Hai,
Kamu kembali.
Kita masih bertemu di hari raya lagi, ya?
Bedanya, saat itu Idul Fitri, sekarang Idul Adha.
Bedanya, saat itu saya punya kamu, kamu punya saya.
Bedanya, saat itu kamu sukses buat saya bahagia.
Bedanya, saat itu kamu datang saat keluarga besar saya kumpul hingga larut malam, saat ini kamu di rumahmu, kita hanya bertukar pesan melaui telepon genggam.
Saat ini, saya hanya bisa mengungkapkan rasa rindu saya, tapi tenang, saya masih bahagia, kok!
Sejujurnya, saya tidak rela untuk mengakhiri percakapan ini, tapi saya tahu, saya harus mengakhiri. Saya tidak ingin lagi hanyut akan ciptaan Tuhan untuk kali kedua.
Mungkin jika saat ini kamu ada di hadapan saya, saya akan langsung peluk kamu erat tanpa ampun sampai kamu susah bernapas. Lepas itu, saya meminta, "Jangan di lepas! Baru 5% " Kemudian saya cium setiap inci dari wajahmu.
Mas,
saya sayang kamu, sangat.
Yang saya bisa lakukan ya cuma nulis kata-kata klise gini, maklum saya cinta sastra. Gak ding, saya cinta kamu, haha.
Saya ingin kamu balik ke saya, ya tapi saya tahu kamu tidak akan pernah mungkin bisa menuruti permintaanku saat itu. Terima kasih ya, rindu saya ternyata terbalaskan. Saya salah, rindu itu hilang dengan bertemu bukan dengan terbalaskannya pesan. Ya intinya, kamu tahu saya rindu kamu dan saya tahu ternyata kamu juga rindu saya. Itu sudah cukup.
Salam ke ibumu,
tolong bilang, "Ibu, saya cinta anak pertamamu dan itu akan selalu."
-cnrs, 12.09.16 06:28 WIB
KAMU SEDANG MEMBACA
Notes of an Overthinker
PoetryBukan apa-apa, isinya hanya catatan seorang perempuan yang terlalu banyak berpikir.