Kembali ke Malam Pertama

2.5K 140 15
                                    


Aby mendorong bahu Sabrina menjauh. Lantas duduk dan bersandar pada kepala ranjang kamar hotel tempatnya menginap saat ini.

"Mas?" Sabrina kebingungan. Ini malam pertama mereka sebagai suami istri. Dengan kata lain, malam kedua kakak iparnya—karena sudah pernah melaluinya. Seharusnya kan, Sabrina yang merasa takut, gemetar, juga tegang. Bukan malah Abyan yang terlihat sangat pucat meski dalam keadaan temaram. Perempuan itu mencoba mengingatkan. "Selain mengurus Celia, kamu sudah tahu tugas istri kepada suami di atas ranjang mereka, kan?"

Aby menoleh gugup. Itu memang ucapannya agar Sabrina menolak permintaan ibu serta mertuanya agar mereka segera menikah.

"Mas, ih!" Sekarang wanita itu malah merajuk. Bibirnya cemberut dan rambut panjangnya diacak-acak seperti kuntilanak. Aby merinding mendadak.

Sabrina turun dari tempat tidur dan menarik selimut sampai setengah bagian tubuh suaminya terseret.

"Sab?" Aby melongo.

"Mas Aby tidur di lantai, deh. Nggak usah malam pertama malam pertama segala. Aku juga pegel. Emang situ doang yang pengen tidur?"

Sekarang malah dia yang ngamuk.

"Bukan begitu."

"Bukan begitu apa?!" Sabrina melempar selimut ke bawah dan berniat mengambil satu bantal. Iya, satu saja tanpa guling. Biar duda satu anak itu tahu rasa tidur tanpa dipeluk siapa-siapa. "Mama bilang, malam pertama nggak boleh diem-dieman. Nanti rumah tangganya nggak bagus. Aku juga nggak mau ena-ena sama mantan kakak ipar. Apalagi aku masih perawan!"

Perempuan itu terus saja mengoceh sambil melempar bantal dan kembali naik ke ranjang. Saat menoleh ke samping, suaminya hanya diam dan tidak bergerak sama sekali.

"Pindah ke bawah! Aku males tidur sama orang asing."

"Mas suami kamu," sahut Aby.

Sabrina berdecak. Bodo amat. Suami tapi nyebelin. Gadis itu meringkuk ke arah berlawanan. Kemudian menggeser tubuhnya ke tengah agar Aby segera pergi dan tidak mendapat tempat.

"Kalau tahu bakalan gini, lebih baik aku terima lamaran Kai—"

"Kamu sudah menikah."

"—dan hidup bahagia selama-lamanya. Dia cinta banget sama aku. Pasti malam pertama kami akan—"

"Akan seperti ini?" Aby meraih bahu terbuka Sabrina sampai terlentang. Kemudian dia membungkuk di atasnya. Tapi bukannya merasa malu, wajah wanita itu masih jutek. Bahkan kini bahunya didorong agar menjauh.

"Mas! Minggir, ih! Kesempatan kamu sudah habis. Malam ini dan malam-malam selanjutnya nggak akan ada jatah," ujarnya kesal.

Tanpa dapat dicegah, bibir Aby tertarik sebelah. Dari awal mengenal Sabrina, perempuan itu memang unik dan lucu. Sungguh tidak disangka, wanita yang kerap dia panggil adik ipar kesayangan akan menjadi istri setelah Isabella.

"Sab?" Aby membelai kepala Sabrina seperti ketika mereka masih belum menikah. Walau masih terlihat kesal, gadis itu tidak menampik sentuhannya. "Waktu itu, kamu benar-benar menyusui Celia?"

Sabrina terdiam. Otak lambatnya mencoba mengingat korelasi pertanyaan itu.

"Beberapa hari sebelum Mama meminta kita menikah. Kamu menjaga Celia semalaman dan pagi harinya aku masuk ke kamar kamu yang tanpa busana."

Wajah Sabrina kontan memerah. "Jangan dibahas lagi. Aku masih pake kancut, tahuu."

Katanya jangan dibahas, tapi malah menyebutkan nama pakaian dalam perempuan.

Istrinya ini benar-benar.

"Apa kamu beneran nyusuin Celia?" Aby mengulang pertanyaannya.

"Hm," Sabrina mengangguk. Kemudian terkikik lucu. "Jangan marah, ya, Mas. Waktu itu Celia sempat muntah, jadi aku lepas baju. Terus biar dia anteng tidurnya, pas matanya baru melek dan siap-siap nangis, aku kasih puting aku buat disedot."

Aby meneguk ludah dengan kalimat frontal Sabrina.

"Emang ... Nggak geli?"

"Geli lah!" Sabrina tertawa. "Rasanya tuh, kayak dijilat, diemut, terus dihisap. Untung belum tumbuh gigi."

"Kenapa kalau tumbuh gigi?" Aby terus melanjutkan pertanyaan sampai suaranya serak. Mungkin efek ngantuk karena tengah malam terjaga.

Wanita di bawahnya mengangkat bahu, seolah tak tahu. Gerakan itu membuat gaun malamnya agak melorot ke bawah. "Katanya, kalau udah tumbuh gigi, bayi suka gigit puting ibunya. Kan kalau gitu, sakit punyaku."

"Nggak akan sakit, kok."

"Sok tahu!" Sabrina lantas kembali mendelik. "Mas! Kok malah duduk di pahaku, sih?"

Aby tidak menjawab. Ditatapnya mata Sabrina yang berwarna hitam pekat. Sangat berbeda dengan Isabella yang memiliki netra cokelat terang. Gadis di bawahnya sangat ekspresif, ceria, suka seenaknya, bahkan agak urakan. Sementara kakaknya sangat anggun dan pendiam. Keduanya jelas tidak bisa disamakan.

"Memangnya sudah siap hamil?" Aby bertanya tiba-tiba.

Sabrina yang masih berusaha mendorong raksasa di atas tubuhnya berhenti lagi. "Siapa? Aku?"

Aby mengangguk. "Kalau kita melakukannya, Mas nggak mau pakai pengaman."

"Hah?"

"Apalagi kamu masih perawan. Memangnya mau, diperawani sama karet?"

Mata bulat Sabrina mengerjap. Tampak lugu sekali. Sangat berbeda dengan ucapannya yang sering kotor tanpa saringan. Seolah dirinya sudah terbiasa melakukannya.

"Sab?"

"Hehehe," perempuan itu nyengir. "Kayaknya belum. Celia juga kan masih bayi. Kasihan kalau sudah dikasih adik baru."

"Jadi maunya sama karet?"

"Apa?" Sabrina melongo.

"Tapi kalau mau tanpa itu juga bisa sebenarnya. Asal cepat dicabut sebelum keluar semua."

"K-kok.." dia gelagapan. Ingin kabur mendadak tapi mana bisa. Akhirnya dia tampilkan wajah memelas kepada suaminya." Mas.."

"Hm?"

"Gimana kalau ... Kita tidur saja malam ini?"

"Tidur?" Aby mengangkat sebelah alis. "Kamu bilang, malam pertama—"

"Hahahaha," Sabrina tertawa aneh. Cicak di dinding pun tahu dia sedang pura-pura rileks supaya tidak diserang. "Sab bohong itu. Yuk, Mas. Kita tidur. Mas mau tidur di kasur apa di bawah? Gimana kalau aku saja yang di bawah? Kayaknya enak. Ada adem-ademnya ketemu lantai sama—Mas!!"

Aby menarik kedua tangan Sabrina dan menautkan jemari mereka di atas kepala wanita itu. Posisi yang sangat rentan dan membuatnya sesak. Apalagi beban tubuh yang berada di dadanya. Rasanya seperti ... Dipencet.

"Kamu bilang, malam pertama nggak boleh—"

"Boleh!!" teriaknya heboh. Aby berusaha keras menahan tawa dan sesuatu yang mengeras di bawah sana. "Boleh!! Pasti boleh!"

"Tapi—"

"MAS!!"

"Kamu mau di bawah?"

Sabrina mengangguk cepat-cepat. Tidak apa-apa deh, malam pertama tidur di lantai dengan satu bantal tanpa guling. Itu terdengar lebih baik daripada opsi yang lain.

"Padahal lebih enak di atas."

"Nggak apa-apa. Mas Aby aja yang di atas. Aku dibawah juga suka." Sabrina tersenyum.

"Beneran suka?" Perempuan itu mengangguk lagi. "Oke. Mas juga suka. Kapan-kapan kita coba yang sebaliknya."

"Sebalik—Mas, ngapain remas dadaku?!"

Sabrina menjerit dan memukul kala Aby menjatuhkan kepala dan menyerang leher serta dadanya.

Mampus.

Beneran nih, dia akan diperawani malam ini?

Mamaaaaaaaaaa......

✨✨✨

Mau double up, tak?

Tekan bintangnya dulu yak 😚😚

TURUN RANJANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang