Hujan menurunkan kecepatan mobilnya. Tangannya dengan lincah memutar roda kemudi. Kendaraan roda empat itu lalu berbelok dan berhenti di depan sebuah rumah besar pojokan jalan.
Banyak motor terparkir di halaman rumah itu. Saat membuka pintu mobil, samar-samar aroma harum masakan menyapa hidung Hujan.
“Weh, Mas Hujan dah pulang, to?”
Hujan melambaikan tangan ke satu pria paruh baya yang berjaga di pos satpam kecil. Santai dia melemparkan sebungkus rokok yang langsung ditangkap sigap oleh pria berprofesi satpam itu.
“Cuma nengok Ibuk, Pak,” jawab Hujan ramah.
“Bapak ndak sekalian?”
Hujan hanya menjawab dengan senyum. Bergegas dia meninggalkan bagian depan rumah. Ekor matanya sempat melirik ke halaman dan menghitung dengan cepat.
Lima belas motor.“Ibuk sedang dapat pesenan gede, nih?” gumam lelaki itu pada dirinya sendiri.
Begitu memasuki rumah, aroma masakan tercium makin kuat. Perut Hujan mendadak keroncongan. Jakunnya bergerak naik turun menahan lapar.
Dia tidak perlu memanggil wanita yang melahirkannya. Seolah memiliki hubungan telepati, sosok yang dicari Hujan muncul tiba-tiba dari balik partisi kayu.
“Umur panjang kamu. Pas Ibuk rasanin, pas kamu dateng.”
Hujan menyeringai. Diciumnya pipi sang ibu dalam gerakan kilat dan langsung melesat ke ruang makan. Tingkahnya mendapat tawa renyah dari beberapa pegawai katering yang kebetulan berpapasan dengannya.
“Sambel goreng ati, lapis daging, soun goreng. Wah, Ibuk emang paling top kalau soal perut.” Cengiran Hujan sangat lebar.
“Cuci tangan dulu!” Ibuk memukul punggung tangan anaknya.
“Nanggung, Buk. Laper ini."
Desisan keras terdengar disusul jeweran di telinga. Hujan memekik kaget. Meski tidak sakit, dia merasa wajib berakting menjadi anak baik dengan berpura-pura meringis kesakitan.
“Ada hand sanitizer. Pakai dulu. Itu wastafel juga ada di pojokan. Anak ini kenapa dari dulu ndak pernah berubah.” Ibuk mengomel.
Bibir lelaki itu menyunggingkan senyum tipis. Omelan ibunya adalah hal yang belakangan ini sering Hujan rindukan. Tinggal sendiri di kontrakan ternyata tidak semenyenangkan seperti yang teman-teman rantaunya gembar-gemborkan.
Hujan rasa bukan suara wanita itu saja yang dirindukannya. Daster panjang corak kembang-kembang beraroma keringat campur masakan juga hal yang bakal diingat memori Hujan. Itu pakaian dinas sang ibu selama bekerja di rumah.
Ya, bekerja di rumah.
Senyum Hujan berubah getir. Dia menyelesaikan acara cuci tangannya dengan menatap keramaian di dapur.
“Ngelamunin apa?”
Hujan terlonjak kaget. “Ibuk? Suka banget kagetin anak sendiri, sih?”
“Lah, kamu ngelamun.” Ibuk terkekeh.
“Pesenan ngalir terus, Buk?” tanya Hujan seraya kembali ke meja makan.
“Alhamdulillah. Walau ndak musim manten, yang pesen katering masih ada terus, Jan.” Wanita paruh baya itu menjawab.
Hujan makan dengan lahap. Obrolan ringan terjadi, hingga topik yang paling lelaki itu hindari akhirnya mencuat tanpa sengaja.
“Si Selvi ndak ngajak balikan lagi?”
Ayunan tangan Hujan yang memegang sendok penuh nasi terhenti di udara. Pandangan lelaki itu hampa dan kosong.
“Kalian memang sudah sering putus-sambung. Tapi ini kayake si Selvi lama ndak ngontak Ibuk sejak bilang kalian putus.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Caramellicious (TAMAT)
Romance• Terbit setiap hari Senin • Sama-sama menginginkan sebuah ruko di kawasan prestisius Malang, Agni dan Hujan yang merupakan mahasiswi di universitas ternama akhirnya bergabung dalam satu tim program wirausaha kampus. Sayang niat mereka yang berbeda...