— We kissed
"Tumben bawa cewek Lik? Biasanya juga sendiri."
Itulah yang dikatakan pegawai di sana saat Malik meminta izin naik ke loteng untuk merokok katanya, padahal setahu Siwi pemuda itu tidak merokok. Siwi tidak tahu itu hanya dalih, agar mereka bisa menikmati pemandangan malam dari lantai empat gedung itu.
"Naik gih sana!"
"Siap bang. Thankyou." Malik mengambil pesanan kopinya, memegangnya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya meraih tangan Siwi untuk digenggam dan dibawah melangkah.
Di loteng gedung itu sebenarnya tidak ada apa-apa, hanya penampungan air besar, satu kursi kayu panjang dan lampu yang temaram, ada beberapa puntung rokok di lantai tanda bahwa tempat ini memang kadang dijadikan tempat merokok.
"Nih, kopi kak Siwi."
"Makasih— katanya mau ngerokok? Ngerokok aja, gak apa-apa."
Malik dibuat terkekeh, jika biasanya Siwi yang mengacak rambutnya karena gemas kini gantian Malik yang melakukannya. Ingin sekali ia bertanya pada Siwi bagaimana rasanya? Apa hatinya ikut teracak sama seperti Malik kala diperlakukan demikian oleh kakak gulanya.
"Itu alesan doang ya ampun biar kita boleh ke sini, padahal kak Siwi tahu aku gak ngerokok."
"Iya makanya aku heran waktu kamu minta ijin buat ngerokok."
Siwi menyeruput kopi yang dibelikan Malik untuknya, meski tidak semahal minuman yang selalu ia belikan untuk pemuda itu entah mengapa minuman ini malah membuat hatinya jadi hangat.
Padahal diperjanjiannya, jika sedang berkencan harus Siwilah yang menanggung semuanya, tapi entah apa maksud Malik hari ini... ia hanya mengajak berkencan, layaknya orang yang benar-benar terlibat hubungan yang sebenarnya, bukan sewaan belaka.
Malik tanpa keraguan mengisi sela kosong di jemari Siwi, membiarkan gadis itu bersandar di bahunya yang lapang, netra keduanya sama-sama sedang menganggumi langit malam yang meski hanya ada sedikit bintang tapi tetap indah, meski dingin tapi ia sukses membuat dua insan berbagi hangat.
"Mirna udah gak gangguin kamukan?"
Kekehan Malik tertahan di bibirnya.
"Enggak, kakak sayang."
Bergantian Siwilah yang ingin tertawa dipanggil demikian.
"Aku pikir kamu bego, ternyata super bego waktu denger cerita kamu soal Mirna. Kenapa bisa dibutakan cinta sebuta itu sih Lik? Untung kamu udah sadar kalau hubungan yang kayak gitu menyakitkan."
Malik ikut menyandarkan kepalanya ke kepala Siwi menikmati setiap omelan bak nyanyian di telinganya, kakak gulanya hanya khawatir, Malik hafal mati nada suara yang sedikit keras namun mengandung sayang itu.
"Enggak lagi. Malik udah sadar kok kalau cinta itu butuh dua orang yang berjuang."
"Pinter."
Mungkin sekitar 5 menit mereka ada diposisi yang sama sebelum Malik kembali menengakkan badannya, tangan keduanya masih bertaut dan Siwi agaknya Nampak betah bersandar pada bahunya hingga membuat Malik mengulas senyum tipis.
"Kak, lihat aku." Pinta Malik.
"Hem kenapa?" Siwi menurut, mata mereka kini sejajar.
Dipandangnya Malik yang sepertinya sedang kesulitan memilih kata namun entah mengapa Siwi tahu ke arah mana percakapan ini, tidak perlu kalimat yang panjang, tatapan mata itu sudah mengungkapkan segalanya.
Malik memujanya, Malik menyayanginya, dan 'persewaan' things ini tentu menjadi penghalangnya.
"Gimana kopinya? Enak?"
"Enak."
Satu ujung bibir Malik terangkat kala melihat Siwi mencoba mencari sisa rasa kopi dengan menyapukan lidah ke bibirnya sendiri.
"I wonder how it taste like." Malik berucap dengan nada rendah, ibu jarinya dengan kurang ajar menyapu bibir Siwi yang terasa lembut dipermukaan kulitnya, kini bibir Malik sendiri menyimpan iri pada si ibu jarinya, ia ingin menggantikan posisi itu katanya.
Sementara Siwi gamang, sentuhan Malik meruntuhkan kewarasannya.
"Then taste it."
Setelah mendapat consent justru Malik dibuat ketar ketir sendiri, bagaimana mungkin Siwi terang-terangan begitu? Bukannya perempuan biarpun menginginkan juga akan sok malu-malu?
Ah, Malik dibuat patah mental.
Jarak seketika lenyap begitu Malik mendekat, hembusan nafas masing-masing terasa, namun Siwi dibuat terkekeh karena bukannya bibirnya tapi Malik berbelok mengecup kelopak matanya.
Kenapa harus segugup itu Malik? Padahal kamu yang memancing lebih dulu untuk sebuah ciuman.
Maka pada saat pandangan mereka kembali sejajar, Siwi yang mengecupnya terlebih dahulu, rasanya begitu cepat dan singkat tapi bibir Siwi pada bibirnya benar-benar cukup membuat Malik terdiam, ia baru sadar saat Siwi mengacak rambutnya sembari berkata...
"Ck, cupu!"
Pria mana yang suka dipanggil cupu? Tentu tidak ada, mungkin itu yang membuat Malik meraih tengkuk Siwi agar gadis itu tidak kemana-mana kala ia meraup dengan ganas bibir bawahnya, melumatnya hingga menghasilkan decak, Siwi bahkan kewalahan dibuatnya, ia menyesal meledek Malik cupu jika begini hukumannya.
Rasa kopi yang tadi hanya diminum Siwi juga dirasa Malik kini dan agaknya benar kalau kopi itu terasa enak, ditambah manis oleh rasa alami bibir Siwi.
Saliva saling bertukar, Malik berkali-kali memiringkan kepalanya mencari posisi yang tepat dan nyaman untuk memperdalam ciumannya, kali ini lidahnya ikut bermain mengajak lidah Siwi menari bersama hingga keduanya hampir kehabisan nafas, jika bukan Siwi yang menepuk-nepuk dadanya mungkin Malik belum melepaskan ciuman mereka.
"Aku nafas dulu."
Tidak ada yang lebih sexy di mata Malik ketika melihat Siwi berujar demikian dengan nada kian manja, dengan dada yang naik turun mencoba meraup oksigen sebanyak mungkin, wajah yang memerah entah karena malu atau karena sudah merasa panas, dan Malik bangga karena ialah yang menjadi penyebab.
Wajah Siwi ditangkup Malik dibarengi dengan ibu jarinya yang mengusap pipi memerah itu lembut seolah kulit Siwi kain sutra mahal disertai sayang disegala sentuhnya.
Malik tidak tahan untuk tersenyum namun karena melihat senyum pemuda itu, Siwi juga melakukan hal yang sama, senyum Siwi baru hilang berganti kelu kala Malik mengucapkan sebuah kalimat yang menambah bimbang hubungan mereka.
Malik sudah pernah meminta izin untuk menyanginya meski Siwi tidak mendengar dan mengiyakan karena sudah lelap. Tapi sebutlah Malik bebal, pemuda itu sudah menyayangi sang kaka gula dengan atau tanpa izinnya.
Namun mungkin karena doktrin di kepalanya, dimana sebuah hubungan harus mendapat consent kedua pihak maka Malik menyusun kalimat singkat namun cukup membuat seluruh sanubari Siwi kocar-kacir tidak menyisakan waras.
"Kak, kamu cantik. Boleh aku jatuh cinta?"
***
Setelah mengungkapkan rasanya, Malik dibuat bingung lagi dengan sikap Siwi yang tidak menjawab apapun bahkan setelah mereka pulang. Malikpun tidak bisa memaksa untuk sebuah jawaban meski kepalanya ada satu pertanyaan yang sejak tadi berputar...
"Aku boleh melangkah gak sih kak?"
Siwi tidak memberi pasti, tapi pelukannya pada Malik makin erat, lebih erat dari sebelumnya seolah tidak rela melepaskan.
Tapi satu hal yang pasti, meski seminggu lagi kontrak mereka berakhir, meski Malik memberinya perasaan ragu, satu yang yang Siwi pegang teguh...
Bagaimanapun Maliknya yang harus tetap pergi.
-To be continued-
(Don't forget to touch the stars Button if you like the story 😊 👉🌟)
KAMU SEDANG MEMBACA
SUGAR
General FictionBanyak yang berkata, sebuah tulisan di buku romance tidak lain tercipta karena penulisnya jatuh cinta atau patah hati. Yang jadi masalah, Siwi sedang tidak mengalami keduanya, sementara dikontrak yang ia tanda tangani dengan penerbit besar memilik s...