Putri Hutan dan Sang Bulan

164 2 8
                                    

Yah, nenek itu mengobati lukaku. Entah ramuan apa yang ia oleskan. Sepertinya sejenis minyak herbal. Lalu menyuruhku meminum ramuan seperti jamu.

Akupun kembali berada bersama suku itu. Lukaku tak seberapa parah. Hanya saja masih terasa sakit akibat tembakan.

Pak tua, sang kepala suku, mengajakku berjalan-jalan menelusuri hutan di siang hari setelah aku mulai pulih. Aku memakai pakaian adat mereka karena dibawa kemari dalam keadaan telanjang.

"Kamu tak bisa bertindak sendiri," ungkapnya di tengah hutan, "Alam semesta akan bergerak bersamamu."

Aku terdiam mengerti.

"Setiap hewan memiliki kelebihan dan kekurangan," ungkapnya lagi, "Memiliki cara bertahan dan menyerang sendiri. Ada beribu macam."

Ia tunjukkan beberapa semut yang menyerang dan bertahan dengan bergerombol. Burung yang bergerak cepat dan menukik untuk menyerang.

Lalu berbagai hewan lain. Beberapa macam serangga yang menggunakan beberapa teknik kamuflase untuk berlindung atau memangsa.

Dan yang mengejutkan, ular legenda pulau ini. Ular sejenis phyton besar. Sering dianggap anaconda atau naga. Ukurannya memang cukup besar.

Menurut legenda, ia adalah penunggu pulau ini. Dengan menirukan suara berbagai macam hewan, seperti rusa, orangutan atau burung, ia memikat mereka. Dan dengan cepat, akan membelit dan memangsanya.

Baru kulihat dengan mataku sendiri. Ada banyak macam hewan dan perilakunya yang sebelumnya tak kutahu.

Yang kami pelajari sebagai dokter belum seberapa. Masih perlu banyak penelitian. Apalagi di hutan besar penuh misteri ini.

"Mereka juga punya insting," lanjut si kakek, "Ikuti saja insting itu."

Dia benar! Barangkali memang yang kita perlukan adalah sedikit insting kebinatangan.

Si kakek bertanya padaku, "Katakan, binatang apakah yang paling kuat?"

Aku sering mendengar dan membaca pertanyaan seperti ini. Dan sejauh yang kuingat, semut adalah binatang terkuat.

"Semut!" jawabku.

"Kenapa begitu?"

"Karena ia mampu mengangkat beban yang jauh lebih berat dari tubuhnya."

"Hmm, tapi semut sangat kecil. Ia mudah terinjak dan terbunuh!"

"Gajah kalau begitu?" jawabku meralat jawaban. Rupanya ini bukan pertanyaan jebakan atau bijak. Dan entah dia tahu gajah atau tidak. Di pulau ini tak ada hewan itu.

"Gajah?" balasnya tersenyum. tahu rupanya ia hewan itu. "Tapi kalau dia mati, semut mengerubungi bangkainya."

"Lalu? Macan barangkali?"

"He he he," ia terkekeh, "Tak ada yang namanya hewan terkuat. Seperti semua hal di alam semesta ini. tak ada yang lebih hebat atau lebih buruk dari siapapun."

"Semua punya peran sendiri-sendiri," lanjutnya, "Tak bisa dibandingkan!"

Oke, jadi itu jawaban bijaknya! Lalu apa maksudnya menyatakan itu?

"Kau harus pahami itu," lanjutnya seolah bisa membaca kekesalanku, "Baik semut, serangga, buaya, ataupun badak, semua memiliki peran dan kekuatan masing-masing."

Berikutnya, tiba-tiba saja ia mengajakku ke arah hutan yang terbakar. Bagaimana kami bisa kemari?! Aku bahkan tak ingat jalurnya. Seperti teleportasi saja!

Hutan di depan kami terbakar hebat. Mirip dengan mimpiku tempo hari saat pertama kali ke pulau ini. Panas dan pekatnya dapat kurasakan.

Kulihat berbagai hewan panik dan berusaha menyelamatkan diri. Termasuk burung-burung dan serangga. Namun kebanyakan tak bisa selamat.

Dokter UtanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang