Food is an ingredient that binds us together.
~~oOo~~
"Loh, Jan. Kamu mau ke mana? Ndak nunggu Bapak?"
Hujan mengelap mulut dengan tisu. Nasi sengaja ditinggalkan tanpa ditandaskan. Urusan mubazir pikir belakangan. Dalam hati Hujan berdoa agar nasi-nasi tak menangis karena tak dia habiskan.
"Ngampus lagi, Buk. Masih ada kuliah ini."
"Tapi Bapak sebentar lagi pulang."
Hujan abai. Disogok duit sejuta rupiah pun dia tak mau kembali duduk. Hal terakhir yang ingin dilakukannya sekarang adalah bertemu dengan Bapak.
"Keburu telat, Buk." Hujan mencium kedua pipi ibunya dan segera melesat keluar.
Tidak ada sapa ramah pada pegawai di rumah orang tuanya. Hujan berjalan cepat tanpa tengok kanan dan kiri. Mobil digeber kencang kembali ke area kampus. Sesekali lelaki itu mengumpat kesal karena jalan yang dilewatinya sangat padat kendaraan.
"Ke mana aja, sih? Lama banget.”
Lelaki itu menyeringai. Jahilnya kambuh melihat Agni yang duduk mencangkung di tepian taman. Mulut perempuan itu yang mengerucut dan wajah cemberutnya menerbitkan gemas di hati Hujan.
“Jiah, yang nungguin aku.” Hujan tertawa kecil.
“Ge-er banget.” Agni berdiri. “Barang-barang aku masih ada di kamu. Mau pulang, nih. Lama banget nungguin kamu.”
“Yok, pulang.”
Agni langsung mematung. “Kamu kenapa ngajakin aku pulang? Aku udah ada kos baru, kok.”
“Yakin kamu?” Hujan mengernyitkan dahi. “Cepat banget dapatnya. Kamu nggak sedang bohongin aku, kan? Bilangnya udah punya kos, tapi masih nginep tempat teman.”
Agni memutar bola mata. Bicara dengan Hujan memang membutuhkan kesabaran tingkat dewa.
“Kamu tuh, bener-bener Mister Cerewet, ya.” Agni mengeluh. "Udah kayak tumpeng tahu nggak?"
"Kok, tumpeng?" Hujan kebingungan.
"Iya. Skala cerewetmu itu kayak tumpeng. Banyak, topiknya macem-macem, bisa dibuat makan orang serumah."
Hujan mendengkus geli. Dia tidak percaya jika dirinya disamakan dengan makanan yang sangat merakyat itu.
“Urusan aku mau numpang tempat orang atau nggak. Yang penting aku jauh-jauh dari kamu," imbuh Agni lagi.
Hujan menelengkan kepala. “Duh, ini anak. Tekadmu itu terbuat dari apa, sih? Keras banget. Kamu tinggal aja dulu di kontrakan aku. Nggak apa-apa. Suwer!”
Hujan mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah membentuk huruf V. Wajah lelaki itu bersungguh-sungguh.
“Atau jangan-jangan kamu itu bukan takut aku apa-apain. Tapi takut kamu nggak kuat mental ngeliatin aku terus, yo?”
“Sembarangan!” Agni langsung menyanggah. Wajah perempuan itu memerah. “Ge-er banget jadi orang.”
Hujan menyeringai lagi. Dia membukakan pintu mobil untuk Agni. Lelaki itu bersorak dalam hati karena tidak mendapat perlawanan dari si perempuan.
“Nah, gitu kan, cantik. Anteng, nurut. Cocok deh, dijadiin babu.”
“Sialan!” Agni memaki kesal.
Tawa Hujan pecah. Dia memutari bagian depan mobil dan masuk ke kursi pengemudi.
“Ikut aku sebentar ke Gedung Serbaguna, yo. Aku mau tahu partner lomba aku.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Caramellicious (TAMAT)
Romance• Terbit setiap hari Senin • Sama-sama menginginkan sebuah ruko di kawasan prestisius Malang, Agni dan Hujan yang merupakan mahasiswi di universitas ternama akhirnya bergabung dalam satu tim program wirausaha kampus. Sayang niat mereka yang berbeda...