Part 11

112 3 1
                                    

Aku mengenal Sarah saat kuliah. Kita berada di almameter yang sama dan masuk di angkatan yang sama. Siapa yang tidak mengenal seorang Sarah ? Dari nama belakangnya saja, orang langsung tahu dia siapa.

Ya, dia Sarah Mikhayla Sastradirja, anak salah seorang konglomerat di negara ini. Sudah bukan rahasia lagi, nama besar Sastradirja terkenal dengan bisnisnya yang menggurita. Sarah anak yang pintar dan cerdas. Dia juga memiliki fisik yang sempurna apalagi didukung dengan latar belakang keluarganya itu. Bisnis keluarganya di pertambangan, resort dan hotel yang tersebar di berbagai daerah. Jangan lupa tempat menginapnya kemarin itu juga hotel milik keluarganya.

Saat kuliah, Sarah sudah otomatis menjadi primadona kampus. Siapa yang tidak mau menjadi pasangannya? Dari para senior, teman seangkatan bahkan dari teman-teman di luar fakultas kami. Tapi Sarah, tetaplah Sarah. Dia tetap saja santai menghadapi para penggemarnya.

Kami menjadi dekat saat di semester tiga. Ketika itu, kami berada dalam satu kelompok tugas mata kuliah tertentu. Semester-semester sebelumnya, kami tidak terlalu dekat, hanya sebatas tahu nama. Maklum lah, orang seperti aku jelas tidak masuk dalam circle pertemanannya.

Tugas kuliah yang mengharuskan kami bersama membuat kami semakin dekat. Saat itu kami mengerjakan tugas bersama dua teman yang lainnya. Aku, Sarah, Mega, dan Bima. Aku dan Bima memang sudah dekat sejak awal, kebetulan kami berasal dari kota yang sama, sedang Mega juga sudah dekat dengan Sarah.

Entah karena kebersamaan inikah, yang membuat Sarah menaruh hati padaku. Aku juga tidak tahu apa yang bisa disukai dariku. Kata teman-teman sih, aku orangnya pintar, cool, ganteng juga hehehe. Aku memang bukan anak yang neko-neko, lurus kalau kata orang. Alim – alim banget juga tidak, tapi aku tau batasan. Ibu dan bapak sudah mendidikku dengan bekal agama yang baik.

Tentang pacaran?

Entah sejak kapan, akhirnya kita sering bersama-sama. Dia yang awalnya sholatnya bolong-bolong jadi tertib rutin lima waktu. Aku selalu mengingatkannya apalagi saat kita sedang bersama. Seiring berjalannya waktu, Alhamduilllah, Sarah juga berhijab. Aku tidak pernah memaksanya, tapi dia dengan kesadaran diri melakukannya. Entah apa sebutannya untuk kami, yang jelas saat itu kita dekat, punya komitmen tapi juga tidak tahu itu sudah disebut pacaran atau belum. Dan sejak awal memang aku dan Sarah berkomitmen untuk tidak saling menyentuh satu sama lain.

Kebersamaan kami ternyata berumur panjang, sampai kami bersama-sama mengerjakan skripsi, saling mengingatkan jika salah satu sedang down karena banyaknya revisian dari pembimbing. Walaupun akhirnya kami bisa lulus dan wisuda bareng.

Saat wisuda, aku memperkenalkan Sarah pada keluargaku. Tanggapan ayah dan ibu juga baik terhadapnya. Sarah memang anak yang ramah. Sarah hanya sebentar bersama keluargaku, karena dia juga ditunggu keluarganya. Hanya saat itu Sarah minta maaf belum bisa mengenalkan aku ke keluarganya. Aku maklum karena kondisi diriku yang juga masih baru saja lulus kuliah dan belum bekerja. Itu pemikiranku.

Aku tidak mengira bahwa hari itu adalah hari terakhir aku bertemu dengannya. Hari selanjutnya Sarah menghilang, benar – benar menghilang. Aku tidak bisa menemukan jejaknya. Aku berusaha untuk menghubungi nomor HPnya juga tidak bisa, bertanya dengan teman-teman dekatnya juga tidak ada yang tahu. Aku juga sudah berusaha mengirim email atau DM juga tidak ada respon sama sekali. Sempat aku terpikir untuk datang ke rumahnya, tapi aku urungkan. Aku memang cukup tahu keluarga Sarah seperti apa. Aku hanya menunggu.

Setahun tidak ada kabar, akhirnya aku pasrah. Bukan berarti aku tidak berusaha. Tenaga, pikiran, dan waktuku benar- benar terbuang untuk memikirkan Sarah. Hingga suatu waktu, saat aku berada di salah satu masjid di Yogyakarta, aku bertemu kakak tingkatku saat kuliah. Dia dulu aktif di masjid kampus. Namanya Mas Imran. Kita pernah dekat, karena dulu beberapa kali berada di kepanitiaan yang sama. Mas Imran jugalah yang dulu mengingatkanku untuk menjaga hati, untuk tidak terlalu dekat dengan Sarah ataupun siapapun itu. Beliau khawatir karena eman-eman denganku.

Entah apa yang dilihat Mas Imran saat bertemu denganku kembali, beliau hanya bilang kok aku kelihatan galau dan bingung. Akhirnya aku pun menceritakan apa yang menjadi masalahku. Nggak tahu kenapa, aku merasa nyaman saja bercerita dengannya, walaupun sebenarnya aku malu karena dulu sudah sering diingatkan.

Banyak nasehat yang diberikan Mas Imran, terutama tentang hubungan dengan lawan jenis. Jatuh cinta dan patah hati itu seperti satu paket. Berani jatuh cinta berarti juga siap untuk patah hati. Mas Imran banyak menasehatiku. Kata beliau, kita tidak bisa menampik adanya rasa cinta karena Allah telah menciptakan naluri kasih sayang dalam diri manusia. Jadi jatuh cinta memang sudah naluri yang ditanamkan Allah pada setiap manusia, walaupun bukan berarti perasaan tersebut harus selalu dipenuhi, apalagi dengan cara yang salah. Bahkan ada orang-orang yang berdalih atas nama cinta akhirnya membenarkan tindakan-tindakan yang menghantarkan ke zina. Ini nasehat Mas Imran saat aku mulai dekat dengan Sarah. Tapi aku tidak menggubrisnya saat itu.

Sebagai manusia biasa yang memiliki perasaan akan sangat wajar jika mengalami patah hati. Tapi ketika patah hati itu membuat kita menjadi terpuruk, sedih bahkan sakit-sakitan dalam jangka waktu yang lama, tentunya ada yang salah dengan diri kita. Mas Imran mengatakan, sebagai seorang muslim kita harus bisa berpikir positif, mengarahkan waktu dan tenaga kita untuk hal-hal yang bermanfaat, baik diisi dengan mengikuti kegiatan keagamaan, bekerja, atau belajar. Cari kegiatan yang bisa mengalihkan pikiran yang bisa membantu kita untuk tidak terlalu fokus pada hal-hal yang membuat kita patah hati. Apalagi Mas Imran juga menambahkan, jika memang dia jodohku pasti akan Allah pertemukan kembali.

Setelah bertemu dengan Mas Imran, pikiran dan hatiku mulai terbuka. Tidak ku sangka hampir setahun aku hanya merenungi nasib untuk memikirkan Sarah...Sarah dan Sarah. Aku sudah kehilangan banyak waktu dan kesempatan.

Alhamdulillah, untungnya saat itu ada pendaftaran CPNS yang akhirnya aku ikuti setelah kesempatan satu tahun yang lalu hilang karena aku yang sedang patah hati. Alhamdulillah, aku diterima. Keluargaku sangat senang, akhirnya aku bisa bangkit kembali. Oh ya, jangan lupakan juga, ayah dan ibu juga sangat kepikiran dengan perubahan diriku karena ditinggal Sarah. Mereka senang karena pada akhirnya aku mau memulai hidup baru, bisa bekerja untuk mengalihkan pikiran patah hatiku. Aku juga tetap menjalin silaturahmi dengan Mas Imran. Tidak jarang juga aku mengikuti kegiatan keagamaan dan belajar seni baca alqur'an. Dan Alhamdulillah, kebiasaan baik ini berlangsung sampai sekarang.

Untuk pasangan hidup, aku pasrahkan semuanya pada Allah. Termasuk kedatangan Sarah saat ini, aku yakin bahwa ini sudah menjadi takdir dan jalan hidupku.


https://dalamislam.com/akhlaq/patah-hati-dalam-islam

KembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang