Prolog

2.5K 143 9
                                    


"Kita putus ya, Kai. Aku mau nikah besok pagi."

"Hah?"

Sabrina iba melihat wajah bingung Kai, pacarnya, atau mungkin mantan pacarnya jika pengajuan putus sudah disetujui oleh mereka berdua.

Pasalnya, mereka sudah pacaran lebih dari tiga bulan—durasi paling lama baginya untuk memiliki sebuah hubungan. Kai lebih dewasa, mahasiswa matematika semester lima, selalu mengalah dan jarang menuntut apa-apa dari Sabrina.

Sayang sekali sebenarnya memutuskan hubungan mereka. Tapi Sabrina tidak bisa jika harus mempertahankannya.

"Kamu ngomong apa? Coba jangan bicara hal aneh kayak gini. Aku kangen loh. Semester depan mungkin bakalan lebih jarang ketemu." Kai mencoba merangkul Sabrina, yang disetujui oleh cewek itu karena menganggap bonus sebelum putus.

Mereka berpelukan di depan fakultas seni rupa yang sudah sepi. Hari semakin sore, sebentar lagi langit akan menggelap dan seharusnya Sabrina segera menyelesaikan urusannya datang ke tempat pertemuan mereka.

"Kai," panggil Sabrina sembari mengurai pelukan. Kai menatapnya. Wajah pemuda itu tampak lelah. Ada lingkaran hitam di bawah mata karena harus membagi waktu antara kuliah dan bekerja.

"Hm?" balas Kai, lembut. Jemarinya mengusap pipi pacarnya. Sayang sekali dia dengan Sabrina. Dikejar dua tahun, baru nyangkut tiga bulan lalu. Itu pun dengan bantuan temannya yang juga berteman dengan teman dekat cewek itu.

Sabrina menurunkan tangan di pipinya. "Aku serius. Kita harus putus."

Raut wajah Kai kontan berkerut. "Maksudnya kamu mau nikah besok pagi?" Saat Sabrina mengangguk, dia justru tertawa. "Bercandaan kamu enggak lucu, Sayang."

Karena merasa tidak mempan diberitahu dengan kata-kata, Sabrina akhirnya mengeluarkan selembar kertas undangan berplastik. Hiasan pita di atasnya agak menyembul dan rusak kala Kai dengan ogah-ogahan mengambilnya dan merobek pembungkusnya.

Mata pemuda itu langsung melotot.

"I-ini.."

"Aku mau nikah. Besok pagi," terang Sabrina dengan wajah ikut merasa bersalah. "Maaf, Kai."

"Tapi, kenapa?" Kai membuang undangan itu agar dapat meraih Sabrina mendekat. "Nggak bisa. Ini prank kan? Mana kameranya? Jangan kayak gini, Sayang. Minggu kemarin aku udah jantungan lihat kamu pura-pura selingkuh, sekarang jangan lagi. Oke?"

Masalahnya kematian kakaknya usai melahirkan Celia bukan bohongan. Permintaan orangtuanya juga bukan bohongan. Sabrina terdesak dari berbagai sisi. Sebejat-bejatnya dia, Sabrina tidak akan pernah mendua jika sudah menikah.

"Kai.." Dia genggam tangan Kai dengan hati gundah. Kai lelaki baik. Dia tidak pernah mengelus pantatnya, atau meraba pahanya, atau menekan dadanya, atau memaksa mencium lehernya. Semua yang pernah dilakukan para mantan Sabrina terdahulu tidak ada yang dilakukan Kai. Sabrina merasa benar-benar disayang dan dihargai. Tapi Kai bukan untuknya. Sabrina bukan perempuan yang ditakdirkan untuk laki-laki sebaik dia. "Ini bukan prank. Aku beneran mau nikah besok pagi. Maaf.."

Setelah mengatakan itu, Sabrina melenggang pergi begitu saja. Meninggalkan laki-laki yang berdiri syok di bawah atap beton fakultas sepi. Dengan pikiran kosong dan seluruh tubuh kaku saking tidak percaya jika dirinya baru saja diputuskan satu hari sebelum pacarnya menikah dengan lelaki yang bukan dirinya.

* * *

Happy reading!

Siapa pun kamu yang baca, semoga bisa bertahan sampai akhir ya :)

TURUN RANJANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang