Agni melongo. Matanya mengerjap-ngerjap cepat saat mendengar dua orang di hadapannya beradu mulut sangat keras.
Perempuan itu perlahan-lahan melipir pergi. Dia membawa keranjang kerang bersih dan bawang putih yang sudah dikupas. Langkahnya berjingkat-jingkat. Agni hampir tiba di pintu masuk ke arah dapur saat suara melengking menghentikan langkahnya.
“Eh, kamu mau ke mana? Sini kamu!”
Badan Agni beku total. Niat hati tak ingin berurusan dengan konflik percintaan orang asing. Nyatanya semesta malah meledeknya habis-habisan dengan melemparkan Agni ke tengah perseteruan sepasang kekasih.
“Selvi, mau apa kamu?” Hujan menarik tangan si perempuan cantik yang berniat menghampiri Agni.
“Labrak dia-lah! Enak aja ngerebut pacar orang sembarangan. Cantik juga nggak. Miskin iya. Apa sih, yang kamu lihat dari cewek ini, Jan?”
Telinga Agni panas mendengar hinaan perempuan di samping Hujan itu. Tangannya mencengkeram keranjang kuat-kuat, hingga buku-buku jarinya memutih. Sakit.
Ingin rasanya Agni menyanggah semua tuduhan itu. Namun, dia tak ingin gegabah. Salah langkah bisa-bisa justru dia yang dipecat.
“Kamu bisa tenang sebentar?” Hujan menghardik. Logat khas Malang milik pria itu tiba-tiba berubah jadi menyeramkan.
Selvi langsung mengerut. Agni sampai terlonjak kaget. Dua perempuan itu sama-sama menatap ke arah Hujan.
“Kamu ngaca dulu sebelum main tuduh orang sembarangan.” Hujan kembali mengulang perkataan. “Dia ini pegawai restoran. Aku hanya bantu dia. Jadi, jangan—”
“Oh, jadi beneran dia kerja di sini? Selera kamu payah juga.” Selvi memotong perkataan Hujan.
Perempuan itu berbalik menghadap Agni kembali. Matanya berkilat-kilat. Tangan Selvi berkacak pinggang.
“Kamu tahu siapa aku? Aku Selvi Darmawan. Papa aku sahabatan sama yang punya resto ini. Kamu siap-siap angkat kaki dari sini karena aku bakal nyuruh Om Chandra buat pecat kamu.”
Agni terbelalak. “Eh, tunggu dulu! Atas dasar apa lo pecat gue sembarangan? Lo punya masalah sama pacar lo, ya selesaikan sendirilah. Nggak perlu senggol-senggol gue.”
Agni tak tahan lagi. Kepalanya benar-benar pusing. Dia langsung balik badan dan meninggalkan halaman belakang. Perempuan itu tak menggubris teriakan Selvi yang melengking tinggi.
Begitu masuk lagi di area dapur, emosi Agni kian tersulut. Panggilan bersahut-sahutan disertai perintah beruntun membuat kepala Agni berdenyut-denyut. Wajahnya pucat. Hawa dapur yang gerah juga semakin melelahkan batin Agni.
Dia berusaha bekerja semaksimal mungkin tanpa mengeluh. Namun, perjuangan Agni sudah di ambang batas saat menjelang jam kerjanya berakhir, manajer restoran memanggil perempuan itu ke kantor.
“Apa ini, Pak?” Agni memandang amplop putih panjang di atas meja.
“Gaji terakhir kamu.”
Bola mata perempuan itu membeliak lebar. Mulutnya ternganya. Terbata-bata Agni bertanya.
“Maksudnya apa, Pak? Gaji terakhir ..., berarti saya diberhentikan? Saya nggak boleh kerja lagi di sini?"
Manajer hanya menganggukkan kepala. Agni spontan menggebrak meja.
“Bapak, saya memang nggak ada kontrak tertulis. Tapi kok, dadakan gini pemberhentiannya? Kinerja saya buruk, Pak? Perasaan saya selalu melaksanakan tugas dengan baik.”
Manajer bergerak-gerak gelisah di kursinya. Mata pria itu melirik kanan kiri. Dia menjawab tanpa melihat ke arah Agni.
“Itu permintaan bos besar,” gumam si manajer nyaris tak terdengar. “Katanya ada tamu yang komplain soal kamu. Dia minta kamu dipecat.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Caramellicious (TAMAT)
Romantik• Terbit setiap hari Senin • Sama-sama menginginkan sebuah ruko di kawasan prestisius Malang, Agni dan Hujan yang merupakan mahasiswi di universitas ternama akhirnya bergabung dalam satu tim program wirausaha kampus. Sayang niat mereka yang berbeda...