Sudah jatuh tertimpa tangga.
Itulah yang terjadi pada Agni sekarang. Perempuan itu hanya bisa bengong di teras indekos.
Sementara sang induk semang telah pulang ke rumahnya sendiri yang ada di daerah Sawojajar. Cukup jauh dari lokasi rumah indekos Agni di wilayah Kerto Pamuji.
“Aku boleh bangga nggak sih, karena disambangi ibu kos? Tapi kok, nyesek gini juga, ya?”
Agni melangkah pelan memasuki rumah. Semua penghuni kos sudah terlelap. Maklum saja, jam pun sudah menunjukkan hampir pukul dua belas malam.
Efek dari penghematan yang dilakukan Agni adalah terpaksa jalan kaki pulang dari Malang Town Square, mal tempat dia bekerja di salah satu butik temannya. Jaraknya dari lokasi kerja menuju indekos setidaknya butuh setengah jam jalan kaki.
“Aku beneran macam Cinderella. Nggak dikasih kesempatan buat pamitan.” Agni mengembuskan napas panjang.
Matanya terpaku ke dua kardus air mineral dan satu koper ukuran besar yang teronggok di depan pintu kamar. Sang ibu kos rupanya sudah memprediksi jika Agni pasti tak mampu bayar uang sewa.
“Baik juga beliau mau bantu ngepak barang-barang aku.” Perempuan itu tersenyum miris.
Mencoba berpikir positif di tengah masalah yang menggunung adalah satu cara instan Agni untuk mengurangi beban di hati. Perempuan itu menarik koper bututnya dan meninggalkan dua kardus berisi buku-buku. Dia menulis pesan di bagian atas kardus, meminta tetangga kosnya untuk bantu menyimpan lebih dulu.
“Aku boleh ngeluh nggak, sih?” Agni memandangi rumah yang sudah satu tahun menjadi tempat tinggalnya di Malang. “Tapi ini juga ide gila kamu, kan? Nekat daftar kuliah padahal uang saja nggak punya. Bego emang kamu.”
Roda koper bergemeretak halus melindas aspal jalan. Dari lokasi indekosnya yang terletak di gang sempit, Agni perlu berjalan cukup jauh untuk menuju jalan raya.
Tidak ada lagi kendaraan umum yang lewat. Agni juga enggan menghubungi teman-temannya sekadar menumpang tidur malam ini. Dia sudah terlalu banyak merepotkan orang.
“Aku sendirian,” senandung lirih perempuan itu, “dan akan terus sendirian. Hanya angin yang jadi temanku. Hanya sunyi yang jadi sahabatku.”
Agni terus berjalan dan berjalan. Langkahnya tidak tentu. Dia hanya mengikuti ke mana kakinya bergerak.
Tujuan pergerakannya menuju ke arah utara. Didorong oleh kebiasaan pulang pergi ke kampus, Agni melewati fakultas tempatnya menimba ilmu. Gedung berpalet warna kelabu itu terlihat elegan bak hotel yang nyaman alih-alih sebuah gedung perkuliahan.
Namun, Agni tidak berhenti di sana. Kakinya masih terus melangkah. Roda kopernya menggelinding melewati jembatan ikonik Suhat. Sungai di bawah terlihat gelap tanpa penerangan. Saat melewati gedung Politeknik Negeri Malang, segerombolan laki-laki menghadang langkah Agni.
“Weh, ada cewek cakep lewat,” ucap seseorang dalam bahasa setempat.
Agni mengernyitkan dahi. Jantungnya berdegup kencang. Suasana di tempat ini sangat berbeda saat dini hari dan siang hari. Kala matahari bersinar, gang di dekat gedung Polinema tak menakutkan sama sekali.
Namun, kini suasananya berbeda. Jantung Agni berdegup kencang. Pegangannya di koper kian erat.
“Mau kita temenin? Bahaya loh, jalan sendirian jam segini.”
Agni mengeluh dalam hati. Justru lebih bahaya kalau ditemenin kalian.
“Eh, ditanya kok, diam? Bisu, ya?”
Langkah Agni benar-benar terhenti. Dua laki-laki berdiri tepat di hadapannya. Saat mendongak, pandangan Agni bertemu dengan sepasang wajah berparas biasa dan berkulit sawo matang. Aroma rokok pekat menguar dari tubuh dua orang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Caramellicious (TAMAT)
Romance• Terbit setiap hari Senin • Sama-sama menginginkan sebuah ruko di kawasan prestisius Malang, Agni dan Hujan yang merupakan mahasiswi di universitas ternama akhirnya bergabung dalam satu tim program wirausaha kampus. Sayang niat mereka yang berbeda...