Malam Pertama

2.2K 140 5
                                    


Sekitar tiga puluh lima menit—atau lebih, Sabrina baru keluar dari bak mandi yang sukses membuat sekujur tubuhnya beraroma semerbak hingga ke ujung ubin hingga tempat-tempat tersembunyi.

Hadiah pernikahan dari sang sahabat dia gunakan semuanya, tanpa tersisa setetes pun untuk ritual malam pertama dengan suami duda yang sialnya mantan kakak iparnya.

Ya, Sabrina baru saja melangsungkan pernikahan beserta resepsi sederhana beberapa jam yang lalu dengan seorang laki-laki beranak satu. Masih bayi dan sangat menggemaskan—yang bisa disebutnya sebagai keponakan. Ibu keponakannya, alias kakak kandung Sabrina meninggal dua hari usai melahirkan anak pertamanya. Alasannya cukup bisa ditebak, ada masalah dengan kesehatan jantungnya sejak awal janin itu ada.

Bukan sekali dua kali, keluarga beserta suaminya memohon agar Isabella—kakaknya, menggugurkan kandungannya. Bahkan masalah tersebut sempat membuat keluarga mereka bersitegang karena sama-sama keras kepala dan tidak ingin mengalah.

Sabrina menarik napas panjang seraya mengambil bathrobe dari gantungan baju dan mengenakannya. Kejadian itu sudah berlangsung dua bulan lamanya. Dan sekarang posisi Isabella dia tempati dengan alasan Celia.

"Kalau kamu nggak mau Celia diambil sama Tiara, harusnya kamu yang jadi ibu pengganti buat dia," ucap mamanya kala mengetahui jika menantunya sedang didekati oleh seorang dokter cantik yang rutin menjenguk Celia di rumah mereka.

Dengan kepala dililit handuk, Sabrina keluar dari kamar mandi lalu mulai melakukan night skincare routine di depan meja rias yang tersedia di kamar hotel tersebut. Ketika selesai dengan semuanya, terdengar bunyi pintu dibuka. Kakak ipar—maksudnya, suaminya muncul dengan pakaian yang sama ketika resepsi tadi.

"Celia sama siapa, Mas?"

Lelaki itu menatapnya, sejurus kemudian berjengit, tampak terkejut seolah baru menyadari ada manusia selain dirinya di sana. "Sama Mama."

Kening Sabrina mengerut. Kesal karena hal itu membuat kekuatan skincare harus ditekan demi mengurangi kerutan di dahinya.

"Mama siapa? Mama aku?" Lelaki itu hanya mengangguk. Meraih kembali jas yang sempat dia sampirkan di sisi ranjang dan membawanya ke kamar mandi. Buru-buru Sabrina berseru, "Mas!"

Lelaki itu menoleh. "Ada apa?"

"Ngh... Itu. Boleh, enggak aku langsung tidur malam ini? Kakiku pegel banget dari siang berdiri pake hiasan kepala tadi," keluhnya seraya memijit betis untuk menambah bukti.

Suaminya justru terlihat bingung. "Kenapa harus nggak boleh tidur?" tanyanya.

"Ini kan, malam pertama kita. Mungkin Mas mau—"

Suara batuk keras seketika menghentikan ocehan Sabrina. Bisa dia lihat wajah ayahnya Celia tampak ngeri dan juga memerah. Entah marah atau malu. Sepertinya bukan dua-duanya.

"Kamu tidur saja," katanya. Lalu masuk ke kamar mandi dan tidak keluar-keluar sampai Sabrina ketiduran.

* * *

Ketika tengah malam terjaga—kebiasaan yang selalu dialami Sabrina, dia melihat suami barunya tidak ada di sampingnya. Sisi ranjang itu kosong. Bahkan masih tampak rapi tanda jika tidak pernah diduduki atau disentuh sama sekali.

Suasana kamar yang remang karena hanya lampu tidur yang dinyalakan membuat perempuan itu berusaha keras mengamati sekitar. Ada tubuh tinggi besar yang memenuhi satu sofa panjang di dekat balkon kamar. Sabrina yakin seribu persen itu memang suaminya.

Dengan pikiran berkecamuk, diraihnya ponsel yang tergeletak di atas nakas. Panggilannya tidak diangkat bahkan hingga berkali-kali dia coba menghubungi.

Hampir kesal, Sabrina hendak membanting ponselnya sebelum suara terengah di seberang terdengar.

"Lo nggak lihat ini udah jam berapah?!" bentak suara itu dengan napas tersengal-sengal.

Sabrina kontan mengernyit. "Di mana lo?"

Tidak ada jawaban. Hanya ada suara napas memburu hingga pikiran cabulnya melayang ke antariksa.

"Lo di apartemen Aga?"

"Berisik—oh!" Lalu tersengal lagi. "Sab, besok gue telpon lagi. Sekarang gu—Ga, jangan di situ!"

Sial. Sabrina langsung menekan ikon merah pada layar. Pada saat itu dia baru menyadari waktu mendekati dini hari. Sudah hal biasa sahabatnya itu akan melakukan ritual dosa dengan teman mesranya. Tanpa status, bahkan pacar pun tidak. Tapi hubungan mereka sudah membara layaknya kobaran api ditumpahi bensin satu kolam.

Sabrina turun dari ranjang dan melepas bathrobe hingga hanya menyisakan baju tidur super menerawang. Mama beserta mama mertuanya sudah mewanti-wanti mengenai malam pertama yang tidak boleh dilewatkan hanya dengan diam dan tidur berjauhan. Sepertinya mereka sangat tahu tabiat suaminya, karena hal itu memang terjadi saat ini.

"Mas," panggil Sabrina dengan menggoyangkan lengan kekar itu perlahan.

Mata itu akhirnya terbuka. Memerah karena kantuk dan lelah. Lalu Sabrina melihatnya lagi, tatapan terkejut hingga tubuhnya kontan terduduk.

"Sabrina?" ucapnya serak, khas orang baru bangun tidur.

"Kenapa di sini?" tanya perempuan itu tanpa risih. Tangannya mencoba menarik lengan itu agar berdiri. Tapi tubuh besar itu bergeming di tempat. "Aku nggak bisa tidur sendirian."

Sepertinya mulai hari ini Sabrina akan terus-menerus berbohong.

"Pindah ke kasur, ya?"

Lelaki itu hanya diam. Sepintas bisa Sabrina lihat mata itu mengamatinya dari bawah, lanjut ke atas. Gerakan jakunnya membuatnya cukup percaya diri untuk kembali menunduk, lantas menarik lengan itu kembali sampai berhasil berdiri.

Sabrina sedikit mendorong bahu itu agar rebah, lalu dia menyusul di sampingnya. Saat dia menoleh ke sebelah, tubuh itu tampak kaku dan tegang. Wajahnya menengadah dan matanya terpejam.

Dengan nekad, Sabrina maju dan berbisik pelan, "Mas."

Mata itu kontan terbuka. Terkejut melihat tubuh Sabrina sudah ada di atasnya. "Sab?"

"Mama bilang, malam pertama nggak boleh diem-dieman," ujarnya polos tanpa dosa dan rasa bersalah. Padahal lelaki di bawahnya sudah tegang bak senar gitar. "Itu juga ... Yang Mas bilang sebelum aku bilang mau kan?"

✨✨✨

Beda sama senior sebelumnya, ya. Si Sabrina emang lebih berani dan agak nackal. Bosen akutuuu nulis cewek penakut mulu.

Moga suka yak 😚

TURUN RANJANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang