Sembilanbelas: Giving Up

406 67 0
                                    

Ayo tinggalkan jejak

_._._

Renji membeku di tempat dengan satu tangannya memegang knop pintu. Dari pandangannya dia bisa melihat kepala Harfa berada di leher Jeova yang bersandar di tembok. Keduanya segera memisahan diri menyadari kehadiran kakak mereka. Dengan pemandangan yang baru saja didapatkannya, Renji tidak bisa memikirkan apapun. Matanya memburam namun cukup untuk melihat beberapa tanda merah di leher Jeova dan bibir bawah kedua adiknya bengkak.

Kakinya kehilangan tenaga. Dirinya jatuh berlutut sementara Harfa dan Jeova buru-buru mendekatinya. Seluruh kejadian ini membuat Hazen bingung dan hanya berdiri diam di belakang Renji.

"Kak.... Aku bisa menjelaskan. Itu bukan..."

"DIAM!!"

Semua orang tersentak mendengar teriakan Renji. Mereka tidak pernah mendengarnya meninggikan suaranya, tidak setinggi itu, dan tidak pula dengan pandangan mengerikan seperti itu.

"Aku mengerti sekarang. Aku hanya butuh waktu lebih lama untuk terbiasa." Renji akhirnya sanggup berdiri sambil menyeka sudut matanya lalu menepuk pelan kepala adik-adiknya dan tersenyum kecil.

Renji berbalik hendak masuk ke kamarnya sendiri ketika dua tangan mencegahnya pergi. Kedua adiknya memeluk erat lengannya dan menenggelamkan kepala masing-masing ke kedua bahunya, terisak.

"Maaf, kak. Kami hanya..."

"Sudah kubilang aku mengerti. Aku hanya butuh istirahat sebentar." Renji membebaskan lengannya sebelum mengacak pelan rambut adik-adiknya.

"Sorry twins."

Dengan kata-kata itu mereka berdiri kaku menatap kakak mereka masuk ke kamarnya sendiri.

.

.

Hazen tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dia mengikuti Renji berbaring di tempat tidur dan memandang wajah lelahnya.

Renji memejamkan matanya dan menarik napas dalam. Hazen baru akan bicara ketika Renji membuka mata dan menatapnya sambil tersenyum. Bukan senyum hangat seperti yang biasa diperlihatkannya, tapi entah kenapa berbeda. Terasa aneh.

"Kenapa kamu tersenyum seperti itu?"

"Maaf. Sepertinya aku tahu jawaban dari setiap masalahku," kata Renji, menggambar pola acak di udara yang semakin membingungkan Hazen. Dia bilang dia tahu pemecahan masalahnya, namun Hazen merasakan ada yang aneh.

"Apa kamu bilang?"

"Aku tahu cara setiap orang mendapatkan kebahagiaannya. Mahen, Yohan, dan twins. Jangan lupa tentang kamu. Kamu akan bebas."

Mereka berbaring dengan saling bertatap muka.

"Permintaanku, apa masih berlaku walau aku sudah pergi?" Renji berkata lirih. Hazen entah kenapa merasakan matanya memanas dan apa yang terjadi setelahnya mengagetkannya. Setes air merembesi kristal putihnya hanya karena memikirkan tentang kehilangan Renji.

"Permintaanmu. Itulah yang ingin kubiracakan ketika kita keluar perpustakaan tadi." Hazen menurunkan pandangan, tidak berani memandang Renji.

"Apa yang mau kamu katakan?" Renji bertanya tenang, menyeka matanya yang berair.

"Tentang Mahen dan takdirmu. Kalian berdua seharusnya bersama, tapi Yohan mengambil tempatmu." Hazen memulai. Sampai di sini, helaan napas lolos dari bibir Renji.

"Dan karena besok hari ketujuh, kau hanya punya waktu satu hari untuk mengambil tempatmu kembali." Hazen merasakan dadanya sakit menyadari dia akan segera menghilang. Bukan hanya dirinya, tapi juga Yohan. Mereka, Pangeran Peri Api dan Pangeran Peri Cermin, telah merusak takdir. Mereka juga yang harus memperbaikinya.

Renji tertawa kecil membuat Hazen kembali menatapnya.

"Mengorbankan banyak orang hanya untuk satu orang? Itu bukan aku." Renji merubah posisinya menjadi duduk lalu bersandar di tembok.

Hazen mengikuti Renji, masih menatap lekat wajahnya yang kali ini tidak bisa dibaca.

"Hazen. Sekarang setelah aku memikirkannya, kupikir aku tidak menyukai Mahen dengan cara seperti itu. Mungkin aku gila, tapi aku mulai menyukai orang lain." Pernyataan Renji terdengar jelas dan membuat Hazen ternganga. Sang Pangeran Peri Cermin merasakan pisau tak kasat mata menghujamnya.

Renji menyukai seseorang.

'Kenapa aku merasa sakit? Apa yang aku harap?'

"Hazen? Hei, kamu melamun." Renji terkekeh dan mengacak rambut Hazen, wajahnya sedikit mendekat. Semburat merah menyebar di pipinya.

"Aku nggak melamun. Aku berpikir." Hazen menyangkal dan cemberut.

"Oke... oke... Kamu nggak melamun." Renji tertawa kecil lalu kembali bersandar. Kalau saja kamarnya sedikit lebih terang, dia pasti melihat Hazen bersemu.

Sunyi mengisi ruangan untuk beberapa saat sampai Renji meraih tangan Hazen. Hazen berusaha menariknya namun genggaman Renji erat dan tidak menyediakan celah untuknya lepas.

"Aku butuh seorang teman untuk bicara. Tolong jadilah seseorang itu untuk kali ini saja," pintanya sebelum helaan lolos dari antara bibirnya. Dia kembali menarik napas dalam-dalam, menahannya sebentar, lalu melepasnya.

Renji merasa lelah. Dia lelah akan segala hal sampai-sampai tidak tahu bagaimana harus bereaksi saat melihat sendiri kedua adiknya berciuman. Hanya mereka keluarga yang dimilikinya. Dia satu-satunya yang membesarkan mereka tanpa orang tua.

Dia tidak pernah mempertimbangkan soal mempunyai teman karena dia memiiki adik. Dia juga tidak punya pacar karena tidak mau mengabaikan adik-adiknya.

"Hazen. Sebagai teman, aku meminta untuk kebebasanmu," kata Renji tiba-tiba. Hazen melotot tidak percaya.

"No! Kamu nggak boleh! Kamu nggak punya tempat di dunia ini. Alasanmu hidup sekarang adalah karena waktu satu minggu yang kamu minta dari aku. Kamu cuma hidup sampai permintaanmu terkabul. Kalo kamu nggak mengambil kembali posisimu, kamu mati."

"Bukankah itu lebih baik? Mahen akan bahagia bersama Yohan. Harfa dan Jeova juga akan bahagia tanpa merasa bersalah," katanya dengan airmata menetes. Kali ini tidak disekanya.

Hazen merasa genggaman tangannya mengerat. Renji pastilah bingung.

"Kamu cuma lelah. Kamu bahkan nggak ngerti apa yang kamu katakan." Hazen ingin berdiri dan melepaskan tangannya ketika Renji menariknya untuk tetap di tempat.

"Kita baru saling kenal selama enam hari. Kenapa kamu begitu peduli padaku?" Hazen menatap Renji yang tersenyum.

"Sama seperti yang kamu pikirkan."

Renji mengangkat tangannya untuk menyeka pipi guardiannya. Hazen bahkan tidak tahu kalau sedang menangis. Merasakan jari lembut menyentuhnya, Hazen langsung berdiri dan menjauh.

"Maaf. Apa aku menakutimu?" Renji tersenyum minta maaf.

"Aku... kamu tahu, aku tidak berpikir kita mempunyai alasan yang sama." Hazen berjalan pelan menuju jendela.

"Bukan masalah. Aku hanya tidak bisa menjalani hidupku lagi. Aku selesai."

"Maksudmu kamu menyerah?" Hazen berbalik menghadap Renji dan berdiri di sampingnya.

Renji tersenyum pedih dan mengangguk sebagai jawaban.

_._._

Creating Our Own Destiny (hoonsuk)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang