Aksa bergegas menemui Lika di rumah Gibran, yang tentunya sudah mendapat izin dari si pemilik rumah.
"Li," panggilnya lirih, Lika tak menoleh sama sekali. Perlahan ia mendekati Lika yang duduk menyender di sopa, yang ternyata Lika tertidur cukup pulas di sana. Melihat itu Aksa merasakan sakit di hatinya, ia membelai lembut wajah memar itu.
"Maafin aku, Li," tangisnya sembari memijit pelipisnya. Sekarang ia merasa menyesal telah menyakiti gadis malang itu, tapi jujur di lubuk hatinya ia masih amat mencintai Lika, hanya saja rasa itu tertutupi oleh egonya sendiri.
Perlahan Lika membuka matanya karena suara bising yang sedikit mengganggu tidurnya, bola matanya membelalak sempurna kala melihat Aksa di depannya yang menangis tertunduk.
"A-Aksa?" ujar Lika penuh tanda tanya, ia mengerutkan keningnya bingung. Tanpa diduga Aksa malah mendekapnya dengan erat seraya terus menangis.
"Li, maafin aku. Aku tahu aku salah, seharusnya aku dengerin kamu dulu bukannya malah nyimpulin sendiri. Sekarang aku udah tahu semuanya, aku minta maaf udah nyakitin kamu selama ini padahal aku udah janji sama diri aku sendiri buat jagain kamu. Maafin aku, aku emang brengsek, bodoh, goblok, aku gagal jaga kamu. Maafin aku, Li. Aku sayang sama kamu, tolong jangan benci aku lagi." Lika terdiam bisu mendengar penuturan penuh sesal Aksa, tapi sedetik kemudian air matanya luruh membasahi wajahnya.
"Ckkk Aksa cengeng," decak Lika melepaskan dekapan Aksa, jemari lentiknya mengusap wajah tegas itu.
"Aku cengeng karena aku sayang sama kamu, maafin aku, ya." Aksa merapikan rambut Lika yang sedikit berantakan.
"Tanpa kamu minta maaf pun aku udah maafin kamu, Aksa. Gimana bisa aku benci sama orang yang selama ini buat hidup aku lebih berwarna," balas Lika tersenyum simpul. Mendengar itu Aksa kembali mendekapnya dengan erat.
"Makasih, Li, makasih. Aku janji aku gak akan ulangin lagi, ayo perbaiki semuanya dari awal." Aksa menggenggam tangan mungil itu, menatap netra Lika penuh harap.
"Bagaimana dengan Lea? Bukannya kalian---"
"Aku sama sekali gak pacaran sama dia, waktu itu aku cuma kesal sama kamu. Jadi, aku gak ada hubungan apa-apa sama dia selain temen," jelas Aksa, Lika mengangguk.
"Jadi gimana, Li, bisakah kita perbaiki semuanya?" lanjut Aksa bertanya.
"Aku pikir aku gak akan bisa nolak, karena kamu itu bahagia aku, Aksa," jawab Lika seketika membuat Aksa kembali mendekapnya, ia bersorak senang seraya mengecup singkat kening Lika.
"Yes, kalo gitu ayo pergi kencan," girang Aksa langsung menggendong tubuh Lika membawanya keluar dari rumah mewah itu.
"Yaaak, Aksa turunin," teriak Lika, tetapi Aksa tak mendengarkannya, ia membawa Lika memasuki mobilnya dan memberi acungan jempol pada Gibran, yang sedari tadi menyender di pintu menyaksikan mereka.
Mungkin hari ini adalah hari bahagia Lika, tapi ia tak tahu kemungkinan besar juga masalah akan kembali datang.
***
Hari yang cukup melelahkan, Lika membuka pintu rumah Jennie, dan betapa terkejutnya ia kala melihat Elgar tengah duduk manis di sana.
"Papa?" bingung Lika mengernyit, sedangkan Jennie hanya mengedikkan bahunya tanda tak tahu, pasalnya sedari tadi Elgar hanya masuk dan tak mengucapkan sepatah kata pun.
"Ayo pulang." Kata itu berhasil membuat Lika terlonjak kaget, ia mengedipkan matanya beberapa kali.
"Lika gak salah denger kan? P-pulang?" tanya Lika memastikan. Elgar mengangguk sebagai jawaban, Lika tersenyum simpul, ia segera memeluk Elgar dengan erat. Beberapa menit ia turun dengan menyeret kopernya.
"Kak Jen, Lika pulang ya, makasih udah kasih izin Lika untuk tinggal si sini." Lika segera memeluk Jennie dengan erat, Jennie menepuk-nepuk punggungnya.
"Sama-sama, kalo ada apa-apa telfon Kakak aja," ujar Jennie, ia mengacak rambut Lika sebelum gadis itu meninggalkan pekarangan rumah.
Di dalam mobil, Lika banyak mengoceh. Ia menceritakan bagaimana hari-harinya di rumah Jennie, tentang hal yang ia lalui, dan tentang hari ini. Ia menceritakan semuanya dengan sangat antusias, walau pun Elgar hanya membalasnya dengan deheman singkat.
"Pa, Papa tahu nggak? Lika bahagia banget Papa jemput Lika pulang, itu berarti sebenarnya Papa sayang sama Lika. Makasih yah, Pa, Lika seneng banget," kata Lika bersorak senang, ia tersenyum menatap wajah Elgar yang tak berekspresi sama sekali, tapi dirinya tak masalah akan hal itu, karena ia sangat bahagia sekarang.
"Turun," dingin Elgar saat mereka telah memasuki pekarangan rumah, Lika dengan girang turun dari mobil itu. Ia melangkah lebar dan bersenandung ria menuju kamarnya.
"L-loh?" Lika menautkan alisnya bingung, pasalnya sekarang kamarnya telah banyak berubah, tidak lagi bernuansa seperti dulu, terlebih lagi ada Lea yang terbaring di kasurnya.
"Oh Kak Lika udah pulang, apa kabar Kakak selama ini?" basa basi Lea turun dari kasur, perlahan ia berjalan mendekat ke arah Lika.
"Maksud lo apa? Kok lo di kamar gue? Ini juga kenapa semuanya diganti?" hardik Lika tak terima, Lea tampak mangut-mangut.
"Sorry Kak ini udah jadi kamar aku, hehe," kekeh Lea seperti tak bersalah.
Brakkk
Lika membanting kopernya ke lantai dengan begitu keras.
"Apa-apaan ini? Keluar sekarang juga, gue gak pernah ngizinin lo di sini." Tunjuk Lika di depan wajah Lea, Lea menunjukkan smirknya.
"Aku gak peduli izin Kakak, yang penting Papa izinin aku," balas Lea sedikit mendorong bahu Lika.
"Bangsat lo," umpat Lika bersiap menampar wajah Lea, tapi pergerakannya terhenti kala Elgar mencengkram tangannya kuat.
"Pa izinin aku ngobrol berdua sama Kak Lika, Papa gak perlu khawatir, aku gak papa kok," pungkas Lea.
"Jadi ini alasan Papa jemput aku pulang?" timpal Lika dengan amarah yang memuncak.
"Iya, saya menjemputmu karena permintaan dari Lea, jika tidak maka saya tidak akan sudi," desis Elgar berlalu pergi meninggalkan keduanya sesuai dengan keinginan Lea.
Lika memejamkan matanya, ia mengepal kuat. Sekuat tenaga ia mencoba meredam amarahnya, tapi ia gagal. Amarah itu semakin bergejolak, alhasil Lika menendang lemari kaca itu hingga terjatuh ke lantai dan pecah menjadi beberapa keping.
"Kenapa? Marah? Gak suka? Denger ya Kak, selama ini aku cukup peduli sama Kakak, dan ngehargain Kakak sebagai Kakak tiri aku, tapi sekarang itu gak akan terjadi lagi. Kakak tahu karena apa? Karena aku gak suka Kakak deketin Aksa!" pekik Lea menekan kalimat terakhirnya.
Lika membuka matanya, dadanya bergemuruh naik turun.
"Emang kenapa kalo gue deketin Aksa? Apa masalahnya sama lo?" geram Lika dengan sorot mata yang menajam.
"Kakak gak perlu tahu masalahnya apa, yang pasti jauhin Aksa!" tekan Lea mendorong Lika ke dinding.
Lika menyeringai lalu menendang kuat perut Lea hingga tubuhnya terlempar cukup jauh, ia terbatuk dan mulutnya sedikit mengeluarkan darah.
"Lo pikir lo siapa, Lea? Sampe lo berhak ngatur gue, hah!" bentak Lika, ia berjalan mendekati Lea yang berada dekat tumpukan kaca.
"Ckkk, Kakak lupa kalo aku bisa ngelakuin apa pun yang aku mau? Kalo Kakak gak jauhin Aksa, liat aja apa yang akan terjadi!" seringai Lea menepuk pelan punggung Lika lalu pergi dari sana. Lika terdiam, bukan ini yang ia inginkan saat kembali, tapi sebuah ketenangan, ia ingin istirahat sejenak.
"Akhhh," teriak Lika frustrasi, ia menarik keras rambutnya, dan tanpa diduga segumpal rambut terlepas dari kulit kepalanya. Jantung Lika berdetak dua kali lebih cepat, karena ia tahu apa itu.
Tbc ....
Votmennya paling ditunggu, see you in the next chapter❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Lika dan Luka [Selesai]
General FictionTentang dia, yang menyukai hujan. "Hujan, lima kata yang membuatku merasa tenang menangis di bawah naungannya, karena tak ada seorang pun yang dapat mendengar tangisan pilu seorang yang membenci semesta." -Vanyanira Alika- Star : 20-02-2022 Finish :...