Jalan ke kanan lalu ke kiri, kemudian putar balik dan berakhir mengelilingi ruangan kecil di rumah Pak RT. Jelita pusing. Sejak tadi dia mondar-mandir nyaris setengah jam, tapi kepalanya seolah buntu tidak menemukan jalan keluar.
Gue nikah sama Laksmana? Jelita langsung mendengkus keras. Kepalanya menggeleng. Bagaimana bisa dia berakhir tersudutkan dengan menikahi cowok yang mati-matian dia hina sejak pertama kali bertemu, ralat bahkan sebelum bertemu.
"Dunia emang udah gila!" teriak Jelita frustrasi.
"Dan kamu yang bikin dunia saya mendadak gila sejak pertama kali ketemu."
Tahu-tahu saja suara pria membuat Jelita berhenti. Cewek itu menoleh menuju sumber suara. Laksmana tengah duduk di kursi tunggal milik Pak RT. Ekspresi wajahnya tampak keras.
Untuk sesaat cewek itu merenungi ucapan Laksmana. Kalau dipikir-pikir, memang Jelita lah yang memulai dengan ciuman di ruang ganti waktu itu. Kemudian, disusul dengan kejadian pelukan di taman gelap yang membuat mereka dituduh zina dan harus dinikahkan.
Namun, harga diri menolak Jelita mengiakannya. Dia malah mendongakan kepala sambil berkata, "Sori ya, ini bukan salah saya. Dewi fortuna aja yang mendadak pindah ke kamu dan bikin kamu dapat jackpot dengan terpaksa nikahin saya."
Laksmana mengangah. Mata cowok itu melebar. Tak lama suara dengkusan kesal terdengar. "Terserah kamu, mau tetap menyalahkan hal lain daripada introspeksi. Terpenting sekarang saya hanya bisa bilang, kamu harus siap-siap karena sebentar lagi kita ... nikah."
"MANA!" Jelita memanggil dengan putus asa. Cewek itu segera mendekati Laksmana lalu meraih tangan cowok itu untuk digenggam erat-erat. "Kamu, kan pinter, Man, mahasiswa berprestasi sekampus, emang nggak ada ide buat batalin pernikahan ini?"
"Ada." Laksmana mengangguk. "Ada sampai kamu hancurin dengan keceplosan bilang kita pernah ciuman sebelumnya, thanks to you, Jelita. Sekarang semua orang tahunya saya sudah menodai kamu dan Papa saya pasti nggak akan lepasin saya sebelum saya nikahin kamu."
Jelita mengerang. "Saya nggak masalah pernah ciuman sama kamu."
"Tapi keluarga saya masalah, Jelita." Laksmana mendesah panjang. "Orang tua saya masih sedikit ... kolot. Berpacaran boleh, tapi dalam batas wajar. Apa menurutmu ciuman adalah batas wajar untuk mereka? Enggak. Jadi, ketika mereka tahu saya sudah cium kamu artinya saya harus menikahi kamu."
"Tentang, dong, Mana."
Laksmana menggeleng. Cowok itu menarik tangan dari Jelita. "Kamu nggak kenal Papa saya, jadi tolong saya nggak mau berdebat lagi untuk masalah ini. Saya akan bertanggung jawab dengan apa yang sudah kamu lakukan, menikahi kamu."
Kedua kaki Jelita langsung lemas. Tanpa bisa dicegah badan cewek itu merosot hingga dia terduduk di kursi sebelah Laksmana. Dia mendongak. Sekali lagi tangannya meraih tangan Laksmana untuk dia genggam paksa. "Kamu ... mau nikah sama orang yang nggak kamu cintai, Mana?"
"Ta, jangan gini." Laksmana mencoba menarik Jelita agar berdiri, tapi cewek itu menggeleng. "Saya tahu ini berat karena saya juga nggak rela, tapi kita berdua tahu bahwa kita sama-sama nggak bisa kabur. Di luar sana kita dijaga ketat. Saya janji sama kamu, setelah semua ini reda saya akan lepasin kamu, Jelita."
Ucapan Laksmana terdengar seperti angin segar untuknya. "Kapan kira-kira ini reda?"
Laksmana mengedikkan bahu. "Saya belum tahu, tapi yang saya pikirkan saat ini adalah segera melewati malam ini. Mungkin satu atau dua minggu lagi. Lagi pula pernikahan kita masih secara agama, jadi lebih mudah berpisahnya. Nggak apa-apa, kan?"
Kepala Jelita langsung mengangguk cepat. Segera saja cewek itu berdiri lalu menjatuhkan dirinya pada Laksmana untuk berpelukan. Dia berkata dengan lirih, "Makasih, Mana."
Tidak ada jawaban, tapi Jelita tahu Laksmana menganggukan kepala.
Belum sempat Jelita melepaskan diri, suara pintu terbuka terdengar. Keduanya sontak menoleh bersamaan. Papa Laksmana muncul dari balik pintu. Kepala pria itu menggeleng melihat aksi Jelita dan Laksmana.
"Kayaknya kalian sudah nggak tahan, ya? Untungnya penghulu udah datang, jadi Jelita kamu bisa ganti baju yang lebih layak untuk menikah sekarang."
Perkataan Papa Laksmana memaksa Jelita untuk melepaskan pelukannya pada Laksmana. Cowok itu mengangguk seolah memberikan semangat Jelita untuk melalui ini semua.
Memang pada akhirnya, Jelita harus melalui ini semua demi menyenangkan semua pihak. Karena, baik Jelita dan Laksmana pasti akan berpisah suatu hari nanti.
***
Hanya dalam satu tarikan napas, Laksmana menyelesaikan ijabnya. Para saksi dan orang-orang di sekitar langsung berteriak sah bersamaan. Para orang tua meski ikut bersuara, tapi tampak tidak benar-benar bahagia. Mungkin mereka sadar, ini bukan pernikahan terbaik untuk anak-anak mereka.
Jelita sendiri langsung terisak kencang. Ini bukan jenis air mata kelegaan ataupun kebahagiaan yang biasanya para pengantin wanita lakukan. Namun, ini air mata kesedihan karena dia menikahi Laksmana. Harusnya mereka tidak pernah bertemu dan berakhir seperti ini.
"Mbak, sudah boleh cium tangan suaminya lho."
Sebuah suara mengalihkan perhatian Jelita. Penghulu di seberang mereka tersenyum seraya melirik ke arah cowok di sebelah Jelita.
Cewek itu menoleh. Laksmana masih tampak kaku, tapi cowok itu tetap menyodorkan tangannya. Mau tak mau Jelita meraih tangan Laksmana lalu dia tempelkan ke keningnya. Dia sangat tidak rela membuat bibirnya bersentuhan dengan setiap jengkal dari diri Laksmana.
"Udah jangan nangis," bisik Laksmana. Tahu-tahu saja cowok itu mengusap air mata Jelita dengan kedua tangannya.
Refleks, Jelita mundur. Matanya melebar. Dia berbicara tanpa suara, "NO!"
Tiba-tiba terdengar suara deheman. Keduanya menoleh dan ternyata Papa Laksmana sudah berdiri di dekat Laksmana. Ekspresinya persis dengan sang anak, kaku seperti kanebo.
"Pernikahan ini sah secara agama." Papa Laksmana membuka pembicaraan. "Artinya, hubungan kalian ini sakral, bukan main-main lagi. Laksmana, mulai detik ini tanggung jawab kamu bertambah, ada Jelita dan anak-anak kalian kelak. Besok Papa mau kamu urus pernikahan kamu dan Jelita secara sah di mata hukum. Paham?"
Terdengar helaan napas panjang dan dalam dari Laksmana. Tak lama pria itu mengangguk lambat-lambat. Sementara itu Jelita kembali terisak. Dia sedih karena ternyata suami barunya ini mengingkari janji. Pernikahan agama mereka akan segera menjadi pernikahan yang sah juga di mata hukum.
Tiba-tiba saja dia merasakan tubuhnya dipeluk seseorang. Jelita mendongak dan mendapati maminya yang melakukannya.
"Maafin Mami, ya, Ta, Mami nggak bisa belain kamu," bisik Mami. "Kamu dan Laksmana salah, jadi Mami harus membuat kamu belajar bertanggung jawab atas apa yang kalian perbuat. Pernikahan kalian ... Mami selalu berdoa untuk kebahagiaan kalian."
Kata demi kata Mami sukses memuntahkan seluruh kesedihan yang Jelita rasakan. Air matanya terus bercucuran begitu pula isakannya.
Cukup lama sampai tangis Jelita reda, cewek itu langsung buru-buru menghapus air matanya. Kemudian, menguatkan dirinya sendiri bahwa dia dan Laksmana akan segera berpisah sekalipun sudah didaftarkan secara sah di KUA. Perceraian adalah hal legal, jadi bukan masalah.
"Ayo pulang, Mi," rengek Jelita pada akhirnya.
Segera saja Jelita beranjak seraya merangkul Maminya. Namun, baru beberapa langkah, tiba-tiba Mami menahan gerakannya. Jelita mengerutkan kening. "Kenapa aku ditahan sih, Mi?"
"Sekarang kamu pulangnya sama Laksmana, Jelita. Dia suami kamu."
Seketika Jelita menjerit dengan histeris. Sontak dia mendudukan dirinya di lantai. Kedua kakinya dia selonjorkan lalu dihentak-hentak ke lantai. Berharap sikap kekanakannya sekarang bisa membuat kedua orang tuanya menurutinya seperti saat masa kanak-kanan.
"Nggak mau, Mami, Papi, Jelita mau pulang sama kalian!"
Jelita terisak kencang.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Sweetest Secret
RomansaDeskripsi: Takdir seakan ingin terus mempertemukan Jelita dan dengan ketua BEM kampusnya, yang selalu berpenampilan cupu Laksmana. Namun, satu pertemuan terburuk membuat keduanya tidak mungkin terpisah. Jelita dan Laksmana harus merahasiakan status...
Wattpad Original
Ada 2 bab gratis lagi