06.

1.4K 188 16
                                    

***

Sosok berjubah hitam itu berjalan di atas jalan setapak yang terlihat lembab dan berlumut akibat hujan. Sembari memegangi  perut besarnya ia melangkah dengan hati-hati. Tubuhnya berbalut baju tebal khas musim dingin itu membuatnya kesusahan dua kali lipat ditambah nyawa lain yang bersemayam di didalam perutnya.

Kembali ia berhenti sejenak untuk menetralkan detak jantungnya dan menghirup udara dalam-dalam. Matanya menelisik sekitaran, tidak ada siapapun di sana, hanya suara jangkrik juga suara angin yang beradu dengan dedaunan dan ranting pohon. Pepohonan rindang menemani perjalanannya pagi itu yang terlihat masih gelap. Kurang dari dua puluh meter lagi dia sampai ditempat tujuannya.

Kemudian ia melanjutkan langkahnya. Dalam hati ia terus merutuki, kenapa rasanya tempat itu menjadi jauh dua kali lipat dari biasanya?

Tangan kirinya kembali memegangi perutnya, sedangkan tangan kanannya memegang lampu yang ia bawa untuk menemaninya dalam gelapnya pagi. Sedikit kesusahan karena tangan kanannya juga harus berpegangan pada pagar bambu yang membentang sepanjang jalan setapak itu.

Menghela nafasnya, netra hitamnya melihat gubuk tua yang menyala karena obor yang menggantung di bilik samping pintu yang sedikit terbuka menandakan ada seseorang di dalam sana. Langkahnya semakin cepat kala tangga yang ia daki sudah mencapai akhir. Dibukanya pintu itu dengan cepat, membuat seseorang yang sedang duduk didepan perapian itu terkejut namun tidak sampai membuatnya menoleh karena ia sudah mengetahui siapa yang datang ke gubuk tua tersebut karena hanya mereka berdua yang tahu.

Tanpa basa-basi sosok yang baru saja datang itu mendudukkan dirinya di samping pria tersebut setelah menutup pintunya rapat-rapat.

Pria dengan baju khas petinggi kerajaan itupun menyodorkan segelas teh jahe hangat yang masih terlihat mengepul tanda minuman tersebut baru saja dibuat. "Minumlah."

Kemudian ia menerima gelas tersebut dan langsung menyesapnya.

"Kau sendirian?" Tanyanya sesaat setelah sosok itu menyesap teh jahe miliknya.

Yang ditanya kemudian menoleh dan mendelik. "Tentu saja. Kau berharap apa padaku? Kemari bersama Yang Mulia Kaisar, begitu?" Ketusnya.

"Kau ingin aku mati ditangan yang mulia kaisar, heh?" Lanjutnya.

Pria disampingnya itu hanya terkekeh mendengarnya. Ia cukup memaklumi perkataan sosok itu yang terlewat tajam dan juga menusuk. "Bukankah kita akan mati ditangan Yang Mulia Kaisar jika seseorang mengetahui ini?"

Wajah yang tadinya setia menatap perapian itu kini menoleh menatap sang lawan bicara yang terlihat terkejut dengan kalimat yang pria itu lontarkan. Sosok itu terdiam mengundang tawa si pria perapian itu. "Aku hanya bercanda, santai saja. Kenapa kau setegang itu."

"Sialan." Ia membalas dengan gumaman.

"Tidak baik untuk seorang yang sedang hamil tua memaki orang." Rupanya pendengaran pria itu sangat tajam.

"Langsung saja, aku tidak butuh omong kosong mu."

Pria itu mengangguk. "Aku hanya ingin kau berhati-hati. Ada seseorang yang aku curigai di dalam istana. Dia cukup rapih dalam mengambil tindakan."

"Tentu, tidak ada yang bisa dipercaya di dalam istana." Komentarnya.

Pria itu kembali berbicara tanpa menghiraukan perkataan lawan bicaranya. "Kita akan tetap pada rencana awal, aku tidak ingin mengambil resiko jika yang mulia kaisar tahu. Ini mungkin akan memakan waktu yang cukup lama, tapi aku yakin akan berhasil. Kau jangan khawatir! Aku akan mengawasi para penjilat itu agar berpihak pada kita. Kau hanya perlu awasi dia." lanjutnya panjang lebar.

selir ; hoonsukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang