Malam-malam Lika nekat menaiki tangga menuju kamarnya, seperti yang dilakukan Jennie, ralat sekarang telah menjadi kamar Lea. Gadis dengan piyama putih polos itu dengan santai membuka jendela untuk Lika masuk.
"Kenapa Kakak ke sini?" tanya Lea lalu mempersilahkan Lika untuk duduk, tapi Lika sama sekali tak memperdulikannya.
"Ckk gue gak mau buang buang waktu buat basa-basi sama lo, to the point aja, jauhin Aksa!" tekan Lika, Lea masih terlihat santai, ia duduk di sopa serta menyilangkan kakinya.
"Kalo aku gak mau, gimana? Kak," ujar Lea tersenyum tipis.
"Lo," geram Lika mengepalkan kedua tangannya.
"Kenapa? Gak suka? Aku lebih duluan kenal Aksa dari pada Kakak, jadi gak ada alasan Kakak nyuruh aku buat jauhin dia," tegas Lika berdiri dari duduknya, ia menatap Lika dengan angkuh.
"Tapi Aksa itu cowok gue, bangsat!" erang Lika. Namun, Lea malah tertawa keras dibuatnya. Untung saja kamar ini sekarang kedap suara, jadi tak ada satu pun yang mendengar perdebatan mereka.
"Gue harap lo ngerti, Le. Lo udah ngerebut bokap gue, sekarang tolong jangan rebut Aksa juga." Suara Lika sedikit memelan sekarang, tapi yang mengherankan Lea malah tertawa semakin keras.
"Maksudnya, Aksa itu pacar Kakak? Ptttt, emang Aksa pernah nganggap Kakak?" tawa Lea dengan terbahak-bahak, ia bahkan sampai memegangi perutnya. Lika yang mendengar pun melotot sempurna, ia pikir ia tak bisa bertindak sabar lagi sekarang. Ia menarik keras rambut Lea hingga beberapa helainya terlepas, gadis itu mengerang kesakitan.
"Maksud lo apa? Anjing!" hardik Lika menghempaskan tubuhnya ke sopa.
"Maksudnya Kakak gak pernah dianggep sama Aksa, Kakak cuma dijadiin boneka sama dia."
Plakkk
Satu tamparan mendarat sempurna di pipi kiri Lea, darah segar mengalir dari sudut bibirnya.
"Apa? Mau marah? Aku bener, kok. Buktinya kalo Aksa beneran tulus sama Kakak, dia gak mungkin lebih prioritasin aku. Sekarang Kakak bisa liat, kalo selama ini Kakak cuma dijadiin boneka! Cuma boneka, Kak. Boneka, hahah." Lea kembali tertawa dengan keras, ia bahkan sampai terbatuk-batuk. Dengan kasar, Lika melayangkan dua tamparan sekaligus di wajahnya, tapi satu hal yang tak Lika duga, Lea berdiri dengan mengambil sebuah pisau di dalam laci meja, sepertinya memang sudah disiapkan.
"L-Lea, l-lo ngapain?" gagap Lika perlahan berjalan mundur. Lea menodongkan pisau itu pada Lika, ia berniat menikam dadanya. Namun, secepat kilat Lika menepis tangannya. Lika berkeringat dingin, ia terus berjalan mundur hingga punggungnya menabrak dinding. Lea bak orang kesetanan sekarang.
"Lea!" bentak Lika yang lagi-lagi ingin menikam dada Lika, untungnya kembali berhasil Lika tepis, tapi kali ini lengannya sedikit tergores hingga mengeluarkan darah.
"Lo udah gila, hah!" teriak Lika berhasil membuat Lea menjeda aksinya.
"Aku nggak gila, aku cuma pengen Kakak mati, biar Aksa jadi milik aku sepenuhnya," seringai Lea kembali ingin menancapkan pisau itu, Lika dengan tak sengaja pun membalikkan tangan Lea hingga pisau itu tertancap sempurna di perutnya.
Lea jatuh bersimbuh darah, dengan mata yang sedikit berair. Lika menatap tangannya sendiri, lalu menangis menyesali perbuatannya. Sekarang pikirannya campur aduk, apa yang harus ia lakukan? Sedangkan jam dinding telah menunjukkan pukul 21.00 wib.
Lika mencari kain untuk menghentikan pendarahan, ia juga menggoyang-goyangkan tubuh Lea memintanya membuka mata. Jujur dirinya sangat panik sekarang, piyama putih yang Lea kenakan kini telah berubah menjadi merah.
Dengan pikiran yang berkecamuk, Lika memberanikan diri menemui Elgar dan Rina, ia bertanggung jawab atas kejadian ini, tidak mungkin ia melarikan diri meninggalkan Lea sendirian dalam kondisi yang sekarat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lika dan Luka [Selesai]
General FictionTentang dia, yang menyukai hujan. "Hujan, lima kata yang membuatku merasa tenang menangis di bawah naungannya, karena tak ada seorang pun yang dapat mendengar tangisan pilu seorang yang membenci semesta." -Vanyanira Alika- Star : 20-02-2022 Finish :...