Hai hai... aku balik lagi nih. Ada yang kangen sama Rena? Lirik mumlmed ya disitu ada Rena Azenata. Kalem ya, dan semoga tidak mengecewakan. Enjoy! Disini typo bertebaran jadi harus tingkat waspada ya!
----------
Shafa Az Zahra POV
Akan kah masalah membosankan ini bisa ku lewati semua? Kuatkah aku menjalaninya? Sanggupkah aku? Mampukah aku? Sudah cukup lelah aku menyelesaikan ini. Lelah sudah kurasa.
Lelah. Itulah yang kurasa sekarang. Banyak bully an datang bertubi-tubi semenjak Lee datang. Apa dia yang membuliku? Tapi entahlah kurasa tidak. Dia kan baru saja pindah, dan alasan apa dia membulliku? Dan kurasa bukan dia. Ya bukan dia.
"Hai Rena." Sapaku saat memasuki kelas.
"Hai... duh miss banget deh gue sama lo! Padahal tiap hari ketemu hahaha." Katanya sambil tertawa terbahak-bahak. Ya, sudah hampir 1 tahun aku menjalani masa kelas 11. Bully an datang selama Lee datang. Aku lelah menjalani semua ini. Dan ku pastikan hari ini aku juga akan mendapatkan itu. Entah di sekolah, di luar pasti ada yang menguntitku.
"Alay lo! Masih pagi toa lo muncul aja! Pengganggu ketenangan suasana hati lo!" Ucapku sambil meletakkan tas dan menempatkan bokongku di kursi sebelah Rena. Ya, aku deskmate nya.
"Dih gitu banget lo! Pedes kek cabe."
"Ngomong apa sih lo? Gak jelas buangett!" Kemudian kami saling diam. Ya itulah kami, ngomong gaknjelas, diem, ketawa lagi. Itu lah kami kalo bareng jadi otak nya ngegeser. Hahaha... .
Rena Azenata POV
Ya tuhan, apa salahnya Shafa sih? Tiap hari harus kena bully an. Dia gak nerd, cantik, gak pernah nyombongin ini itu, baik hati, pinter, rajin. Kasian lihat Shaf kayak gini. Gue gak tega lihat dia kayak gini. Badannya kurusan, mata nya sedikit berkantung. Mana Shafa yang cantik kayak dulu? Gue kangen ketawanya dia, gue kangen semua tingkahnya.
Pagi ini dia dateng ke sekolah. Ya, gue tahu dia lagi bermasalah walaupun dia nutupin itu sebaik mungkin gue tahu. Kalian tahu kan kita ini ibarat nya amplop sama perangko. Ya itu kita, nempel banget. Dia datang dengan yaa sedikit acak-acakan, mata berkantung, senyum pedih, badan kurusan. Walaupun dia kayak gitu tetep aja masih nyapa gue, senyum. Gue mau bilang deh ke dia kalo dia pingin nangis, gue boleh kok jadi sandarannya.
Tapi terkadang gue iri sama Shafa. Ya gue iri dia dikelilingi oleh orang-orang yang sayang sama dia. Yang selalu sedia kalo lagi ada masalah. Kak Rafa, Adam, Orang tua, semuanya sayang dia. Tapi biarlah hati gue aja yang sakit gak papa. Dia udah cukup sakit untuk saat ini. Ya, gue masih punya hati nurani.
Bel istirahat sudah bernyanyi.
"Shaf, lo harus makan yang banyak! Gue gak mau tahu pokoknya lo harus makan!" Dia hanya menggeleng lemah. Mata nya sayu, senyuman itu menyakitkan. Itu bukan senyuman Shafa yang dulu. "Gue gak mau tau! Gue beliin lo bakso, mie, dan lo harus makan semua itu!" Ucapku sambil menyeret tangannya menuju kantin.
"Duh Ren lo kesambet apa sih? Mie ayam aja lah gausah banyak-banyak." Kata Shafa yang ku hadiahi anggukan. Lumayan lah dia mau makan mie ayam ketimbang tidak sama sekali. Setelah makan aku pamit ke kamar mandi. Akhirnya dari kantin kami berpisah. Semoga kau baik-baik saja Shaf.
Rafa Nitinegoro POV
Sudah lama aku tidak bersama Shafa. Dia seperti menjauhiku, setiap bertemu dia selalu menunduk. Aku rindu dengannya. Kenapa dia menjauhiku? Apa karena dia?
Sekarang aku melihatnya, ya dia sedang menuruni anak tangga dengan wajah kuyu. Matanya berkantung, badannya menjadi lebih kurus, wajahnya muram. Tapi aku hanya bisa memandangnya dari jauh. Aku tahu jika aku mendekatinya dia pasti akan berjalan cepat bahkan berlari. Ku arahkan pandanganku ke atas.
Ku lihat ada orang berkacamata hitam, memakai jas kulit berwarna hitam dan sedang memegang pistol. Dia pria. Apa? Dia memegang pistol dan megarahkannya ke Shafa? Oh tidak, ini tidak boleh terjadi. Sering ku lihat dia keluar masuk rumah sakit akhir-akhir ini dan tidak boleh terjadi lagi untuk kali ini. Ku ikuti saja langkahnya tanpa harus diketahui pria itu. Sampai aku menghitung aba-aba dalam hatiku sendiri untuk menarik dan mengajaknya pergi.
1,2,3... aku berlari ku gandeng tangannya dan berhasil ku raih kemudian ku ajak berlari. Sempat tersengkal sendiri oleh sepatunya karena mungkin dia terpekik kaget. Bebarengan dengan itu suara tembakan pun terdengar. "JEDYAR..." bunyi itu menggema dan sontak saja membuat penghuni sekolah menjadi kaget dan berhamburan keluar.
Shafa sudah ku ajak sampai di perpustakaan. Ya, dia masih diam membeku.
"Apa itu tadi? Tembakan?" Suaranya lemas.
"Ya, itu tembakan." Kataku juga lemas. Akhirnya bisa kuselamatkan lagi dia dari mautnya.
"Bagaimana kau bisa menolong ku?"
"Aku tadi lihat seorang pria di lantai atas menggunakan pakaian serba hitam dan membawa pistol yang ditujukan ke arahmu. Sontak saja, aku langsung ber aba-aba dan menarikmu berlari. Maaf aku mengagetkanmu. Tapi ini untuk kebaikan mu kau tahu?" Kataku meyakinkan. Senyum terukir di bibirnya tapi itu bukan senyum nya yang dulu. Senyum ini mengisyaratkan kepedihan.
"Kau ingat?" Pertanyaanku itu membuatnya mengerutkan dahi bingung.
"Ingat apa?" Katanya sambil memiringkan sedikit wajahnya.
"Waktu aku sedang koma dan berada di surga kecil kau berlari mengejarku dan aku tidak menghiraukan dirimu."
"Ya aku ingat itu. Lalu kenapa?"
"Aku berkata padamu jangan mengejar aku lagi, jangan berada di sisiku lagi. Karena aku akan menyakitimu. Lalu apa sekarang aku sedang menyakitimu Ra?" Dia terdiam bisu. Wajahnya sedikit menunduk.
"Ku rasa ya kau memang menyakitiku." Aku ikut membisu dengan jawabannya.
"Apa ada yang meneror mu selama ini? Via apa? Dia menguntitmu? Menelpon dirimu?" Kataku panik langsung. Tapi dia malah mengukir senyum. Aneh benar, sedang serius dia tersenyum. "Kenapa tertawa?" Tanyaku bingung dan kesal.
"Ucapan mu itu lucu. Kenapa kau begitu panik huh? Kau layak untuk jadi seorang emak rupanya hahaha..." tawanya meledak. Mau tak mau itu juga membuat ukiran senyum di bibirku. Tapi dia langsung bersedih lagi.
"Ya, ada yang menelfonku lalu dia bilang aku harus berada jauh-jauh dari mu, tidak boleh berada di dekatmu, dan aku harus melupakanmu. Jika ti-tidak aku akan ma-mati." Katanya sambil terbata-bata dan menitikkan setetes air mata. "A-aku takut akan kehilangan kamu Raf. Aku takut untuk saat ini. Setiap pergi selalu saja ada yang membuntutiku. Aku takut hiks.. hiks.." Rasa marah menjalari badanku sekarang.
"Kamu tahu? Kau begitu bodoh! Kenapa gak langsung telfon aku aja? Aku tahu siapa yang ngelakuin semua ini ke kamu. Dan aku akan cari waktu yang tepat buat jebak dia. Jadi aku mohon untuk beberapa minggu ini jangan keluar rumah, berangkat pulang sama Adam, kalo mau ke kamar mandi harus sama Rena, kalo bel istirahata gue akan ke kelas lo dan harus ke kantin bareng gue sama Rena. Faham?" Ara hanya mengangguk. "Yaudah sekarang ke kelas bareng gue. Jam istirahat udah hampir habis nih." Dia hanya menunduk dan menurut saja.
Dari perpustakaan ke kelas XI IPA 2 cukup jauh sih. Harus melewati beberapa koridor. Koridor sekolah masih ramai dan banyak anak yang berkusak-kusuk membicarakan penembakan tadi. Setelah sampai di kelasnya aku pamit akan ke kelasku. Ku dapati Lee tersenyum kemudian menyeringai kepadaku.
Hari ini kau masih bisa tersenyum. Lalu besok? Tangisan atau senyuman yang kau dapatkan? Tak tega melihatmu seperti ini. Mana senyum mu yang dulu? Sifat manja mu? Aku rindu dengan mu yang dulu. Sekarang kau banyak bersedih. Apa aku selalu menyakiti mu?
---------
Aku tahu ini memang pendek banget tapi part sebelumnya sudah panjang bukan? Iya in aja lah biar aku seneng hahaha... . Mumpung idenya lagi berjalan ya sudah langsung saja jari-jari menari sebelum itu menguap hilang. Aku tahu ini membosankan aku sadar. Tapi aku berharap kalian suka wkwk... . Tuh Lee itu siapa sih? Ngapain juga dia menyeringai ke Rafa? Ada yang penasaran? Tunggu dan baca part selanjutnya.
Yuk jangan lupa setelah baca budi dayakan untuk vote dan comment.
Terimakasih buat kalian semua. Terimakasih untuk segalanya. Love you!!! #plak plak plak bruak.
Sabtu, 18 April 2015
18:18
-Khafidtazshafa-
KAMU SEDANG MEMBACA
RaRa
Подростковая литератураRasanya takdir selalu tidak berpihak kepadaku. Kebahagiaan satu datang, lalu pergi diambil lagi. Masa putih abu-abu mungkin masa yang menyenangkan untuk para remaja sekolah. Tapi tidak menurtku, bagaimana bisa aku bilang menyenangkan kalau pun selal...