JBKS 23

106 12 1
                                    

Perjalanan menuju kampus yang biasanya hanya butuh waktu 1 jam, tapi rasanya seperti 100 jam.

Hanya hembusan nafas yang terdengar kala itu.

Baik Kinan maupun Gilang sibuk dengan pikiran nya masing-masing.

Tidak ada satupun dari mereka yang berani mengucap apa yang ada di pikiran nya itu. Lebih baik disimpan di hatinya, daripada diucapkan justru akan menimbulkan perspektif yang bisa membuat salah paham. Begitulah yang Gilang rasakan.

Saat sampai di kampus, semua anak-anak sudah berkumpul. Ada yang membawa koper dan ada yang hanya membawa ransel seperti Gilang. Kinan? Jangan ditanya. Ia membawa 1 koper, 1 ransel, dan 1 tas bahu.

Sebenarnya dia lebih bingung akan memakai baju apa nanti, jadi dia memindahkan lemari pakaian nya ke koper yang tidak berdosa itu. Gilang hanya misah-misuh saat Kinan memintanya membawa barang miliknya.

"Lagian lo kayak mau pindah kos'an aja deh, Nan. Jangan-jangan, segala piring sendok lo bawa deh." Kata Gilang.

Kinan yang di sampingnya langsung loncat dan merangkul Gilang. "Kok lo tau sih, njir?" Kemudian mendorong pelan Gilang. Bukannya Gilang yang kehilangan keseimbangan karena didorong Kinan, ini justru Kinan yang jatuh terduduk.

"Gila. Badan lo kok bisa sampe sekuat itu sih, Lang?" Tanya Kinan sambil meraih tangan Gilang yang membantunya berdiri.

Lalu Gilang ikut berbisik di telinga Kinan, "Mau nyoba yang lain? Gue juga kuat loh!"

Kinan memukul kepala Gilang, "anjir, maksud lo apaan dah? Jijik gue. Pergi sana hush hush" Kinan langsung berlari meninggalkan Gilang dan bergabung dengan Ardina.

"Maksud gue angkat beban, Nan. Ngeres banget otak lo!" Gilang hanya bisa terkekeh di belakangnya. Entah kenapa, menggoda Kinan itu lucu banget! Dia jadi gemas sendiri. Padahal Gilang tidak ada maksud berkata seperti itu. Ia hanya ingin melihat Kinan memerah dan salah tingkah seperti itu, dan juga ia ingin mendengar suara renyah tawa Kinan yang candu itu.

Oke, baiklah. Anggap saja Gilang sudah sangat bucin sama Kinan. Jadi hal-hal yang diluar nalar seperti itu, tiba-tiba muncul begitu saja tanpa ia sadari.

Dio datang dengan membawa dua botol cola dingin. Ia memberikan satu botol di antaranya ke Gilang.

"Aman?" Tanya Gilang

Dio mengacungkan jempolnya, "beres."

Kinan dan Andira duduk di ruang tunggu fakultas. Meskipun hari libur, Kebetulan, hari ini banyak orang yang lalu lalang untuk mendaftarkan diri. Saat ia sedang menyesap minuman dinginnya, Kinan tersedak saat melihat sosok yang tidak asing baginya muncul dari dalam lift yang pintunya terbuka.

Kinan menepuk bahu Andira, "Dir, si Ammar tuh. Arah jam 2"

Andira menengok ke arah yang dituju Kinan. Dengan seenak jidat, Andira mengangkat tangannya. "Ammar! Apa kabar lo?" Teriaknya.

Kinan justru panas dingin saat Andira justru memanggil Ammar. Laki-laki itu kemudian menghampiri keduanya. Kinan hanya diam  dan menjaga kondisinya agar tidak salah tingkah.

Bagaimana tidak? Kalau ingin jujur, jantung Kinan masih suka berdegup kencang saat nama Ammar digaungkan. Apalagi ini, ia harus berpapasan dengan Ammar yang notabene ny adalah laki-laki-yang-dulu-sempat-ia-sukai

Gawat. Kinan mengernyit.

"Oh hei. Kalian pada ngapain ke kampus? Bukannya udah libur?" Tanya Ammar.

"Makrab dong. Jalan-jalan lah. Lo enggak ada makrab bareng angkatan?" Andira berbalik bertanya.

Ammar menggeleng dan mulai ikut bergabung duduk dengan mereka. Oh, lebih tepatnya Ammar duduk di samping Kinan. Di antara luasnya sofa fakultas, kenapa Ammar harus memilih untuk duduk disampingnya? Sudah dipastikan jantungnya akan terus berdegup kencang.

Jangan Bilang Kita Sahabat (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang