Naskah yang rampung

2.4K 742 70
                                    

Naskah yang rampung

"Halo, gue lagi di jalan. Tutup dulu."

"Enggak! Bentar, lo pakai air podskan?"

Saras menolak keras saat Siwi ingin memutuskan sambungan sepihaknya, editornya itu cukup shock saat dikirimi beberapa bab terakhir naskah Siwi yang sepenuhnya rampung. Bahkan ini belum sebulan, baru 29 hari lebih tepatnya, tapi bukan itu yang hendak diocehkan Saras melainkan hal lain.

"Pake sih, ya udah mau ngomong apa? Gue ada janji makan siang."

"Sama cowok yang dijodohin sama lo?"

"Kok lo tau, Ras?"

Saras memasang ekspresi terkejut tidak percaya, benar-benar Siwi ini! Ia menuliskan kisah fiksi atau kisah hidupnya sendiri ini?

Pada naskah yang diterimanya juga begitu, akhirnya si tokoh perempuan memilih dijodohkan dari pada pacarnya yang lebih muda. Tapikan...

"Asli, lo pengen gue bejek-bejek ya Siwi! Jadi elo sama... Malik. Beneran gituan? Making love? Fuck each other? Aduh apalah bahasanya! Beneran? Gue rasa elo gila sih!"

Siwi juga merasa begitu kok Saras, tapi bagaimana? Setidaknya jika tidak bisa memiliki Malik dalam waktu lama, setidaknya ia pernah utuh dalam dekapnya satu malam.

"Ya... hubungan orang-orang di masa modern ini gitukan? Udah wajar."

"Wajar mbah mu! Tapi masalahnya elo dijodohin, Siwi."

"Ya udah, gue tinggal jujur gue pernah making love sebelumnya."

"Tapi gimana Malik? Gimana perasaannya? Gimana perasaan lo? Sumpah ya elo ngegantung endingnya begini? Gue udah kebayang kita bakal kebanjiran protes di goodreads, Siwi! Ini endingnya udah gak bisa diubah apa? Hah?"

Siwi menggeleng pelan, meski Saras tidak bisa melihat gelengan itu tapi diamnya Siwi membuat Saras sadar betapa keras kepalanya perempuan itu, ia sudah menenutukan plot dan akhir ceritanya sejak awal ia menulis prolog.

Tidak ada yang bisa merubah endingnya selain Tuhan.

***

Restoran di sebuah hotel berbintang siang itu memancarkan suasana tenang, tidak banyak orang yang makan di sana, mungkin karena tempatnya yang sedikit premium di hotel bintang lima tengah kota hingga tidak cukup banyak orang yang bisa menjangkau harga makanan di sana.

Sebenarnya jika hanya Siwi sendiri, ia pasti memilih restoran lain yang lebih affordable, bukannya tidak mampu hanya saja Siwi lebih suka gado-gado yang dijual mbah-mbah pinggir jalan dari pada Baked Whole Seabass in Salt Crust yang harganya 80.000 per 100 gram, padahal itu hanya seekor penuh ikan kakap putih Australia yang dipanggang di dalam balutan remah garam.

Berkali-kali gadis itu membuang nafas sebelum mengembalikan buku menu pada waiters. Sementara pria dengan kemeja rapi di depannya mengulas senyuman yang mau tidak mau dibalas Siwi dengan senyuman yang sama.

"Kenapa? Kamu gak suka ikan kakap? Mau steak aja? Atau salmon?"

Siwi cepat menggeleng, ingin sekali ia bilang, "Seblak aja yuk, gue tahu tempat yang enak."

Tapi dihadapannya ini adalah Jani, bukan Malik kalau Malik ia sudah pasti akan menyeretnya ke warteg terdekat meski berakhir dengan Malik yang akan mengoceh karena ia ingin mencoba makanan mahal. Siwi hapal di luar kepala seolah sudah ada scenario mutlak di sana.

"Jadi kamu sibuk apa sekarang, Widia?"

"Panggil Siwi aja, saya gak biasa dipanggil Widia soalnya."

"Oke, sorry. Siwi, jadi kesibukan kamu apa sekarang?"

SUGARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang