Walau kau bisa melakukan segala hal sendiri, kau harus tau batasan untuk memaksakan diri sendiri.
ㆀㆀㆀ
"Kara, kamu nggak kuliah?"
Kara yang sedang duduk di atas sofa dengan tablet brand ternama, melihat ke arah Mira," enggak."
"Kenapa? Bukannya setiap hari Sabtu kamu ada satu matkul?" tanya Mira lagi sambil memakai wedges berwarna beige yang beberapa hari lalu diberikan oleh adiknya, Kara, saat mereka bertukar hadiah. Itulah tradisi mereka yang dilakukan sekali sebulan.
"Iya, ada satu. Tapi dosennya lagi seminar ke luar negeri," jawab Kara lalu menaikkan bahu.
"Oh gitu," Mira Mengangguk-angguk. "Oh iya, Kara. Pas nggak wedges-nya sama baju kakak?"
Kara memperhatikan penampilan kakak perempuan semata wayangnya itu dengan saksama, rambut hitam yang dikuncir kuda, kemeja polos dengan warna beige, rok plisket hitam semata kaki, dan jangan lupakan kacamata minus plus radiasi yang selalu bertengger di mata kakaknya itu.
"Bagus, keliatan stylish banget kalau mau dipakai kerja," komentar Kara sambil mengangguk-angguk.
Dahi Mira mengerinyit sambil melihat pantulan dirinya di kaca ruang tamu, "iya ya? Ganti aja kali ya?"
"Jangan! Bagus gitu mau diganti."
"Tadi katanya kelewatan stylish juga," Mira mendengkus.
Kara menghembuskan napasnya dengan kasar, kakaknya itu, entah mengapa ia terlalu berbeda dari wanita lain. Selalu tampil sederhana, baik hati ... tidak-tidak, lebih tepatnya terlalu baik hati kepada semua orang.
"Udah bagus itu, sana buruan pergi. Udah jam tujuh lewat nih," ujar Kara sambil melanjutkan orderan desain logo di tabletnya.
"Ya udah, kakak pergi dulu. Nanti kalau kamu mau pergi jangan lupa kunci rumah, jangan telat pulang lagi. Kalau mau lama, kabarin kakak dulu biar nggak bikin orang khawatir. See you adik terganteng kakak," ceramah Mira lalu mengecup puncak kepala adiknya yang langsung diprotes Kara.
"Ih, kak!"ㆀㆀㆀ
"Wah, tumben lo dandan kayak gitu, Mir."
"Cantik banget, Mir. Mau ngedate ya? Cihuy."
"Udah bosen kan jomblo dari orok, Mir."
Mira yang baru masuk ke dalam ruangan kerjanya langsung disambut komentar para teman timnya yang sedang berkumpul ria.
"Apasih kalian, biasa aja ini mah," ujar Mira merendah sambil tertawa kecil.
"Udah lah kalian tuh, lihat pipinya si Mira, udah kayak cabe kematengan." Danang menengahinya lalu tertawa cukup kencang.
Setelahnya mereka mulai kembali ke meja masing-masing. Mira pun juga duduk di depan laptop sambil melihat list pekerjaan yang harus ia lakukan hari ini.
Tiba-tiba Vera, teman se-tim Mira yang duduk di sebelas Mira memanggil. "Mir. Tadi Pak bos ke sini, lho. Terus bilang kalo tim kita dikasih bonus, plus suntikan dana sama kantor pusat untuk proyek kita yang sekarang! Biasa lah, proyek kita kemarin kan one hundred success. Bahkan anak-anak kantor cabang lain pada tau lho!"
Danang menyahut, "bener bener bener. Denger-denger dari senior kita ya, kalau proyek mereka itu berhasil total, masing-masing bisa dapet bonus sampe 8 gepok. Gile!"
"Nggak sabar deh makan-makan nanti sore!" ujar Vera dengan mata berbinar.
Mira menatap ke arah Vera, "makan-makan?"
"Tadi Pak bos juga bilang, kalau dia mau ngasih bonus ke kita, bonusnya ya acara makan-makan, pas pulang kerja kita di ajak ke restoran keponakannya yang baru launching!"
Mira pun hanya mengangguk-angguk.ㆀㆀㆀ
Mira dan teman-teman timnya baru saja selesai dari acara makan-makan besar mereka. Pak bos tidak jadi ikut karena ada urusan mendadak, tetapi ia mengatakan kalau sudah ada tempat yang disiapkan dan tidak perlu membayar sepeser pun.
Aji, teman se-tim Mira menawarkan tumpangan kepadanya. "Mir, mau aku antar pulang nggak?"
"Nggak usah, Ji. Aku udah pesan taksi nih," bohong Mira. Ia memang sudah terbiasa mandiri sejal kecil, terlebih setelah ibunya meninggal dunia. Mira lebih memilih tidak meminta bantuan orang lain jika memang tidak terlalu dibutuhkan. Ia lebih suka melakukan berbagai pekerjaan sendiri, bahkan di timnya sekalipun, Mira jarang sekali meminta bantuan dari teman-temannya.
"Cancel aja, aku juga mau pergi ke rumah saudara aku. Rumahnya satu komplek sama kamu, beda blok aja." Aji tetap kekeh untuk mengajak Mira. Teman-teman timnya menatap iba akan usaha PDKT Aji yang selalu gagal. Mira terlalu tidak peka akan Aji yang memiliki rasa pada Mira sejak lama.
"Ah, kasihan driver-nya, Ji. Lain kali aja ya?"
"Lain kalinya kapan? Delapan tahun lagi! Aku udah baik nawarin tumpangan, tapi kamu nolak terus. Sok jual mahal tahu nggak!" Aji sudah habis kesabarannya, hampir setiap hari Ia menawarkan bantuan kepada Mira, seperti memberi tumpangan. Tetapi tidak satupun bantuannya yang diterima Mira.
Mira menatap Aji yang menampilkan raut marah dan kecewa, "bukan gitu, Ji. Aku, kamu tahu kan aku udah terbiasa apa-apa sendiri."
"Iya aku tahu, tapi kamu nggak harus ngelakuin segalanya sendiri, Mira! Kalau kamu bilang itu perwujudan sikap mandiri, kamu salah! Mira, makin lama kamu makin individualis, apa-apa kamu kerjain sendiri, nggak mau sedikit pun minta bantuan dari kita. Aku capek, Mira!" bentak Aji.
Mira pun menyadari sikapnya, ia melihat setiap pandangan dari teman-temannya. Tapi ada satu yang Mira tak mengerti, kenapa Aji begitu marah dan membentaknya?ㆀㆀㆀ
Mira memasuki pekarangan rumahnya setelah membayar ongkos taksi. Mira berhenti sejenak sambil memperhatikan berbagai tumbuhan yang menghijau.
"Aku udah lama nggak berkebun, ya? Mumpung besok weekend, ajak Kara ngerapiin taman aja deh."
Tiba-tiba daun pintu terbuka memperlihatkan adiknya yang masih memegang tabletnya, "tumben lama, Kak."
"Tadi makan-makan dulu, ditraktir Pak bos karena proyek tim kakak yang kemarin berhasil."
"Enak tuh!" celetuk Kara.
"Iya dong! Oh iya, kamu udah makan?"
"Udah, tadi siang ke kafe. Sambil ketemuan sama klien baru."
Mira dan Kara pun duduk di kursi teras.
"Oh iya kak, tadi itu aku diajakin buat jadi desainer grafis, konveksi kaus dan hoodie gitu. Nanti aku bikin gambarnya untuk disablon di produk-produk mereka. Mereka bilang, mereka suka sama desain-desain aku. Tapi aku masih bingung terima atau enggak, karena ini first time nya aku diajakin jadi desainer permanen di konveksi," cerita Kara panjang lebar.
"Kamu mau nya gimana?"
"Nggak tahu," Kara menaikkan kedua bahunya. "Aku masih bingung. Kalau menurut kak Mira, bagusnya aku terima atau enggak?"
Mira tersenyum tulus sambil menatap adiknya, "terserah kamu. Tapi saran kakak, kalau itu bakal ganggu jam kuliah kamu, lebih baik kamu tolak. Gimana pun kamu itu masih mahasiswa. Tapi, kalau nggak ganggu dan kamu bisa manage jam-jam kamu, ambil aja. Keliatannya untungnya gede, bisa buat tambah-tambah tabungan kamu S2 atau modal usaha kamu nanti."
"Berarti aku ambil nih?" tanya Kara.
Mira mengulum bibirnya lalu menjawab, "terserah kamu, Kara. Keputusan ada di tangan kamu."
"Oke deh, aku terima aja. Nanti aku kabarin ke orangnya. Biar besok aku bisa langsung tanda tangan kontraknya."
Mira mengangguk-angguk, "oh iya, Kara. Besok kan hari Minggu, kakak mau berkebun, ngerapiin taman. Temenin kakak beli pupuk sama tanaman-tanaman baru ya? Rencana kakak sih, mau tanam bahan-bahan masakan. Kayak bawang merah, seledri, cabai rawit, sama sawi. Menurut kamu gimana?"
Kara melihat ke sekitar halamannya yang memang masih memiliki banyak ruang kosong. Mira dan Kara tidak terlalu sering berkebun, kira-kira hanya sebulan sekali karena rutinitas mereka yang sering kali padat.
"Boleh. Aku ada kenalan yang punya depot tanaman dan bibit, nggak terlalu jauh juga dari sini. Mau beli di situ aja?"
"Boleh," Mira menangguk-angguk.
"Mau pergi sekarang?" tanya Kara yang langsung disetujui Mira.ㆀㆀㆀ
•) Update setiap hari jumat🐋
•) Vote dan kritik saran kalian sangat dinanti💕
KAMU SEDANG MEMBACA
The Orphans
Mystery / ThrillerAlmaheera Warsana, biasa dipanggil Mira, seorang wanita lajang yang bekerja di suatu perusahaan. Dia mempunyai kelainan yaitu terlalu tidak peka dan terlalu baik hati kepada orang. Alkara Warsana, biasa dipanggil Kara, adik laki-laki semata wayang...