— Hal
Selalu aku lihat belakang punggungmu di saat kau lihat belakang punggung pria lain, menunggu kau menoleh dan berlari ke arahku dan memelukku seerat-eratnya—
Lukman berlari kecil mencari-cari Malik yang biasanya ada di sekretarian BEM Teknik saat tidak ada kelas, ia pagi ini mendapatkan kabar yang cukup mengejutkan, group keluarga besarnya membicarakan kalau Siwi yang notabene senior sekaligus sepupu jauhnya dalam proses perjodohan dan pertemuan mereka diatur siang ini.Memang cepat sekali kabar itu sampai, bagaimana tidak... ibu tiri Siwi yang paling bocor, ia terlewat senang anak tirinya diminati untuk dipinang jadi menantu pengusaha mebel paling tersohor sekota Bandung hingga memberi tahu tante-tante Siwi lewat sambungan telepon.
"Iya Jeng, Ayahnya Siwi akrab sama beliau. Ditanyalah, dia punya anak perempuan tidak? Kalau ada mau dikenalkan dengan anak bujangnya."
Lalu Ibu Lukman tadi pagi langsung berteriak di ujung sambungan, "Kata kamu Siwi punya pacar, temen kamu? Ini Siwinya mau ketemu calon suaminya katanya? Ah, kamu mah bohongin ibu padahal ibu udah cerita pas arisan kalau pacarnya Siwi itu temen Lukman."
"Bentar, bentar Bu..." Lukman yang bahkan baru bangun dan belum mengumpulkan Cakranya mencoba mencerna kalimat panjang sang Ibu yang berakhir dengan kerutan tidak padam pada keningnya.
"Kak Siwi punya calon suami? Kok bisa?"
Dan disinilah Lukman, menatap Malik yang tengah berbaring menutupi setengah wajahnya dengan lengan, mengabaikan hiruk pikuk sekretariat BEM yang tengah ramai, pemuda itu seolah membangun tembok dan menyepi, ia menikmati sendirinya meski pandangannya dipaksa gelap.
Malik tidak mengantuk, tidak pula lelah meski mengejar nilai demi bisa sidang proposal semester depan, Malik hanya... merasa patah dan rasa itu tidak nyaman karena membuat dadanya sakit tak kasat mata.
"Oi, udah makan siang belum?" Lukman ikut berbaring di sebelahnya, ia yang tadinya heboh ikut terdiam melihat Malik yang tanpa kehidupan, dugaan Lukman— Malik sudah tahu perihal perjodohan Siwi.
"Udah, beli somay tadi sama si Harun."
Dua-duanya terdiam, sebelum kompak menghela nafas berat.
"Elo gimana?" Tanya Lukman kemudian,
"Bukannya kata lo, lo sama kak Siwi lanjut? Gue kira lanjut maksud lo itu artinya menghilangkan status sewa menyewa diantara kalian. Toh gue lihat kak Siwi nyaman sama lo, lo apa lagi, keliatan banget elo butuh dia... bukan dari segi uang, tapi emang elo butuh sosoknya. I'm i wrong?"
Bisa Lukman lihat kekehan kecil yang terdengar perih dari bibir Malik.
"Ya gimana?Lo gak tahu gue sekaget apa pas kak Siwi bilang soal perjodohannya... after we making love, Lukman. Dia gila!"
Malik mengerang frustasi dan dihadiahi tatapan 'Yang bener aja lo?' dari Lukman sembari menganga tidak percaya.
"Ya sama kayak lo, gue kira gue gak ada sewa menyewa lagi antara gue sama kak Siwi. Jujur, jujur banget, dia bikin gue jatuh cinta sejatuh-jatuhnya, jadi egois karena pengen memiliki dia, tapi gue siapa sih bro? Gue patah tapi malam itu gue tahu diri saat uang beberapa juta masuk ke rekening gue dan semua akses komunikasi diblock sama dia.
Iya, gue cuma Malik, Mahasiswa yang nyokapnya udah angkat tangan ngebiayain dia kuliah karena gak lulus-lulus. Gue Cuma Malik yang dibutuhkan afeksinya untuk sebuah tulisan dan dibayar. Lo tahu? Gue hancur banget nerima uang kak Siwi, setelah sebulan jadi pacarnya, setelah semalam memiliki dia seutuhnya... gue merasa jadi cowok murahan tahu ga lo?"
Bibir Malik gemetar, ada emosi, patah hati, juga kenangan turut campur bersama rentetan kalimatnya.
"Siang ini mereka ketemu kata tante-tante di group keluarga... gue cari elo karena—"
"Gue gak apa-apa." Potong Malik.
"Enggak Lik, lo apa-apa anjir!"
Senyuman yang palsu, tawa yang pedih, kalimat panjang sebuah patah hati, lalu Malik masih mencoba meyakinkan kalau ia baik-baik saja? Lukman memang bodoh, buktinya ia juga tidak lulus-lulus seperti Malik, tapi kalau perkara perasaan Lukman peka, yang dibutuhkan Malik sekarang sebenarnya hanya kawan.
"Mau main billiard ga? Gue panggil Harun."
"Enggak."
Malik hampir tidak pernah menolak ajakan bermain bola sodok, ia suka billiard tapi kencan terakhirnya dengan Siwi pasti akan terlintas dan Malik hanya kian ingat tak bisa lupa.
"Jadi mau lo apa? Ngoplos kita? Mabok lagi? Enggak ah, lo lemah anjeng entar masuk rumah sakit lagi." Umpat Lukman dan Malik menari dengan memori kala Siwi menjaganya saat tumbang di unit gawat darurat.
Lagi-lagi Siwi, ia hanya mampir sebentar tapi lukanya begitu dalam dan kenangannya begitu banyak, Malik tidak sanggup menyimpan patah dan cinta yang tumpah ruah.
"Gue lagi gak mau apa-apa selain satu hal, tapi satu hal itu mustahil sih."
"Apa emang?"
"Cintanya kak Siwi."
—sudah aku coba untuk menghapusmu, naifku hanya jelaka. Dirindu pada siapa ku masih merasakannya kamu masih penyebabnya.
-To be continued-
Buat Siwi:
(Don't forget to touch the stars Button if you like the story 😊 👉🌟)
KAMU SEDANG MEMBACA
SUGAR
General FictionBanyak yang berkata, sebuah tulisan di buku romance tidak lain tercipta karena penulisnya jatuh cinta atau patah hati. Yang jadi masalah, Siwi sedang tidak mengalami keduanya, sementara dikontrak yang ia tanda tangani dengan penerbit besar memilik s...