5

623 97 15
                                    

Pada mulanya sendirian adalah sesuatu yang menyenangkan bagi Sakusa, tapi kali ini ia justru merasa suntuk dan gerah. Sudah dua minggu ini Tobio tidak masuk ke sekolah. Laki-laki cerewet yang suka ceplas-ceplos dan mengganggu harinya kini tidak ada lagi , hanya meja kursi kosong dan hembusan angin yang menemani kesunyian Sakusa.

Selama dua minggu lelaki ikal itu digentayangi perasaan bersalah dan tidak enakan. Belum lagi kantuk karena kebosanan.

"Dia masih belum berangkat?" tanya Komori sambil mendudukan bokong ke kursi Tobio.

Sakusa hanya menghela napas kasar kemudian meletakkan kepala pada sikutnya yang bersedekap di atas meja. Rasa-rasanya sangat malas untuk mengikuti jam-jam pelajaran yang berikutnya. "Hmm begitulah.."

"Kau tidak coba menelponnya?"

"Tidak punya nomornya."

"Aku ada." balas Komori yang mana membuat duduk Sakusa kembali tegak. Pemuda ikal itu menatapnya sambil mengerjap beberapa. "Bagaimana bisa?"

"Ya tinggal minta saja. Salahmu sendiri tidak pernah minta nomornya, padahal kalian duduk sebangku."

"Hm.." Sakusa mengalihkan pandangan dari Komori dan kembali merebahkan kepala ke atas meja. Si rambut coklat mendecakkan bibir. "Tidak jadi telpon?"

"Pasti tidak pernah diangkat kan? Kalau pernah, kau pasti sudah tahu kabarnya." jawab otak cerdas Sakusa yang sialnya benar. Komori menghela napas kemudian bangkit berdiri. "Pokoknya kalau dia sudah berangkat, kau harus minta maaf loh.."

"Iya.."

"Haha iya Suga-san, nanti pulang sekolah aku ikut."

Kepala Sakusa kembali tegak, ia dan Komori mengenali suara nyaring yang khas itu, mereka berdua terdiam menatap ke arah pintu.

"Nanti istirahat aku ke kelasmu ya."

"Sou sou.." Tobio tersenyum kemudian melambaikan tangan pada Sugawara. Pemuda bersurai abu itu balas tersenyum sembari mengusak rambut yang sedikit lebih pendek.

"Da Bio!"

"Da!"

Teman-teman Sugawara yang lain juga melambaikan tangan pamit untuk lanjut jalan ke kelas mereka. Usai dengan urusan tersebut, Tobio berbalik dan melangkah menuju tempat duduknya. Senyummya perlahan-lahan luntur dan ekspresinya menjadi datar saat duduk di samping Sakusa.

"Tobio, kau kemana saja dua minggu ini-"

"Itu.. Ayahku sakit, jadi aku merawatnya di rumah, Komori.." Tobio mendongak dan tersenyum sampai menyisakan garis mata menyerupai anak anjing yang imut.

Komori menelan ludah kemudian tersenyum salah tingkah. "O-oh begitu.. Cepat sembuh untuk ayahmu."

"Mm." Tobio mengangguk.

Di sampingnya, Sakusa menatap si blueberry datar. Dengan pesona manis semacam itu, Tobio bisa membuat semua orang selalu tersenyum dan nyaman di dekatnya. Mungkin itu juga alasan yang membuat Sakusa bisa sampai merasa tak enak hati. Apa artinya dia juga sudah ikut-ikutan terpikat namun terhalang gengsi?

"Omi! Jangan lupa!" Motoya yang sudah di ambang pintu kelas berteriak pada sepupunya. Sakusa yang semula menatap Tobio tanpa berkedip pun beralih memandang kearah Motoya. Tak mengangguk atau mengiyakan, lelaki itu hanya diam.

Bel berbunyi. Jam terus berputar sampai sudah mendekati jam istirahat ke dua. Setiap kali Sakusa ingin memulai percakapan, bibir dan tenggorokan nya menjadi kaku sampai-sampai tangannya berkeringat.

Entah mengapa ia bisa jadi begitu grogi padahal Tobio sedari tadi hanya duduk diam. Ah iya, seharian Tobio hanya diam bahkan tidak melirik ke arahnya sama sekali, hal itu membuat Sakusa semakin gundah dan mengganjal.

Poetry Love (SakuKage) EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang