Jam sepuluh lewat sepuluh menit aku mendarat di bandara pulau ini. Bandara yang cukup kecil untuk sebuah pulau yang besar. Kudengar provinsi-provinsi lain memiliki bandara besar. Terutama yang punya kota-kota di pinggir laut.
Pak Burhan menjemputku bersama pekerjanya, "Dokter Putra?" sambutnya, "Selamat datang, Mas! Terimakasih mau bergabung dengan kami!"
Ia pasti sudah hafal wajahku dari foto yang kukirim di CV maupun foto profilku di WA.
"Ah, sama-sama, Pak! Saya tak menyangka Pak Burhan sendiri yang datang menjemput!"
"Sekalian menengok anak ke kota, Mas!" jawabnya.
Lelaki paruh baya ini adalah bos baruku. Berumur sekitar enam puluhan tahun. Rambutnya hampir memutih semua dan badannya cukup gagah meski dengan perut tambun.
Ia memakai kemeja berwarna krem dan celana panjang dengan banyak saku. Celana petualang. Sepatu yang ia kenakan pun sepatu boot yang cukup bagus, "Anak saya tinggal di sini, jadi sekalian menjemput Mas tak masalah."
"Terimakasih, Pak!"
Seorang pekerjanya memperkenalkan diri, "Saya Tito, Dok!" dan membantuku membawa koper.
Perawakannya sedikit tambun dan usianya mungkin sekitar lima atau enam tahun di bawahku. Memakai rompi coklat bertuliskan Animal Rescue. Juga memakai celana serta sepatu yang mirip dengan Pak Burhan.
"Lagi pula Mas tak akan bisa naik bus, taksi atau ojek online sampai ke tempat kami," lanjut bosku itu sembari berjalan menuju mobil, "apalagi kereta!"
Kami menaiki sebuah mobil ranger semi truk. Mobil yang diperlukan untuk menembus medan hutan. Ada dua baris tempat duduk yang bisa ditempati lima orang.
Sang sopir juga memperkenalkan diri. Namanya Agus. Masih muda. Mungkin belum lama lulus kuliah. Perawakannya agak kecil namun berisi.
Kami pun menuju kota untuk dapat menuju hutan. Sejak dari bandara hingga ke kota, sama sekali tak ada kemacetan. Padahal bukan jalan tol. Di kanan kiri jalan masih banyak lahan kosong yang tampak ditumbuhi ilalang. Rumah hanya terlihat satu dua saja.
Saat sampai di kota juga tak dijumpai kemacetan, "Kemacetan adalah hal yang mustahil di pulau ini, Mas!" ujar Pak Burhan di sela-sela obrolan kami.
Dan tak kuragukan itu. Jalanan kota cukup lebar, sementara jumlah kendaraan cukup sedikit. Dan yang membuatku terkesan, hampir setiap bangunan perkantoran, ruko, ataupun warung memiliki ruang parkir yang cukup luas. Tak ada mobil yang diparkir di bahu jalan seperti di Jawa.
"Selamat datang di kota tengah hutan, Mas!" kelakar Pak Burhan melihatku terkagum-kagum dengan pemandangan kota.
"Sepertinya kota yang nyaman, Pak! Aku tak membayangkan akan sebesar ini!"
"Yah, dulu sempat didesain untuk jadi ibukota negara! Kota yang dibangun dari nol, Mas! Dulunya hutan belantara!"
"Dan sepertinya orang-orang mengendarai kendaraan dengan santai di sini!" lanjutku masih terheran, "Kalau orang Jawa melihat jalanan lengang seperti ini, pasti akan langsung ngebut!"
"Orang di Jawa selalu terburu-buru! Itulah kenapa aku lebih memilih di sini, Mas!"
"Kenapa orang di sini tak terburu-buru?"
"Tak tahulah. Mungkin mereka sudah puas dengan apa yang mereka punya!"
Aku mengangguk ringan.
"Mungkin juga karena mereka merasa masih punya sumber daya alam yang luas!" sahut Agus, sang sopir, "Tak sadar jika itu semakin menipis!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dokter Utan
AdventureDokter Utan adalah seorang dokter hewan yang bisa berubah menjadi hewan apa saja. Ia superhero baru yang akan menyelamatkan hewan dan alam.