memikirkan, bagaimana cara mengantar paket ibu untuk Mila. Aku tidak habis pikir kenapa ibu harus menitipkan paket untuk Mila. Harus kemana aku mengantarnya ? Bahkan aku tidak tahu dimana dia tinggal. Buyar sudah konsentrasiku. Akhirnya aku menutup laptop dan berpikir harus apa. Apa iya harus mengantar ke kantornya ?
Tiba- tiba sebersit ide melintas. Apa tanya Galih ya ? Dia kan lumayan berpengalaman untuk hal-hal kayak gini walaupun nanti pasti aku akan ditertawakan habis-habisan. Tapi aku pikir – pikir lagi, tidak usah aja. Aku menengok arlojiku. Sudah jam sembilan malam, pasti dia juga sudah istirahat. Sudahlah, paket Mila dipikirkan besok aja, lagian belum sampai juga.
Akhirnya aku membereskan pekerjaanku dan berlanjut tidur. Saat memejamkan mata, aku kembali berpikir, kenapa aku harus repot-repot dan bingung tentang paketnya Mila. Siapa dia ? Ahh...pusing
***
Esok paginya aku ketemu Galih di kantor. Dia baru saja menyerahkan laporannya ke kepala divisinya. Untuk kembali ke mejanya, dia melewati tempatku bekerja, dan kupastikan mampir ke ruanganku.
" Dan, nanti siang mau makan apa?" tanyanya sambil bersandar di mejaku.
" Nggak tau, belum kepikiran." Jawabku singkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kembali
Spiritual" Mil, ini undangan pernikahanku. Aku harap kamu bisa datang" Perkataan Dani masih terngiang terus di telingaku. Mila tidak mengira bahwa kedekatannya dengan Dani selama beberapa bulan ini hanya dianggapnya sebagai teman. "Apa aku salah bila berha...