Kakak Ipar

1.4K 125 23
                                    

Jangan lupa tekan bintang 🌟

Jangan lupa tinggalkan komentar

Jangan lupa share ke temen-temen

Jangan lupa masukkan cerita ini ke library

Jangan lupa follow akun penulis

Jangan lupa senyum :)

Hehehe

Selamat membaca 🔥


✨✨✨

Meninggalkan supermarket, ketiganya tiba di depan sebuah kompleks perumahan tak lama setelah Sabrina mengungkap siapa itu Kai di depan Aby. Laki-laki itu diam saja. Tidak menanggapi ucapan Sabrina sampai tiba di depan rumah baru mereka.

Celia digendong Sabrina keluar lebih dulu, disusul Aby setelahnya yang membuka bagasi dan membawa belanjaan mereka. Di halaman dan teras rumah, sudah ada seorang wanita paruh baya yang sekarang bisa dipanggil Sabrina mama dan laki-laki tinggi besar yang tak lain adalah kakak ipar baru Sabrina.

"Loh, kok sudah sampai? Mama kira masih besok pagi pindahan." Ibu mertuanya bergegas mendekat dan meraih cucunya untuk didekap. Anak itu tertidur di perjalanan. Tapi sekarang mata bulatnya sudah mengerjap silau. "Aduh, cucu nenek cantik sekali."

Sabrina bergerak mendekati Sabda untuk salim. "Udah lama, Bang?"

"Dari pagi." Sabda mengusap pelan kepala Sabrina. Dia terkekeh ketika wanita itu tampak terkejut. "Udah, nggak perlu kaget. Rumah kalian udah bersih dan siap ditempati. Abang cuma bantu beres-beres sedikit."

"Papa masih di Subang?" Aby bertanya sambil berjalan bersama masuk ke dalam. Di sana sudah ada beberapa perabot yang masih terbungkus plastik berjejer di area ruang tamu hingga ruang tengah. Keningnya berkerut. Tidak menemukan korelasi 'bantuan' yang disebutkan oleh kakaknya.

Melihat wajahnya yang masam, Sabda lantas tertawa. Menular pada Sabrina dan Celia pun ikut-ikutan.

"Muka lo, biasa aja, Ab. Gue bilang cuma bantu beres-beres sedikit. Bukan semuanya diberesin," ujarnya diselingi wajah geli.

Akhirnya Aby memutuskan membongkar satu set sofa agar ada tempat duduk bagi mereka. Karena tidak terlalu lelah, dia juga membawa bahan belanja mereka dan menata di lemari pendingin yang masih baru. Semuanya dia lakukan sendiri, sementara Sabrina ke kamar utama dan menidurkan Celia. Ibu dan kakaknya pun kembali sibuk di halaman belakang yang terdapat lahan kosong, mengisi beberapa bagian dengan sayur-sayuran.

Aby membiarkan beberapa barang yang masih terbungkus dari pengiriman. Biar diurus besok saja bersama Sabrina. Masalahnya, beberapa barang yang mereka pesan memang atas selera istrinya. Aby juga akan memanggil tukang untuk membantu menata seluruh barang agar tidak terlalu kelelahan.

Usai memastikan hal-hal darurat sudah teratasi, Aby memutuskan naik ke lantai dua kamar utama, hendak mandi. Tubuhnya sudah lengket karena keringat. Celia juga seharusnya kembali dimandikan. Bayi itu sangat suka tidur sampai kadang membuatnya khawatir berlebihan.

"Sab, Celia udah ma—" Aby mingkem saat lagi-lagi melihat istrinya tertidur dengan posisi miring memeluk anaknya yang sudah cantik dan wajah dibedaki—tepat menghadap pintu. Satu jari Sabrina diletakkan di bibir, isyarat agar dirinya tidak menimbulkan suara. Sementara satu buah dadanya menggantung, dan satu lagi pucuknya hilang di dalam mulut anaknya.

Perempuan itu benar-benar gila. Aby sangat heran mengapa dia seberani itu menampilkan seluruh bagian tubuh kecuali panty pink yang tidak seberapa berguna itu, pada laki-laki baru seperti dirinya.

Seketika dia jadi cemas. Padanya saja, Sabrina sudah seberani ini, bagaimana jika di depan pacarnya?

Memikirkan itu membuat Aby tidak nyaman dan bergegas masuk setelah memastikan pintu terkunci rapat.

Sabrina melepas pagutan Celia di dadanya usai bayi itu benar-benar sudah pulas. Dengan tenang, tanpa merasa malu atau risih, tangannya menggapai bra di ujung tempat tidur lalu mengenakannya. Tepat di hadapan Aby yang sengaja bersedekap menatap semua aksinya.

"Mas, boleh tunggu Celia bentar? Aku mau mandi. Badan aku leng—"

"Kenapa pintu nggak dikunci?" potong Aby dengan wajah keras. Sabrina mengernyit bingung. "Kenapa sih, Mas?"

"Ada Bang Sabda di bawah. Kalau dia masuk ke sini dan lihat kamu dalam posisi tadi, bagaimana?" cecar Aby, terlihat kesal.

Kesal pada apa saja. Detailnya dia juga tidak tahu.

Mendengar itu, Sabrina malah semakin bingung. "Bang Sabda nggak mungkin ke sini lah, Mas. Aku kan di kamar utama. Paling enggak pasti ketok pi—"

"Pokoknya, Mas nggak suka kamu telanjang kayak tadi tanpa kunci pintu!" Aby membentak, setengah berteriak. Wajahnya keras, tampak tak mau dibantah.

Sabrina kontan menelan ludah. Apa begini watak asli dari suami kakaknya?

Meski sangat bandel dan suka semaunya, Sabrina di rumah orangtuanya tidak pernah dibentak dan ditekan menggunakan ekspresi wajah. Ibunya paling hanya akan mengomel sepanjang hari. Sementara ayahnya lebih sering menghela napas panjang—tampak lelah, tapi tidak banyak melakukan aksi.

Jadi, diperlakukan seperti ini untuk pertama kali, dirinya ikut menciut. Di bawah tatapan tegas suaminya, Sabrina berjalan memepet ke tembok dan meraih selembar handuk untuk menutupi bra juga celana dalamnya dari tatapan galak suaminya.

"Maaf," cicit Sabrina pelan. Kepalanya tertunduk bak anak kecil dimarahi karena mencuri bakpao. "Sab nggak akan kayak gini lagi. Seumur hidup, Mas nggak akan lihat aku telanjang lagi."

Aby tercengang. Matanya membelalak.

Bukan seperti itu, maksudnya!

Sementara Sabrina sudah berlarian masuk ke kamar mandi dan menutup pintunya rapat-rapat. Bahkan saat Aby mendekat, pintu itu sudah terkunci dari dalam.

Wajahnya kembali mengeras.

Apa katanya tadi? Dia tidak akan melihat Sabrina telanjang lagi seumur hidupnya?

Hah!

Lalu 'jatahnya'  bagaimana?!

✨✨✨

Mengingat mulai besok kita bakal masuk bulan suci Ramadhan, cerita ini akan di-update malem-malem (biar puasanya lancar) karena rate story ini kebanyakan 21+

Pilih mana:
1. Setelah berbuka
2. Habis tarawih
3. Sebelum sahur
4. Lebaran sekalian deh

HAHAHAHA

TURUN RANJANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang