-tentang rasa
Cuaca di Jogja sedang panas-panasnya, terik matahari membuatku rindu akan hujan. Raina, sedang apa kau sekarang?
Sudah kuduga, selang beberapa jam aku mengatakannya, benar saja lagi-lagi wanita ini berada di tepi pantai, tak bosan-bosan dia menatap sang senja.
"Sesuka itu kau dengan senja?"
Wanita itu tersenyum. "Ya."
"Senja yang di atas sana atau senja yang di sini?"
"Keduanya."
"Aku tidak ingin di duakan."
"Kalo tak ingin, setidaknya jangan memberi harapan."
"Kau berharap apa padaku?"
Mendengarnya membuat wanita itu bungkam. 'Aku ingin kau memberiku kepastian. Jika kau hanya singgah, maka aku ingin kau pergi saja. Karena yang kubutuhkan adalah orang yang siap menetap.'
"Besok saya dan teman-teman akan mendaki di gunung Rinjani, kalau kau ingin ikut saya sudah siap menjagamu." Ujar lelaki itu.
"Saya belum pernah mendaki sebelumnya. Saya tidak ingin membebani kalian."
"Sudah saya bilang, saya siap menjagamu."
"Bolehkah saya percaya padamu?"
"Seharusnya sejak awal bertemu kau sudah percaya padaku."
"Saya tak bisa semudah itu mempercayai seseorang."
"Percayalah padaku, aku berjanji akan menjagamu."
"Sebelumnya kau tak pernah berjanji. Baru kali ini, akan kucoba."
"Terimakasih."
***
Bagi Raina, ini pertama kali baginya. Sementara sang Jingga yaitu plesetan arti Sandhya alias Senja kerap disapa sebagai Angga, sebenarnya dia yang mengajak temannya mendaki ke gunung ini agar mendapat kesempatan menyatakan perasaannya kepada Raina.
"Kalau kau lelah istirahat dulu. Saya bisa menemanimu."
"Lalu, bagaimana dengan mereka?"
"Mereka bisa menunggu di post berikutnya."
Raina mengangguk. Dia kini sangat lelah ditambah fisiknya yang lemah tidak memungkinkan untuk melanjutkan pendakian malam ini. Biarkan dia beristirahat dulu sebentar.
"Sebentar lagi sudah malam, kita istirahat saja di sini. Percaya sama saya, saya tidak akan melakukan yang tidak-tidak padamu."
"Saya harap perkataanmu bisa dipercaya."
Lelaki itu mengangguk. "Kau tunggu di sini, saya mau pasang tenda dulu."
"Kita satu tenda?"
"Tidak, kau istirahat saja. Saya akan berjaga malam ini."
"Kau pasti lelah, biar kita bergantian."
"Saya ini lelaki, tidak bisa kubiarkan seorang wanita berjaga sendirian."
Kini api unggun menjadi pengganti sang senja. Jikalau kemarin mereka menghabiskan waktu dengan menatap senja, kini yang mereka lakukan adalah menghangatkan tubuh sembari menggosok kedua tangan masing-masing di atas api unggun.
"Di sini dingin, ya."
"Makanya, saya sudah katakan agar kau istirahat saja di dalam."
Tak menghiraukan lelaki itu, ia segera berkata "Saya kedinginan. Jika boleh, bisa kah aku memelukmu?"
"Saya sudah menahan diri agar tidak menyentuhmu, kenapa malah kau yang menawarkan?"
"Saya kedinginan."
"Ya sudah, kemarilah. Setelah ini kau masuk ke tenda." Raina kini masuk ke pelukannya. Dari hangatnya api unggun, ternyata pelukan mereka lebih hangat dari itu. Nyaman sekali, rasanya Raina tidak ingin melepaskannya.
Dalam pelukan yang berlangsung lama diiringi dengan rasa canggung dan jantung yang berdetak kencang, satu pertanyaan berhasil keluar dari mulut Raina. "Kau ini sebenarnya siapa?"
"Saya? Kalau boleh saya katakan, saya ini jodohmu."
Raina kini menatap lekat mata lelaki itu. Rasanya canggung sekali menatap dia dengan dekat begini. "Saya serius."
"Saya juga serius." Jawabannya membuat kedua orang itu saling menyembunyikan senyum.
Jarum jam di jam tangan Raina menunjukkan pukul setengah empat pagi. Kini keduanya sedang bersiap-siap akan melanjutkan pendakian. Mereka sudah harus sampai di pos berikutnya sebelum jam menunjukkan pukul enam pagi.
***
Kini rombongan itu sudah tiba di puncak gunung Rinjani, Raina dan Angga juga sudah tiba bersamaan dengan yang lain.
"Angga, kau jadi ke Tana Toraja, bukan?" Angga yang sedari tadi menatap Raina kini berbalik.
Ia di sini berniat menyatakan perasaannya kepada Raina, dengan mendaki ke gunung ini ia berharap semesta menjadi saksi atas cintanya kepada wanita ini.
"Iya."
"Cewekmu bagaimana?"
"Nanti saya antar dia pulang ke Jogja dulu baru kita ke sana."
***
Semesta, maaf untuk kali ini. Saya gagal menyatakan perasaanku. Bukan karena saya tidak mampu menyatakannya ataupun malu menyatakan. Saya hanya tidak bisa meninggalkan dia sendiri setelah ini. Saya tau ia pasti akan kesepian jikalau saya pergi ke Tana Toraja. Saya merasa serba salah. Saya juga tidak bisa membawanya ikut ke sana. Tuhan, berilah saya waktu sebentar lagi untuk menyatakannya.
"Rain, sampai jumpa. Saya akan merindukanmu. Merindukan ceritamu. Merindukan tatapanmu, dan merindukan segala tentangmu. Tunggu aku sebentar. Kembalilah ke Jogja."
"Jika mencintaimu adalah hal yang nyata, apakah memilikimu bisa menjadi nyata?"-bumi
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐒𝐞𝐣𝐚𝐭𝐢𝐧𝐲𝐚 𝐎𝐤𝐭𝐨𝐛𝐞𝐫
Teen Fiction𝐒𝐞𝐣𝐚𝐭𝐢𝐧𝐲𝐚 𝐎𝐤𝐭𝐨𝐛𝐞𝐫 🪐: 𝟖𝟓% 𝐊𝐢𝐬𝐚𝐡 𝐅𝐢𝐤𝐬𝐢 𝑻𝒆𝒏𝒕𝒂𝒏𝒈 𝒉𝒊𝒅𝒖𝒑 𝒔𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒈𝒂𝒅𝒊𝒔 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒆𝒔𝒖𝒏𝒚𝒊 𝒎𝒂𝒍𝒂𝒎, 𝒔𝒆𝒕𝒆𝒏𝒕𝒆𝒓𝒂𝒎 𝒑𝒂𝒈𝒊, 𝒔𝒆𝒎𝒆𝒎𝒃𝒐𝒔𝒂𝒏𝒌𝒂𝒏 𝒔𝒊𝒂𝒏𝒈, 𝒔𝒆𝒊𝒏𝒅𝒂𝒉 𝒔𝒆𝒏𝒋𝒂...