Penangkaran

191 5 0
                                    

Sore hari - setelah terbangun dari mimpi yang aneh, Nita memberiku tur singkat. Hujan sudah reda dan kami berkeliling ke tempat kerjaku yang baru ini.

Ada beberapa hewan sitaan. Dan ada pula yang diselamatkan dari hutan. Beruang madu, ular, trenggiling, siamang, berbagai jenis burung, dan yang paling banyak orang utan.

Beberapa orang utan di pelihara di bagian ruang luas yang agak terbuka. Mereka dilatih untuk dilepasliarkan kembali. Tapi mencari hutan untuk melepas mereka semakin sulit. Perambahan hutan makin luas.

"Ini Baby, dan itu Roy!" kata Nita memperkenalkan dua orangutan yang dilatih liar, "Mereka sudah terbiasa dipelihara, susah untuk memisahkannya dari manusia."

Kedua orangutan itu berumur cukup dewasa. Mereka sehat dan memang cukup sulit untuk menumbuhkan keliaran mereka kembali.

"Jadi kau selama ini betah di sini?" tanyaku sambil mengurus dan memperhatikan kedua orangutan itu.

"Yah, tampaknya tempat ini cukup nyaman untuk melarikan diri."

"Melarikan diri? Oh ya, aku turut berduka atas kematian Farhan."

"Terimakasih."

"Itu sudah tujuh tahun lalu kalau tak salah?"

"Yah!"

"Dan aku belum sempat bertemu denganmu sejak itu. Untuk mengucapkan bela sungkawa."

Ia hanya mengangguk dan menampilkan senyum yang terpaksa. Aura kesedihan terlihat dari wajahnya.

"Kenapa kau malah datang ke pulau ini, tempat ia kecelakaan?"

"Tak tahulah, mungkin ia masih hidup! Masih bertahan di suatu tempat."

"Kamu pikir dia masih hidup? Sudah tujuh tahun mengalami kecelakaan kapal!"

"Semua orang meragukan itu. Put! Mereka bilang aku gila! Terlalu berharap! Tak apa jika kau juga menganggapku begitu!"

"Ah, maaf! Mungkin kau benar. Bisa saja dia masih hidup!"

"Lihat ini," ia memperlihatkan cincinnya yang berhias batu mulia, "mirip punyamu tadi, kan?"

"Amethyst juga? Dapat dari siapa?"

Ia hanya tersenyum.

"Oh, dari Farhan ya?" susulku mengerti.

Ia mengangguk, "Ia membelikanku saat penelitian yang pertama di pulau ini. Untuk pertunangan."

Aku terdiam sambil memperhatikan si Baby.

"Saat ia berangkat untuk penelitian selanjutnya, kami sudah sepakat akan menikah! Dan ia malah ..."

"Aku turut prihatin! Kudengar kapalnya tenggelam di sungai."

"Yah, katanya ia selalu memakai cincin yang sama dengan ini. Aku kemari berharap mungkin suatu saat - jika aku tak menemukannya, aku bisa menemukan cincin yang ia pakai!"

"Kenapa?"

"Entah, mungkin itu bisa melegakanku. Setidakbya aku bisa merasa selalu didekatnya."

Aku menarik nafas dan tak mampu menjawabnya. Jika orang atau jasadnya saja tak ditemukan, padahal sudah tujuh tahun, bagaimana dengan sebuah cincin?

"Dan kamu kemari melarikan diri dari apa?" tanyanya kemudian sambil tersenyum, "Sudah buka praktik hewan kecil di Jawa, kenapa beralih ke satwa liar? Ke pulau yang jauh malah?"

"Hmm," kutarik nafas panjang, "entahlah, tak tahu juga melarikan diri dari apa!"

"Kau tinggalkan pacarmu itu di Jawa? Atau mungkin kalian sudah menikah? Sudah punya anak? Kabarmu tak terdengar di kalangan alumni!"

Dokter UtanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang