Januari

65 17 15
                                    

-awal tahun yang menjadi awal dari perjalanan hidup

Kini aku berada di sudut kamar dengan situasi yang berantakan, bukan kamarku yang berantakan, tetapi pikiranku. Bolehkah aku menceritakan sesuatu kepadamu? Hanya sedikit saja, aku mohon!

Aku hancur, keluargaku hancur, kebahgiaanku telah lenyap.

Aku kini tak punya siapa-siapa untuk ku ajak berbagi cerita. Aku tengah dipaksa dunia untuk membangun rumah kebahagiaan ku di antara rasa sakit. Aku bingung harus memulai dari mana. Kini aku akan pergi kemana? Haruskah ku sudahi rasa sakit ini dengan mengakhiri hidupku? Bukan kah itu hal yang konyol? Aku tidak serendah itu, tapi mentalku juga tidak sekuat yang dipaksakan pikiranku.

Ayah sama ibu sudah berpisah, dan aku sendiri tak ingin berpisah dengan ayah lalu tinggal dirumah ibu, namun aku juga tidak ingin berpisah dengan ibu lalu tinggal dirumah ayah. Tidak bisakah kalian kembali seperti dulu saja?

Namun apa yang sudah terjadi tidak bisa diulang, bukan? Kini bagaimana denganku? Apa kalian tidak memikirkan diriku saat memutuskan untuk berpisah?

***

"Ibu, aku akan pergi."

"Mau kemana kau?"

"Mencari kebebasan ku."

Saat aku mengatakan itu, yang aku tangkap dari ekspresi ibu hanyalah kekhawatiran. Aku mengerti bagaimana sedihnya dia ketika aku mengatakan itu, tapi apakah kau tahu apa yang ia katakan selanjutnya?

"Hati ibu tidak mengizinkanmu untuk pergi, tapi ibu juga mengerti kau kini sudah dewasa, sudah seharusnya kau menjalani hidupmu dengan pilihanmu sendiri. Ibu harap bebas yang kau maksud itu adalah hal baik. Ibu juga akan memulai hidup baru dengan seseorang. Jadi yang terbaik adalah membiarkanmu berlari dari situasi ini."

Mendengar ibu mengatakan itu membuat hatiku hancur. Jadi selama proses perpisahan itu ibu sudah menyiapkan rencana kedepannya? Apa dia benar-benar tidak merasa sedih dengan perpisahan itu? Bukankah lima tahun yang lalu ibu pernah mengatakan bahwa ibu sangat mencintai ayah? Kenapa sekarang ibu semudah itu melepaskan ayah lalu menerima orang baru?

Kini aku memang benar-benar harus pergi. Aku tak sanggup dengan semua ini. Aku akan pergi. Aku akan menghapus luka ini. Aku akan mengikhlaskan peristiwa ini. Aku harap ini tak akan terulang dalam kisah cintaku di waktu berikutnya.

"Teruntuk ibu, aku pamit. Kau adalah wanita pertama yang mengecup keningku disaat aku pertama kali terlahir di dunia ini. Dan teruntuk ayah, aku juga pamit. Kau adalah lelaki yang menjadi cinta pertamaku di dunia ini."

***

Jika Bandung memberiku kenangan buruk, maka aku harap Jogja adalah penyembuh.

Ditengah hiruk pikuk kota Jogja, aku menyusuri jalan setapak yang ramai orang saling melempar tawa. Rupanya keindahan Jogja mampu membuat orang bahagia saat mengunjunginya.

Langkah demi langkah kulalui, kini aku tak sadar telah menempuh dua kilo meter dari stasiun kereta, tak lama kemudian aku menemukan alamat yang aku tujui. Indekos yang di rekomendasikan oleh salah satu kenalan ku. Memang tempatnya tidak luas tapi itu cukup untuk di tempati sendirian olehku.

Di indekos ini aku beristirahat, aku harap aku bisa betah di sini, dengan perabotan yang disediakan seadanya oleh pemiliknya, aku menemukan dua buku di lemari baju, mungkin itu sengaja disimpan agar aku tidak bosan. Aku mencoba membacanya, salah satunya adalah buku novel, dan satunya lagi adalah buku kutipan motivasi. Di salah satu halaman buku, terselip satu kertas, tampaknya sebuah kutipan yang ditulis manual.

"Jika hidup itu ibarat buku, kamu mungkin akan kesulitan untuk menulis bab 'Broken Home'.
Sebab kamu kehilangan dua tokoh utamanya, yaitu orang tua.
Tetapi kamu harus melanjutkan jalan ceritanya."

-rosediana diary

𝐒𝐞𝐣𝐚𝐭𝐢𝐧𝐲𝐚 𝐎𝐤𝐭𝐨𝐛𝐞𝐫Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang