ARKA AYO MAIN

18 6 8
                                    

MALAM!

agak panjang, nih. semoga tidak bosan, ya

selamat membaca

*

*

*











Seperti yang sudah direncanakan, aku dan Arka akan bermain sepanjang hari di pantai. Beberapa dokter siap menyamar sebagai pengunjung, bersiaga jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Mama dan Kak Rully sudah bersembunyi untuk mengawasi juga. Kini, hanya aku dan Arka di ruangannya. Arka sedang bersiap untuk menikmati hari ini. Dia selalu tersenyum sambil menceritakan tentang Pantai Parangtritis. Dia sudah mencari beberapa spot bagus untuk mengambil foto ataupun makan. Dia juga sudah mencari tempat selain Pantai Parangtritis dan gumuk pasir.

"Menurut artikel yang kubaca, ada landasan pacu untuk foto, jadi kita berasa foto di landasan pesawat," serunya senang.

"Kamu pernah naik pesawat?" tanyaku, Arka menggeleng.

"Pernah ke Bali?"

"Paling jauh ke Solo, karena saudara menikah. Itupun karena paksaan Baron."

Aku mengangguk, memaklumi. Aku yakin Ayah Arka tidak memperbolehkan anak ini pergi kemana-mana. Terkadang, aku selalu berpikir,

Apakah orang dengan gangguan mental sangat berbahaya?

Kenapa mereka selalu dibilag aneh ataupun gila oleh orang sekitar?

"Kamu pasti berpikir bahwa orang sepertiku gila, ya?" tanyanya tiba-tiba. Aku tertegun

"Haha, tenang. Aku bukan mereka yang bertempramen tinggi. Memang ada yang memiliki itu disini, kadang mereka memukulku atau meminta uang padaku. Namun aku tidak peduli, kata mereka ini juga cara agar aku sembuh."

"Arka," panggil seseorang dari luar. Dia memakai baju pasien seperti Arka.

"Mau kemana, hm? Dia siapa?"

"Mas Angga mending keluar, deh. Aku malu,"

"Dia yang kamu bilang istri, itu?"

"Bukan~" kesal Arka sambil mendorong orang bernama Mas Angga itu keluar.

"Ayo, Sar." Arka menggandeng tanganku dan keluar dari kamar.

Selama perjalanan, semua pasien melihat kami dengan berbagai tanggapan. Ada yang menggoda, tertawa, bahkan diam. Ada juga pasien yang tiba-tiba marah karena melihat Arka bisa keluar seenaknya. Arka langsung melepas gelang pasiennya, lalu menarikku ke mobil berwarna putih. Disana, ada Papaku yang siap mengantar kami.

"Ingat, disana hanya bermain sampai bibir pantai, ya. Tidak boleh berenang, menangkap ikan, ke tengah pantai, cari cewek ataupun cowok lain. Arka, tetap bersama Sarah, ini weekend, banyak pengunjung datang kesana, paham?" nasehat Papa. Kami mengangguk kompak.

Arka terkagum-kagum ketika melihat jalanan. Dia bilang, baru kali ini dia pergi tanpa ikatan di tangan dan kaki. Pertama kalinya dia pergi selain rumah sakit ataupun rumah Baron. Dia selalu tersenyum senang, memancarkan keindahan tersembunyi yang dia miliki. Dia selalu bertanya,

"Apa itu?"

"Wah, patungnya besar sekali!"

"Itu jalan? Kenapa ada jalan diatas jalan?"

"Itu namanya apa?"

Papa dengan sabar menjawab pertanyaan Arka yang terkesan seperti anak TK sedang study tour. Sesekali tertawa karena tingkah Arka.

"Arka, kamu diam. Lihat, sabukmu sampai mengikat tubuhmu sendiri, haha." Papa dengan sabar pula mengatur tempat duduk Arka agar nyaman.

Iya, Arka duduk di depan bersama Papa, aku di belakang. Papa bilang Arka tidak pernah duduk di depan karena orang tuanya melarang. Jadi, Papa mau menyenangkan Arka dengan caranya.

DI BALIK JENDELATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang