Twee

6 3 0
                                    

Harmoni tak akan selalu menjadi harmonis.

ㆀㆀㆀ

"Woi, Bro!" sapa Kara kepada seorang pemuda, teman SMAnya, yang sedang melihat-lihat tumpukan berbagai pot bunga.
"Wah, tumben-tumbenan lu ke sini." Teman Kara memperhatikan Mira yang sedang berdiri di samping Kara. "Siapa tuh, gebetan?" godanya.
"Enak aja, kakak gua."
Teman Kara pun menampilkan ekspresi terkejut, "Waduh, sorry sorry. Lu sih kelamaan jomblo!"
"Btw lo ke sini ngapain?"
"Temenin kakak gua, dia mau beli bibit-bit sayur sama tanaman buat di halaman rumah," jawab Kara sambil melihat ke arah Mira yang sedang memperhatikan berbagai jenis tanaman.
"Oh gitu, enak nya dipanggil siapa nih? Kakak atau sayang?" Teman Kara pun tertawa kecil.
Mira tersenyum, "Panggil Mira aja."
"Oke, Mira. Panggil gua Leo."
"Oke," sahut Mira sambil mengacungkan ibu jari.
"Mira mau cari bibit-bibit apa aja? Kebetulan banget kemarin baru diantar," tanya Leo.
Mira mengingat-ingat, "Bawang merah, sawi, seledri, tomat, sama cabai rawit."
"Oh itu, ayo ke sini," ajak Leo ke deretan rak besar yang terletak tak jauh dari mereka.
Selagi menunggu Mira dan Leo, Kara duduk di kursi yang disediakan. Ia memperhatikan Mira dengan saksama. Kulit putih sehat, bibir kecil merah muda, juga leher jenjang yang setengah tertutup oleh kerah lebar kemejanya.
Kara selalu tak mengerti, Ia begitu sayang terhadap kakaknya. Ia memilih untuk tetap tidak mencari pasangan untuk menemani sang kakak sampai ia bertemu dengan orang yang benar-benar pantas untuk sang kakak, Almaheera Warsana.
Dulu, keluarga Warsana adalah keluarga yang harmonis, walau tidak termasuk golongan berada, mereka tetap hidup bahagia dalam kesederhanaan. Awalnya semua baik baik saja, akan tetapi semua berubah saat ayah mereka, Surya Warsana, dipecat dari tempat ia bekerja. Ia dituduh menggelapkan uang ratusan juta oleh rekan kerjanya sendiri. Sejak saat itu, kebahagiaan seakan enggan masuk ke dalam rumah keluarga Warsana.
Surya Warsana mulai mabuk-mabukan karena Ia selalu ditolak saat melamar pekerjaan. Ditambah lagi dengan keadaan Dara Warsana, ibu Mira, yang ternyata mengidap kanker payudara.
Mereka tak punya uang untuk melakukan operasi pengangkatan kanker tersebut, sehingga Dara hanya meminum pil-pil obat saja.
Keadaannya makin melemah, tetapi Dara Warsana sadar akan suaminya yang pengangguran sedangkan anak-anaknya masih dalam usia sekolah. Ia pun memutuskan untuk membuka warung sarapan kecil-kecilan di depan rumah mereka. Mira juga sering membawa gorengan untuk dititipkan ke kantin sekolahnya agar bisa menambah pendapatan mereka.
Sampai di suatu malam, Surya datang dengan keadaan mabuk berat. Ia masuk dan mengobrak-abrik rumah sambil berteriak-teriak. Mira dan Kara disuruh Dara untuk masuk ke dalam suatu kamar, sedangkan dirinya berusaha untuk menghentikan suaminya.
Beberapa saat kemudian terdengar teriakan yang melengking, lalu hening menyelimuti.
Dara Warsana, tewas di tempat akibat ditusuk pecahan kaca oleh suaminya sendiri. Surya yang terkejut, langsung melarikan diri meninggalkan Mira dan Kara yang meraung-raung di samping jasad ibu mereka yang bersimbah darah.

ㆀㆀㆀ

"Kara, kakak udah selesai nih," ujar Mira sambil melihat kembali kantung bibit-bibit tanaman yang ia beli.
"Kara, hei!" Mira melihat ke arah Kara yang sedang duduk termenung.
"Alkara Warsana!" Mira kembali memanggil dengan suara yang sedikit dikeraskan.
Kara pun tersentak dari lamunannya, "ah, iya kak? Udah?"
"Hei, mikir apa kamu? Kayak kakek-kakek aja ngelamun," Mira terkekeh.
"Mikir kalau kakak jadi gendut," sahut Kara asal.
Alis Mira menyatu, "enak aja!"
Kara pun tertawa saat bahunya dipukul-pukuli oleh sang kakak. Tetapi kaki Mira tersandung sesuatu sehingga hampir terjatuh ke belakang.
"Eits!"
Untung saja ada dua tangan kekar yang menahan tubuhnya, Mira pun membuka mata dan melihat kedua iris coklat gelap yang seperti menyiratkan banyak cerita, Aji.
"Eh, Aji?"
Aji pun terbuyar dari lamunannya saat menikmati setiap pahatan indah di wajah putih mira yang sedang tak memakai kacamatanya.
"Iya, hehe. Bisa ketemu di sini," ujar Aji gugup.
"Aku, aku lagi cari bibit-bibit sayur buat taman di rumah. Kalau kamu?" tanya Mira.
"Beli pot, disuruh sama Ibu."
Mira pun hanya mengangguk-angguk.
"Kakak nggak kenapa-kenapa? Ada yang luka kak?" tanya Kara yang diawali dehaman untuk menyadarkan sang kakak akan keberadaannya.
"Nggak kenapa-kenapa kok. Oh iya, Kara. Ini teman satu tim kakak. Aji, ini Kara, adik aku."
Raut wajah Aji yang awalnya memandang tak suka akan kehadiran Kara di samping Mira, langsung melunak dan sedikit terkejut.
"Aji," ucapnya sambil menyodorkan tangan.
"Kara," Kara pun membalasnya. "Kita pulang kak?"
"Ah, boleh. Udah semua nih, atau mau cari makan dulu?"
Kara mengangguk, "ya udah."
"Aji, aku duluan ya."
"Iya, hati-hati ya," pesan Aji yang hanya dijawab senyuman oleh Mira, sedangkan Kara seperti tidak suka akan perilaku Aji terhadap kakak tersayangnya.

ㆀㆀㆀ

Saat di atas mobil, Mira lebih banyak diam. Kara pun menyadari itu sejak kakaknya bertemu dengan Aji.
"Kakak mau makan apa?" tanya Kara untuk memulai percakapan.
Mira menoleh ke arah Kara, "nggak tau."
"Mie ayam? Bakso? Nasi goreng?"
"Bakso aja kali ya."
"Pas banget, ada bakso tuh di depan," tunjuk Kara dengan dagu ke arah gerobak bakso yang ada di pinggir jalan.
Walau hidup mereka sekarang sudah jauh dari kata sederhana, Mira dan Kara tidak gengsi untuk makan di pinggir jalan seperti saat ini. Mereka sadar akan hidup susah, sehingga pola hidup mereka masih seperti saat mereka kecil dahulu.
"Ini baksonya. Saus, kecap, sama sambal bisa ambil sendiri ya," ujar si penjual bakso sambil menyodorkan dua mangkuk yang penuh bakso urat.
"Keliatannya enak nih," celetuk Kara.
Mira hanya diam tak menanggapi. Ia masih terpikir dengan sikap Aji saat di restoran tadi.
"Kakak lagi mikirin apa sih? Habis ketemu temen kakak tadi, aku perhatiin kakak banyak diem," tanya Kara kesal melihat kakaknya yang tidak seceria biasanya.
Mira pun mengembuskan napasnya pelan, "tadi pas makan, temen kakak yang Aji itu marah-marah dan bentak kakak."
"Kok bisa?" tanya Kara dengan nada yang cukup tinggi, tetapi Mira tak menyadari itu karena ia kembali tak fokus.
"Katanya kakak jadi individualis karena jarang minta tolong ke temen tim kakak," jawab Mira dengan tatapan kosong.
Kara pun menghela napas, Ia memang tahu sikap kakaknya yang selalu mengerjakan sesuatu sendiri. Sangat jarang meminta tolong kepada orang lain, bahkan pada dirinya sekali pun. Kara tidak menyalahkan Aji, tetapi ia sangat kesal karena ia berani memarahi sang kakak yang amat ia sayangi. Setelahnya Kara hanya diam memperhatikan sang kakak sambil berpikir dalam hati. Aji, berani lo ya bentak kak Mira.

ㆀㆀㆀ


•) Update setiap hari jumat🐋
•) Vote dan kritik saran kalian sangat dinanti💕

The OrphansTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang