Enam: Problems

444 70 0
                                    

Vote dan komen sangat diapresiasi

_._._

"Huft..." Jeova menarik napas dalam-dalam dan menaruh kepalanya di meja, menatap Harfa yang menghindar darinya sejak pagi. Meskipun mereka duduk pada bangku yang sama, berbagi meja, kembarannya itu mengganggapnya seperti udara. Harfa diam sepanjang pelajaran dan hanya mencatat penjelasan dari guru.

"Jeova!!" Suara baritone memanggil namanya.

Jeova menegakkan punggungnya dan mendapat pelototan dari gurunya. "Yes, sir."

"Perhatikan pelajaranku atau kamu boleh keluar kelas sekarang juga!"

"Maaf, sir, saya tidak akan mengulanginya," kata Jeova sambil menunduk. Dia melirik reaksi Harfa melalui ekor matanya, tapi dia tidak menemukan apapun. Harfa bahkan tidak melihatnya.

.

.

Waktu istirahat dimulai ketika bel sekolah berdering. Seorang murid dengan seseorang (atau sesuatu? Hazen bukan manusia, 'kan?) di belakangnya keluar kelas.

"Kamu mau kemana, Renji?" makhluk yang di belakang bertanya, tapi diabaikan. Dia menyilangkan lengannya dan cemberut, masih mengikuti tuannya. Setelah beberapa saat berjalan mereka sampai di ruangan tempat banyak buku tersusun rapi.

"Kamu ngapain kesini?" Hazen penasaran. Tapi lagi-lagi kacang, Renji menarik salah satu buku dan membawanya ke meja sudut alih-alih menjawabnya. Dia mulai membaca buku itu sampai seseorang mendekatinya.

"Kak Ji?"

Renji mengangkat kepalanya untuk melihat orang yang memanggilnya.

"Hey, Mahen. Ada masalah?" dia tersenyum. Mahen membawa sebuah buku dengan wajah stres.

"Ini. Aku nggak ngerti tentang materinya." Mahen menunjukkan salah satu bagian dalam bukunya dan duduk di samping Renji.

"Kenapa nggak tanya Harfa? Setauku Harfa cukup paham sama pelajaran ini." Renji melirik Mahen sebelum membaca buku yang dibawanya.

"Ih, tau nggak, sih, kak? Harfa marah sama Jeova. Harfa jadi keliatan seram, kaya dia tuh ngeluarin aura item. Woohoo, aku jadi takut mau deketin." Mahen menjelaskan. Renji jadi gemes pengen nguyel-uyel pipinya.

"Pasti gara-gara kejadian tadi pagi, kan?" Renji bergumam dan menghela napas panjang. Dia tahu itu akan jadi buruk nantinya.

Mahen mengangguk. "Dia masih diam dan menghindari Jeova." Mahen menambahkan.

Tiba-tiba Renji merasakan seseorang menarik-narik lengannya. Tapi dia berlagak seolah tidak terjadi sesuatu.

"Renji..." Hazen memanggil, cukup keras untuk didengar olehnya.

"Jadi, bagian mana yang nggak paham?" Renji menggeser buku itu kearah Mahen yang menunjuk satu paragraf tertentu. Dia berusaha keras mengabaikan mahkluk di sebelahnya.

"Yakk! Renji... berhenti mengabaikanku!" Hazen berteriak. Sayangnya, Renji tidak memperhatikannya barang sedikit. Dia mendengus. Sebagai Pangeran Peri, ini sama sekali tidak bagus. Ini seperti hukuman untuknya. Dia bisa merasakan perasaan seperti halnya manusia. Lebih parah lagi karena dia Pangeran Peri Cermin. Anggota Kerajaan Cermin memiliki perasaan paling mirip dengan manusia.

Hazen bisa menderita karena sakit, merasa bahagia, marah, dan satu lagi yang paling dia benci adalah apa yang manusia sebut sebagai cinta. Dia melihat Renji yang masih asyik dengan Mahen.

"Baik, aku pergi." Hazen berdiri, menatap Renji sebelum menghilang.

"Kamu udah paham?" Renji mencubit pipi Mahen dan terkekeh ketika dia mengelus pipinya dan cemberut.

"Sakit, kak, tapi terimakasih. Bye." Mahen meninggalkannya yang mulai mengedarkan pandangan.

"Dimana dia?" dia bergumam.

"Kamu nyariin aku?" Hazen tertawa ketika dia muncul.

"Lebih baik kalo kamu pergi lebih lama," katanya acuh, tidak memperhatikan luka di mata Hazen.

"Kenapa?" Hazen menatap ke dalam mata Renji.

"Apanya yang kenapa?"

"Nggak." Hazen menjawab, sendu, dan ikut diam. 'Dia tidak menginginkanmu di sisinya, Hazen," Hazen membatin.

Hazen mengeluarkan cermin kecilnya dan melihat retakan kecil muncul disana. 'Hanya tinggal menunggu dan aku akan pecah seperti cerminku ini dan menghilang bersama angin seperti debu', dia menatap Renji, 'haha, bagus. Renji akan menjadi tuan pertama dan terakhirku. Aku tidak perlu menjadi guardian lagi setelah ini'. Senyum pedih meleret di bibirnya.

.

.

Di dalam kelas Jeova kembali menaruh kepalanya di meja. Dia masih tidak percaya ini. Harfa keluar kelas, meninggalkannya tanpa kata. Biasanya Harfa akan memanggil dan menunggunya lalu mereka akan makan siang di kantin bersama sambil bercanda.

"Salahku. Harusnya aku nggak melakukannya. Dia benar-benar marah padaku. Kamu idiot, Jeova! Kamu harusnya nggak memiliki perasaan ini sama kakakmu sendiri! Kau menjijikkan, idiot!" Dia bergumam.

Jeova menempelkan jidatnya di meja dan mengacak rambutnya, tapi tidak cukup acak untuk menandingi kekacauan perasaannya. Dia tidak bisa mengontrol perasannya ketika melihat Harfa pagi ini. Dia tampak mengoda dengan bibir merahnya. "Apa yang harus kulakukan?"

_._._

Creating Our Own Destiny (hoonsuk)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang