-hujan menyamarkan tangisnya
Oktober, banyak kesedihan di bulan kemarin. Untuk kesekian kalinya, aku ingin meminta bahagia.
Tentang mengikhlaskan, hati ini agaknya sudah ikhlas. Tapi pikiran masih saja bertanya-tanya. Ia berkata, "Apa kau tak membohongi diri ini?"
Lantas apa yang harus aku jawab? Ah, rumit.
***
Pukul dua dini hari.
Aku belum terlelap sejak beberapa hari yang lalu. Letih sudah tidak jadi masalah lagi, karena saat ini ada yang lebih terasa mengganggu, rindu.
Rintik mulai membasahi jendela, gemeletuk yang menghujani atap serasa merembes ke pipiku. Sudah cukup, aku sudah cukup merasakan gegap keparat sebuah luka.
Malam-malam yang kulalui setelah kepergian ibu adalah malam-malam terberat dalam hidupku. Derasnya hujan kini menyamarkan tangis, air mata sudah seperti sahabat sendiri, membanjiri pipi tak terkendali. Keparatnya, rindu justru terasa sangat tidak wajar dan menyiksa luar biasa ketika kau sudah tiada.
Ibu, aku rindu. Rindu untuk menyentuh kulitmu, mencium aroma tubuhmu ketika erat mendekap diriku, rindu menangkupkan kepala di dadamu dan seketika semua masalah rasanya tak begitu menakutkan seperti sekarang. Ada banyak sekali rindu yang ingin aku tuliskan, tapi tetap saja tak akan pernah cukup untuk membawamu pulang.
***
Pukul tiga dini hari.
Sendiri termenung di ruang kamar yang menjadi saksi bisu tumpukan air mata yang mau kutahan sekuat tenaga tapi tetap saja tidak bisa. Napasku yang tadi menderu mendadak hilang begitu saja ketika aku kembali sadar kau sudah tidak ada lagi.
"Aku rindu Ibu"
Di titik nadir hidupku, kata-kata itu selalu saja terulang, menjelma menjadi sebuah penyesalan. Tentang sebuah fakta yang harus kuterima.
Bukankah wajar jika aku merasakan sedih sekarang ini?
Bukankah wajar jika aku merasakan penyesalan sekarang ini?
Bukankah wajar jika tubuh ini merasakan kaget atas kepergian seorang yang dicintai?
Bukankah wajar jika seorang anak menangis mencari Ibunya?
Aku tidak tahu bagaimana lagi caraku menggambarkan hancurnya hatiku sekarang. Jika masih ada kesempatan dan cara yang harus kujalani agar bisa memelukmu lagi, tanpa pikir panjang aku akan melakukannya sekarang juga.
***
Pukul lima dini hari.
Aku terbangun setelah menangis semalaman hingga tak sadar aku tertidur. Aku memegangi kepala sendiri, memejam kuat-kuat, menahan sakit di dalam hati. Berharap ketika aku membuka mata, semua ini hanya mimpi belaka, dan kita masih bersama, bahagia seperti dulu kala. Namun, sekuat apapun aku melawan realita, fakta tetap saja mengalahkanku.
Seharusnya, sebelum kita menyudahi perjumpaan itu dulu, aku memeluk erat tubuhmu jauh lebih lama.
Seharusnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐒𝐞𝐣𝐚𝐭𝐢𝐧𝐲𝐚 𝐎𝐤𝐭𝐨𝐛𝐞𝐫
Teen Fiction𝐒𝐞𝐣𝐚𝐭𝐢𝐧𝐲𝐚 𝐎𝐤𝐭𝐨𝐛𝐞𝐫 🪐: 𝟖𝟓% 𝐊𝐢𝐬𝐚𝐡 𝐅𝐢𝐤𝐬𝐢 𝑻𝒆𝒏𝒕𝒂𝒏𝒈 𝒉𝒊𝒅𝒖𝒑 𝒔𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒈𝒂𝒅𝒊𝒔 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒆𝒔𝒖𝒏𝒚𝒊 𝒎𝒂𝒍𝒂𝒎, 𝒔𝒆𝒕𝒆𝒏𝒕𝒆𝒓𝒂𝒎 𝒑𝒂𝒈𝒊, 𝒔𝒆𝒎𝒆𝒎𝒃𝒐𝒔𝒂𝒏𝒌𝒂𝒏 𝒔𝒊𝒂𝒏𝒈, 𝒔𝒆𝒊𝒏𝒅𝒂𝒉 𝒔𝒆𝒏𝒋𝒂...