44. PENGANTARAN

2.1K 324 40
                                    

Gema takbir masih berkumandang di mana-mana sejak kemarin sampai sekarang. Terdengar di seluruh komplek tempat gue tinggal, di berbagai tayangan dan media, serta di sepanjang perjalanan yang gue tempuh selama berada di dalam mobil Om Julius bersama Mamah. Menemani setiap jarak yang dilalui seolah mengingatkan bahwa gue masih berada dalam nuansa Idul Fitri.

Hari kedua.

Setelah kemarin gue saling bermaaf-maafan dengan Mamah. Bersimpuh di depan Mamah, menangis bersama, berpelukan lantaran sedih teringat bahwa satu orang di antara kami telah tiada. Yang kini, akhirnya kami kunjungi lagi tempat beristirahatnya.

Gue menaburkan bunga ke atas pusara Nenek. Bersama dengan Mamah, Saga, Om Julius serta Grandma yang turut berziarah dalam rangka rutinitas hari lebaran. Membuat gue kian salut terhadap mereka karena mau-maunya menemani kami yang tergolong bukan keluarga sendiri.

Seusai menghabiskan isi bunga di plastik, gue menaruh plastik ke tanah selepasnya berjongkok. Bersandar ke nisan bertuliskan nama Nenek; Rusnita Binti Rudianto, untuk menumpahkan tangis dalam diam selagi Mamah terus-menerus mengusap bahu gue.

Ini adalah tahun Syawal pertama yang gue lalui tanpa kehadiran Nenek di hidup gue. Dan rasanya betul-betul sangat berbeda.

Nggak ada suara Nenek yang menggemakan lantunan takbir sambil mempersiapkan bumbu dan ayam untuk memasak opor.

Nenek nggak lagi muncul di kamar untuk membangunkan gue supaya nggak telat sholat Ied.

Udah nggak ada sosok Nenek yang turut membantu gue berdandan pakai baju baru dan berujung saling pamer.

Nenek yang bakal memuji gue dengan embel-embel; "Cucu kesayangan nenek yang paling ganteng."

THR dari Nenek tahun ini pun nggak mampu gue miliki sama sekali.

Gue kangen banget sama Nenek, Ya Allah. Nggak gue sangka melewati masa lebaran tanpa beliau bakal terasa sesakit dan seberat ini. Berandai-andai, seumpama Nenek masih ada, kami pasti sedang asik menikmati sajian opor di meja makan sekarang. Sambil mengobrol dan membahas perihal THR yang gue dapatkan.

Dapat gue rasakan belaian lembut mendarat di puncak kepala. Gerak dan tekstur dari tangan yang amat gue kenali. Sentuhan Saga yang sedikit berhasil menenangkan gue.

"Udah atuh, Sayang. Jangan nangis terus."

Bisikan Mamah gue tanggapi melalui anggukkan. Jadi, gue mengangkat kembali kepala dan langsung menyeka jejak basah di wajah menggunakan lengan baju koko panjang yang gue kenakan.

Saga mengangguk laun, seakan menguatkan--meski dia sendiri matanya udah sangat merah. Om Julius memandang prihatin, dan Mamah yang nggak lepas merangkul gue.

Sementara Grandma tersenyum getir menatap gue. "You're such a strong boy, Feryan. I'm sure your grandma would be so proud of you," ucapnya sembari bantu mengusap basah yang masih membekas di pipi gue.

Gue balas tersenyum. "Thank you, Grandma," balas gue dan memandangi pusara Nenek. "I'm also so proud to be her grandson," imbuh gue seraya terus memegangi nisan milik Nenek.

Meski faktanya, gue belum mampu membanggakan Nenek sepenuhnya hingga detik ini, sih. Untuk itu, gue bakal berusaha lebih keras lagi mulai sekarang supaya Nenek pun bisa menyaksikan.

Sekali lagi, mohon maaf lahir dan batin ya, Nek. Tolong jangan bosen-bosen ngeliat Fery dari atas sana. Fery sayang sama Nenek.

.

Grandma memeluk gue erat-erat. Setelahnya, pipi gue diberi ciuman; kanan dan kiri, nggak lupa mendaratkan kecupan ke dahi juga.

Setelah puas, beliau menarik napas panjang sambil menepuk-nepuk bahu gue. "We'll meet again someday, okay? Or maybe, you can just visit me to UK. With my grandson."

Si Bangsat Kesayangannya Bego (SBKB#2) [BL Story]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang