Zes

0 1 0
                                    

Terkadang 'terlalu' bisa menyesatkan, bagi mereka yang memiliki rasa dengan 'terlalu' sebagai awalan.

ㆀㆀㆀ

Hari ini Mira pulang dengan ojek online, karena Kara mengatakan kalau ia akan pergi suatu tempat di dekat kantor Mira sehingga ia memutuskan untuk pergi diantar Kara. Pada hari-hari biasa, Mira menggunakan motor atau mobil untuk bepergian.
"Dengan Mbak Almaheera Warsana?" tanya lelaki yang merupakan ojek online pesanan Mira.
"Iya," ujar Mira lalu memasangkan helm ke kepalanya.
Ojek online yang dipesan Mira adalah pemuda yang mungkin umurnya sepantar dengan Kara. Selama diperjalanan Ia selalu saja mengoceh sampai Mira kewalahan menjawabnya.
"Enaknya kita kenalan dulu kali ya. Mbak bisa panggil saya Bayu, kalau mbak mai pangg sayang juga boleh, boleh banget malah hehe," ujar si tukang ojol memperkenalkan dirinya yang ternyata bernama Bayu. Mira tadi tak terlalu memperhatikan nama ojol yang is pesan tadi.
"Kalau mbak dipanggil apa nih?" tanya Bayu.
Mira pun menjawab singkat, "Mira aja.
"Oke deh. Nomor mbak Mira sama kan kayak nomor tadi? Kalau iya nanti saya bisa chat mbak," ujar Bayu genit yang hanya tak direspon Mira.
Setelahnya ojol yang bernama Bayu tersebut masih total mengoceh walau Mira berkali-berkali menghiraukannya. Mira yang memang jenis manusia yang tidak enakan, terpaksa untuk tetap melayani si tukang ojek. Ocehan Bayu masih terus berlanjut di sepanjang jalan sampai akhirnya pemuda tersebut menanyakan hal yang benar-benar tak ingin didengar Mira.
"Mbak Mira masih single?"
Mira pun tergugu, "i-iya."
"Kenapa? Masa cewek secantik Mbak masih single sih?" goda Bayu.
Mira mengedip, "saya belum mikir ke situ."
"Kenapa belum?"
Sudah, itu adalah pertanyaan yang benar-benar tak bisa Mira jawab. Ia pun hanya diam dengan perasaan yang tak enak.
"Kalau, mbak pacaran dengan saya, gimana?" tanya si pemuda tersebut sambil sekilas mengelus paha Mira.
Mira pun langsung membeku. Ia, tak pernah sekalipun mendapat bentuk pelecehan. Semuanya seakan terjadi begitu cepat di luar kendali Mira. Ia, benar-benar tak tahu harus apa. Takut, sedih, marah, semua teraduk menjadi satu emosi yang ada benak Mira sekarang.
Setelahnya pemuda tersebut terus mengoceh seakan tak terjadi apa-apa sebelumnya. Sedangkan Mira, Ia hanya diam membeku sambil memeluk tasnya.
Mira masih tenggelam dalam campuran emosinya, sampai tak sadar kalau Ia sudah sampai di rumah.
"Mbak Mira, kita sudah sampai."
Mira pun turun dan memberikan uang dengan tangan yang bergetar. Tetapi Bayu malah menolaknya.
"Nggak usah deh, anggep aja tadi iTunes saya memang nganter mbak Mira ke rumah. Simulasi jadi pacar yang back kan mbak," ucap Bayu dengan alis yang dinaik-naikkan. Ia pun pergi meninggalkan Mira yang menahan tangis dan tubuh yang gemetar hebat.
Mira pun berjalan masuk ke dalam pekarangan rumahnya, tanpa menoleh sedikit pun ke belakang. Ia seakan robot dengan muka pucat yang hidup.
Mira terus berjalan, bahkan ia tak menyadari akan Kara yang terus memperhatikan dirinya yang pucat dan gelagat anehnya sejak turun dari ojek.
"Kak Mira, kakak kenapa?"
"Kak?"
"Kak Mira!"
Setelah ke tiga kali mengulang, akhirnya Mira tersentak. Ia hanya diam menatap Kara dengan tatapan yang kosong. Kara semakin khawatir dengan kakaknya, Mira tak pernah sekalipun bersikap seperti ini.
Kara pun berdiri dan membawa Mira duduk di atas kursi ruang tamu.
Mira masih saja menatap kosong ke depan, kekhawatiran Kara semakin memuncak. Ia langsung berlari ke daur mengambil air minum lalu menyodorkannya ke Mira.
Mira menerima minuman tersebut, tetapi hanya Ia pegang tanpa diminum.
Kara pun duduk di samping Mira lalu bertanya sambil mengguncang-guncangkan tubuh Mira.
"Kak Mira, kakak kenapa? Kak?"
Akhirnya kesadaran Mira kembali, Ia menatap Kara dengan ketakutan yang sangat jelas tercetak di raut wajahnya.
"Kakak, orang tadi, kakak ...." Mira berhenti sejenak. "Dilecehin?"
Kara langsung membeku. Pupil matanya berkilat marah, urat-urat leher dan juga urat-urat kepalan tangannya menonjol.
Ia, benar-benar sangat marah. Kara merasa gagal menjaga keluarga satu-satunya yang Ia punya.
Kara tak akan membiarkan siapapun yang menganggu atau menyakiti Mira hidup dengan tenang. Tetapi yang bisa Ia lalukan sekarang hanya membiarkan Mira beristirahat. Mira pasti masih sangat terkejut dengan pelecehan yang ia rasakan.
Kara perlahan membuka sepatu yang Mira gunakan, lalu mengantarkan Mira menuju tempat tidurnya agar bisa beristirahat. Kara menyelimuti Mira lalu mengelus-elus pucuk kepala Mira sampai Mira terlelap. Ia memang benar-benar sesayang itu kepada Mira.
Setelah memastikan Mira sudah terlelap Kara masuk ke dalam kamarnya. Selang beberapa menit, akhirnya Kara keluar dengan hoodie hitam pemberian Mira yang menutupi badan sampai kepalanya.

ㆀㆀㆀ

Keesokan paginya Kara terbangun sedikit kesiangan dengan rasa kerongkongan yang sekering padang tandus. Ia menduga Mira pasti sudah pergi bekerja sekarang. Kondisi Kara yang masih belum sadar total membuatnya lupa akan kejadian kemarin.
Kara pun bergegas pergi ke dapur dengan niat mengambil air minum walau seluruh nyawanya belum terkumpul. Tetapi rasa hausnya seakan lenyap seketika terganti dengan rasa kebingungan, saat melihat Mira yang sedang memasak ria di dapur yang disesaki harum masakan.
Akhirnya setelah Kara benar-benar sadar, Ia teringat akan kejadian kemarin. Tetapi, yang anehnya, mengapa Mira tampak sangat biasa saja? Seolah-olah kejadian kemarin tak pernah terjadi.
"Kak Mira ...."
Ucapan Kara terhenti saat Mira menatapnya dengan senyum cerah.
"Tadi kakak dikabari sama bos kakak kalau hari ini kantor kakak diliburin," ujar Mira yang seolah tahu makna dari raut wajah kebingungan sang adik.
"Ah."
Kara, tak mengerti. Tiba-tiba Ia teringat akan film yang pernah ia tonton. Film tersebut mengisahkan seorang lelaki yang sama sekali tidak ingat akan kejadian tragis yang menimpanya. Ayah, ibu, kakak, dan kakeknya tewas akibat kecelakaan. Sedangkan dirinya harus pergi ke panti asuhan dengan kondisi yang benar-benar tidak ingat apapun tentang kecelakaan tragis itu. Hal itu bisa terjadi karena trauma dan syok berat yang bisa membuat seseorang tidak mengingat kejadian yang menimpanya. Setelah memahami apa yang dialami sang kakak, pikiran Kara terbelah menjadi dua sisi.
Di satu sisi, Kara sangat sedih dan marah karena kakaknya yang mengalami pelecehan yang membuat kakaknya trauma dan syok berat. Tetapi di sisi lainnya Ia cukup lega karena sang kakak melupakan kejadian kemarin. Kara pun tahu akan hari di mana Mira akan kembali teringat dengan pelecehan yang Ia alami. Tentu hal itu akan membuat Mira kembali terpuruk.
"Kakak masak apa?"
Kara memutuskan untuk tidak pernah membahas itu lagi, ia juga berharap semoga Mira akan melupakan kejadian kemarin selamanya.
"Apa ya ... menurut kamu apa? Coba tebak deh dari wanginya."
Kara  menghirup lalu mengingat-ingat harum masakan Mira yang sejak tadi menguar dari dapur.
"Em, dari wangi-wanginya sih ayam goreng bumbu," tebak Kara.
Mira pun memuji tebakan Kara yang sangat tepat, "one billion thumbs up."
Kara langsung tersenyum bangga dan berlagak sombong atas pencapaiannya.
"Oh iya, Kara, tumben kamu kesiangan. Kamu kemarin malam begadang ya?" selidik Mira saat Kara minum.
Kara langsung tersedak dan terbatuk-batuk mendengar pertanyaan sang Kakak.
Mira dengan sigap menepuk-nepuk punggung Kara dengan wajah yang mandi peluh dan celemek yang sedikit kotor.
"Aduh kamu ini, minum tuh pelan-pelan."
Setelah batuknya reda, Kara hanya diam memperhatikan Mira yang sudah selesai memasak dan memasukkan hidangan ke piring. Syukurlah, batin kara.
Ternyata batuk yang memang tak dibuat-buat oleh Kara berhasil membuat Mira melupakan akan pertanyaannya tadi.
"Ayo makan."

ㆀㆀㆀ

Selesai makan, Mira mengajak Kara untuk pergi mengantarkannya ke sebuah toko buku yang tak begitu jauh dari rumah mereka. Toko buku itu baru dibuka sejak beberapa hari yang lalu. Setiap melewati jalan untuk pulang atau pergi, Mira selalu teringat akan kebiasaannya yang membaca buku-buku di toko tempat dirinya bekerja paruh waktu semasa remaja.
Setelah masuk ke toko buku tersebut, ternyata suasananya sangat berbeda. Mungkin jika tak ada palang yang menuliskan toko buku, mereka yang masuk ke sini akan mengira tempat ini adalah cafe.
"Konsepnya unik banget," puji Mira yang disetejui oleh Kara.
"Nama tempatnya juga aneh tapi unik, World Books," sahut Kara.
Mereka pun mulai berkekiling, sebenarnya tempat ini adalah tiga ruko yang digabung jadi satu. Di ruang tepat pintu masuk ada banyak meja lengkap dengan kursi layaknya kafe. Bahkan ada tempat khusus memesan minuman atau cemilan ringan. Di sampingnya ada rak-rak buku yang tersusun rapi dan unik, memang tak terlihat seperti toko buku melainkan layaknya perpustakaan. Tetapi jika dilihat-lihat lebih ke dalam buku yang dipajang lumayan banyak juga lengkap. Hampir segala jenis buku ada di sini, mulai dari fiksi ataupun nonfiksi. Ada juga ruang khusus tempat alat-alat tulis.
"Kak Mira emangnya mau nyari buku apa?"
Mira melenguh, "nggak tau juga. Kalau ada yang kakak suka nanti kakak beli."
Kara mengangguk-angguk, "aku mau pesen kopi aja di tempat tadi ya, kakak cari-cari aja dulu buku yang mau kakak beli. Nanti aku traktir, deh."
Mira menoleh lalu tersenyum, "banyak duit kamu?"
"Iya dong, konveksi tempat aku kerja laku keras karena desain aku. Jadinya aku dapat bonus gede. Nggak sia-sia aku ambil tawaran mereka."
"Ya udah, nanti segala buku yang kakak pegang harus kamu beliin ya," ujar Mira lalu melenggang pergi sambil tergelak.
Kara hanya tersenyum melihat tingkah sang kakak yang bisa berubah-ubah, terkadang bisa menjadi bijaksanawan, tetapi juga bisa menjadi kekanak-kanakan.

ㆀㆀㆀ

•) Update setiap hari jumat🐋
•) Vote dan kritik saran kalian sangat dinanti💕

The OrphansTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang