🌱Part 9🌱

165 30 2
                                    

Sore hari Lika masih setia berada di rumah Jennie, ia sama sekali tak kepikiran untuk kembali ke rumahnya. Hingga malam hari tiba, ia baru kembali dengan kondisi yang begitu pucat, mungkin karena efek dari penyakitnya.

Dua mobil terparkir di pekarangan rumahnya, ia mengernyit heran, mobil itu begitu sangat asing di penglihatannya. Tak ingin terlalu memikirkan, Lika segera meraih knop pintu dan membuka pintu utama rumahnya. Hal yang tak pernah ia lupakan adalah, ia selalu menggunakan maskernya. Dirinya dan masker sekarang bagaikan satu kesatuan yang utuh.

Saat pintu terbuka, semua orang menatap ke arah Lika. Lika semakin bingung lagi, kenapa ada banyak orang di sini? Di sana juga ada Lea yang tengah bersenda gurau dengan mereka. Lika langsung mengerti sekarang, orang-orang itu merupakan sahabat ayahnya.

"Dia siapa, Elgar?" Tunjuk seorang pria yang duduk di depan Elgar, namanya adalah Danu sahabat seperjuangan dan secontekan Elgar waktu SMA.

"Oh dia, dia adalah pembantu di rumah ini. Kalo kalian butuh sesuatu silahkan panggil dia," jawab Elgar membuat Lika membelalak sempurna.

"Hey tolong ambilkan buah-buahan di belakang, dan letakkan di sini," titah Elgar pada Lika. Lika yang tak ingin membuat ayahnya malu pun hanya menurut saja walau sakit saat dirinya tak dianggap.

"Oh pembantu, aku pikir dia putri kecilmu dulu Lika yang saat ini sudah beranjak dewasa," ucap Danu, langkah kaki Lika berhenti sejenak. Danu mengenalinya?

"Hahah bukan, Lika telah meninggal dua tahun lalu karena kecelakaan. Dan sekarang aku hanya mempunyai satu putri, Lea." raut wajah Elgar berubah murung, semua orang yang mendengar hal itu pun berempati padanya. Namun, Lika yang berada di dapur dan masih bisa mendengar percakapan mereka pun menitikkan air matanya. Jantungnya berpacu dua kali lipat, ia merasa ia kembali kehilangan oksigennya.

Dengan cepat Lika membawa nampan buah-buahan itu dan meletakkannya di atas meja, lalu dengan segera ia pergi dari sana menuju kamarnya.

Lagi-lagi Lika hanya menggigit bibirnya menahan isak tangis.

"Lika telah meninggal dua tahun lalu karena kecelakaan. Dan sekarang aku hanya mempunyai satu putri, Lea."

Ucapan itu selalu terngiang-ngiang di kepala Lika, alhasil karena terlalu frustrasi ia membanting cermin besar di kamarnya hingga menimbulkan suara yang begitu keras.

"Apa itu?" tanya orang-orang yang ada di sana terkejut.

"Owh itu mungkin kucing, haha iya kucing," jawab Elgar dengan gelagapan, dalam hatinya ia mengumpat pada Lika.

Tak lama karena hari yang mulai larut orang-orang itu mulai meninggalkan pekarangan rumah Elgar, Elgar dengan marah menghampiri kamar Lika yang saat ini menjadi amat kacau. Selimut dan bantal berserakan di lantai, juga terdapat banyak pecahan kaca di sana. Sedangkan Lika tengah meringkuk memeluk lututnya sendiri di pojok kamar.

"Astaga Lika apa yang kamu lakukan?" pekik Rina melihat kekacauan itu. Lika mendongakkan kepalanya.

"Gak ada, hanya sedang meluapkan emosi," ketus Lika berdiri, ia mendengus malas melihat mereka.

"Kalo gak ada hal penting yang ingin dibicarakan, silahkan keluar dari sini!" Tunjuk Lika ke arah pintu.

Elgar maju satu langkah. "Kamu pikir cermin sebesar ini harganya murah? Enggak, Lika! Dan kamu seenaknya pecahin, udah berapa cermin yang kamu pecahin, hah? Kamu tahu, bahkan cermin ini lebih mahal dari harga dirimu! Kamu ingin mempermalukan saya lagi? Setelah kamu membuat saya benar-benar malu dengan apa yang kamu perbuat di sekolah. Dasar biadab, kamu sama saja seperti ibumu!" maki Elgar, Lika yang mendengar ibunya disebut pun tak bisa menahan amarahnya. Ia membanting buku tebal yang berada di atas meja belajarnya ke wajah Elgar.

"Lika paling benci ada orang yang ngerendahin mama Lika! Bahkan Papa sekali pun!" tekan Lika dengan netra yang mengkilat marah.

"Kurang ajar," desis Elgar, tangannya terangkat ingin kembali menampar wajah Lika. Namun, entah kenapa ia menghentikan pergerakannya di udara.

"Kenapa berhenti? Mau nampar Lika lagi? Ayo tampar! Tampar, Pa! Tampar Lika!" teriak Lika menunjuk wajahnya, ia menangis tergugu di depan Elgar karena tak bisa lagi menyembunyikan kesedihannya.

"Akhhh," erang Elgar menendang meja belajar Lika hingga terpelanting ke dinding. Lea yang berada di ambang pintu pun ketakutan karena melihat raut wajah Elgar yang benar-benar marah. Bahkan Rina pun ikut terlonjak.

"Dasar tak berguna, pembawa sial, kamu hanya beban, Lika! Kehadiranmu hanya membawa malapetaka bagi saya. Asal kamu tahu, kamu adalah anak yang kehadirannya sama sekali tidak diinginkan!" hardik Elgar menekan di setiap kalimatnya.

"Kalo emang kehadiran Lika tidak diinginkan, kenapa Lika dilahirkan? Itu berarti ini adalah sebuah takdir, Pa. Takdir seseorang tidak ada yang tahu, dan kalo boleh memilih Lika tidak ingin dilahirkan dalam keluarga ini. Lika ingin dilahirkan dalam keluarga yang beruntung memiliki Lika," tutur Lika dengan lirih. Elgar pergi meninggalkannya bersama Rina, di ruangan ini sekarang hanya tinggal Lika dan Lea.

"Kak Lika gak papa?" tanya Lea perlahan mendekat.

"Tinggalin gue sendiri," jawab Lika.

"Kak,"

"Gue bilang keluar!" teriak Lika menatapnya dengan tajam.

"Maaf," cicit Lea berlalu keluar dari sana.

Sepeninggalan Lea, Lika mengunci pintunya. Ia menyenderkan punggungnya di belakang pintu sejenak, lalu beranjak mengambil pecahan kaca di lantai.

Dengan tersenyum, Lika menyayat tangannya sendiri  hingga darah terus menetes. Ia tertawa puas melihat tangannya yang disayat, dan kembali menyayat di sisi selanjutnya.

Ia juga memukul-mukul tangannya di atas tumpukan kaca, hingga beberapa kaca itu menusuk telapak tangannya, tapi ia tak merasakan sakit sedikit pun, ia malah senang dengan apa yang ia lakukan.

Ia beralih menusuk-nusuk betisnya dengan peniti, darah pun juga mengalir dari sana. Lika mengambil buku hariannya dan menuliskannya dengan darah itu, lalu kembali tertawa puas.

Mati.

Mati.

Mati.

Mati.

Lika hanya menuliskan kalimat itu di setiap lembarannya. Ia kembali beralih dengan membenturkan kepalanya ke dinding, tapi untuk saat ini ia tak membenturnya dengan keras.

Di tangan kirinya menggenggam kuat pecahan kaca, hingga pecahan kaca itu benar-benar menusuk ke dalam. Darah segar mengalir dari tangannya, ia memejamkan matanya menikmati sensasi itu dan lagi-lagi ia tertawa dengan keras.

"Lika telah meninggal dua tahun lalu karena kecelakaan. Dan sekarang aku hanya mempunyai satu putri, Lea."

"Akhhh," erang Lika karena kalimat itu terus berputar-putar di otaknya. Ia semakin menggenggam kuat pecahan kaca itu.

"Asal kamu tahu, kamu adalah anak yang kehadirannya sama sekali tidak diinginkan!"

"Beban."

"Biadab."

"Lebih baik kamu mati saja jika terus membuat saya malu."

Kata-kata yang Elgar lontarkan semakin banyak berputar menghantui pikiran Lika. Lika melempar semua pecahan kaca itu hingga berserakan di mana-mana, ia juga melempar semua buku-bukunya ke lantai. Lika menarik napas dalam-dalam lalu meringkuk dengan kekosongan.


Tbc ....

Votmennya ditunggu, see you in the next chapter❤


Lika dan Luka [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang