11.

908 106 38
                                    

Hari itu matahari mulai tenggelam saat pasukan Jihoon tiba di istana. Hanya ada lima kuda yang menggiring mereka. Jeongwoo menaiki kuda yang dikendarai oleh ayahnya, sementara Haruto mengendarai kudanya sendiri.

Kedatangan mereka disambut oleh seluruh anggota kerajaan, termasuk sang ibu suri yang tampak khawatir pada cucunya itu. Semua orang berdiri menunggu Jihoon yang turun dari kudanya.

Tatapan pria itu sangat tajam. Mereka semua tahu bahwa Kaisar mereka sedang tidak berada di suasana hati yang jauh dari kata baik. Tangannya menarik pergelangan tangan Jeongwoo yang sedang menunduk sambil terisak. Si manis meringis saat ayahnya mencengkeramnya semakin kuat.

Dari jarak dua puluh meter Hyunsuk langsung menghampiri mereka dengan cepat. "Yang Mulia, apa yang kau lakukan?" Ia marah melihat anaknya diperlakukan seperti itu.

"Eomma.." Jeongwoo meringis dengan air mata yang mengalir di pipinya. Demi apapun, cengkraman Jihoon tidak main-main.

Hyunsuk sakit hati melihat putranya diperlakukan seperti itu. "Kubilang lepaskan tanganmu, Yang Mulia."

Lalu tanpa berkata, Jihoon menghempaskan tangan Jeongwoo yang sedari tadi ia pegang dan membuatnya terjatuh di atas rerumputan aula tersebut. Haruto yang berdiri tepat di belakangnya tidak tinggal diam, pemuda tujuh belas tahun itu langsung membantu Jeongwoo untuk kembali berdiri. Hyunsuk yang berada disampingnya langsung merangkul bahunya dan mendekapnya erat.

Jeongwoo terisak di tempat dan semakin menunduk dalam. Si manis itu takut melihat kemarahan sang ayah. Begitupun Haruto, ia hanya bisa diam menunduk di dekapan Mashiho yang terisak.

Lapangan luas itu semakin dipenuhi oleh para menteri yang kebetulan berkumpul setelah mendapatkan kabar jika kedua pangeran mereka hilang, juga anggota kerajaan termasuk pelayan yang berbondong-bondong melihat kejadian tersebut dalam diam.

Semua orang tahu bahwa Kaisar mereka tengah marah besar, terlebih saat mereka melihatnya menyeret kedua Pangeran nya. Jihoon tidak langsung membeberkan semua kelakuan dua pangeran, pria itu hanya berbicara tentang hukum yang akan keduanya terima karena telah mencoba kabur dari istana. Hanya itu, Jihoon merahasiakannya.

"Sesuai peraturan yang berlaku, Pangeran Haruto akan diberi hukuman yakni diasingkan sementara. Dan untuk Pangeran Jeongwoo, bersiaplah besok putra mahkota kerajaan Eastland akan datang untuk meminang mu." Putusnya, Jihoon langsung meninggalkan aula dan pergi begitu saja menuju paviliun barat.

Sebagian besar dari mereka tidak terkejut lagi mendengar keputusan yang dilontarkan oleh Kaisar mereka. Namun bagi sang kedua pelaku itu membuatnya terkejut bukan main, padahal itu hal sepele.

Tangisan Jeongwoo semakin mengeras, bahkan bahunya berguncang hebat. Hyunsuk sendiri hanya bisa mengelus punggung putra manisnya sambil menahan amarah.

Haruto, pemuda itu langsung melepaskan pelukannya dari sang ibu. Rahangnya mengeras. Dia tidak terima dengan keputusan Yang Mulia. Lalu ia bangkit ingin memberontak pada Jihoon. Namun Mashiho menahannya.


***

"Tidak, eomma. Aku tidak mau.."

Di dalam kamar pemuda manis itu hanya terus menangis dan mengatakan tidak. Tubuhnya meringkuk di dalam selimut.

Hyunsuk hanya mondar-mandir sambil melihat anaknya. Dia sedang memikirkan bagaimana agar Jihoon menghentikan tindakannya. Juga rencana yang bertahun-tahun ia susun hancur sudah hari ini.

"Yang Mulai, ini aku." Suara ketukan pintu dan panggilan Asahi menyadarkan Hyunsuk dari lamunannya.

"Ya, masuk."

Setelah Hyunsuk mengizinkan, pintu terbuka menampakkan Asahi seorang diri. Pria manis itu langsung membungkuk hormat.

"Maaf, Yang Mulia, tapi Perdana Menteri Kim tidak ada di kediamannya." Ucapnya.

Mendengar itu Hyunsuk langsung menoleh ke arah orang kepercayaannya itu. "Apa? Sialan sekali orang itu."

"Eomma, sudahlah." Ucap Doyoung yang sedari tadi hanya diam.



***



Dilain tempat, diwaktu yang sama, Haruto sedang membanting barang-barang yang ada di dalam kamarnya. Mashiho tak kuasa hanya bisa menangis disudut ruangan. Pemuda itu dalam keadaan emosi yang kurang baik.

"Sayang, Haruto, sudah cukup." Ucap Mashiho sambil mencoba menghentikan perbuatan anaknya itu. Tangannya menggenggam jari milik Haruto yang bergetar karena emosi yang tidak stabil.

"Eomma, Jeongwoo—" tangisnya langsung pecah.

Mashiho menuntun Haruto untuk duduk di atas kasur yang terlihat acak-acakan. Tangan mungilnya mengelus-elus punggung lebar putranya. Pelukan hangat ia berikan untuk menenangkannya.

Pintu terbuka menampakkan seorang pria dengan setelan formalnya.

Mashiho menoleh dan menemukan Junkyu masuk. Pria itu terlihat masih mengenakan setelan formalnya. Mashiho tahu jika pria itu langsung menemuinya setelah kabar tersebut sampai ke telinganya.

"Sayang." Ucap Junkyu pada Mashiho yang tengah memeluk Haruto yang sedang menangis sesenggukan.

Ditengah sesenggukan nya Haruto mendengar seseorang memanggil, kemudian ketika mendongak ia melihat Junkyu berjalan kearah keduanya. Pemuda itu mengernyit heran dan juga kaget.

Sebelum membuka suaranya, lebih dulu Junkyu bertanya dan langsung duduk disampingnya. "Mashi, apa yang terjadi?"

Mashiho melepaskan pelukannya pada Haruto, kemudian ia beralih menatap Junkyu dengan tatapan nanar. "Seperti yang kita takutkan, mereka— Haruto dan Jeongwoo.." isakan tangis Mashiho terdengar.

Junkyu mengerti arah pembicaraan tersebut langsung memeluk tubuh mungil itu dan menenangkannya berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Mengabaikan Haruto yang melongo dengan air mata yang menetes sambil melihat keduanya berpelukan. Pemuda itu kaget dan tidak mengerti.

Ada sekitar sepuluh menit keduanya saling mendekap. Juga tangisan Haruto yang mulai mereda. Pemuda itu tidak lagi menangis, ia hanya menatap lurus ke arah mereka. Otaknya terus-menerus mencerna semua kejadian hari ini hingga kegiatan orang yang ada didepannya.

"Junkyu, bagaimana ini?" Ucapan Mashiho teredam oleh pelukan sang empunya. Si pria berbahu lebar itu masih setia mengelus punggung sang submissive nya.

"Tak apa, biar aku cari jalan lain." Junkyu kembali menenangkan Mashiho. Tetapi mata pria itu tak luput dari Haruto yang juga menatap kegiatan keduanya.

Lalu tatapannya kini beralih pada Mashiho. "Kita katakan semuanya sekarang saja pada Haruto."

Ucapan tiba-tiba Junkyu membuat Mashiho melepaskan pelukannya dan menatap Junkyu tak percaya. Kembali, air matanya mengalir. "Bagaimana, bagaimana jika dia marah padaku." Ucap Mashiho disela tangisannya.

"Tidak akan, sayang. Percayalah padaku."

Haruto yang sedari tadi memperhatikan keduanya pun hanya bisa mengerutkan keningnya tanda tak mengerti. Pikirannya terlalu kalut untuk berfikir jernih disaat seperti ini.

"Apa maksud ibu?" Haruto mengusap air matanya dengan kasar. Pemuda itu bangkit dari tempatnya. Melayangkan tatapan minta penjelasan pada keduanya.

Mashiho menghela nafasnya, lalu ia ikut berdiri diikuti oleh Junkyu yang juga berdiri di sampingnya. Tangannya kemudian menggenggam tangan besar pria itu.

"Nak, Haruto—" Mashiho tidak langsung melanjutkan ucapannya. Ia menoleh ke arah Junkyu yang dibalas anggukan kepala olehnya tanda ia harus melanjutkan ucapannya.

"Dia ayahmu." Tunjuk Mashiho pada pria disampingnya.

Ucapan ibunya mampu membuat Haruto langsung menatap wajah Junkyu dan Mashiho secara bergantian. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi.






***

Mellow bgt perasaan🥲
Klo ada yang aneh komen aja gaisssseu..

selir ; hoonsukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang