Lebih baik sederhana selamanya, dari pada berharta sementara.
ㆀㆀㆀ
Setelah berkeliling-keliling mencari buku, Mira sudah menemukan dua buah buku yang menarik perhatiannya. Yang satu adalah buku nonfiksi, dan satu lainnya adalah novel dengan judul 'The Orphans'.
Saat melihat novel itu, Mira langsung tertarik untuk membelinya karena judul buku yang sama dengan kisah dirinya, dan juga sampul beserta sinopsis yang menarik.
Tetapi Mira masih belum puas dengan kedua buku yang ia jinjing, ia masih mengitari rak-rak buku yang kira-kira setinggi tujuh kaki. Akhirnya ada satu buku lainnya yang menarik perhatian Mira. Saat membaca sinopsis buku yang ada sampul bagian belakang, bahu Mira ditepuk oleh seseorang.
Mira langsung terkejut dan berputar. Ia melihat seorang pria yang mungkin seumuran dengannya dengan wajah yang tersenyum ke arah Mira.
"Kamu Mira bukan?"
Dahi Mira mengerinyit lalu mengangguk pelan, "kamu siapa?"
Melihat Mira yang mengangguk tanda iya, kedua mata lelaki itu langsung berbinar cerah. "Hema, Hema Pramtama."
Mira mengingat-ingat, siapakah gerangan lelaki gagah dengan kumis tipis dan rambut klimis di depannya ini yang baru saja mengaku namanya adalah Hema.
Akhirnya Mira teringat dan langsung melotot terkejut, "He-Hema? Hema anaknya Pak Banda?"
Lelaki yang bernama Hema itu pun mengangguk antusias dengan senyuman yang bertambah lebar.
Pupil Mira semakin melebar lalu memekik dengan tertahan. "Hema!"
Mereka pun saling berpelukan dengan erat. Hema adalah teman Mira saat di bangku sekolah menengah atas. Mereka dahulunya sangat dekat, bisa dibilang mereka bersahabat. Tetapi setelah tamat, Hema melanjutkan studinya di Belanda sehingga Mira dan Hema tak pernah berhubungan lagi.
"Aduh Hema, kamu kemana aja! Aku nyari informasi tentang kamu bertahun-tahun tetep nggak ketemu!" ujar Mira kesal sambil menepuk pelan lengan Hema.
Hema meringis, "setelah tamat S1 di Belanda aku ditawarin beasiswa di LA. Mama sama Papa nyuruh aku nerimanya, tapi karena mereka nggak mau jauh-jauh dari aku lagi mereka ikutan pindah juga ke LA. Lima tahun kami di sana, terus mama bilang mau ke Indo lagi, jadi deh kami tinggal di sini lagi."
"Udah berapa lama sejak kamu balik ke Indo? Kamu nggak ada rencana pindah lagi kan? Pak Banda sama Bu Lena gimana kabarnya? Semua baik-baik aja kan?"
Antrian pertanyaan Mira membuat bahu Hema lemah. Ia menarik napas dalam-dalam lalu menjawab setiap pertanyaan dari sahabat lamanya itu.
"Baru sekitar tiga bulan."
"Kami mau tinggal di sini lagi, permanen."
"Papa sama mama baik-baik aja."
Mira mengangguk-angguk.
"Kamu sendiri? Tinggal di mana? Pas aku balik ke Indo aku langsung ke rumah kamu, tapi malah ada orang lain," ujar Hema.
"Aku udah pindah, kapan-kapan deh aku ajak kamu ke rumah aku."
Setelahnya Hema menanyakan di mana Mira bekerja, lalu memberi tahu nama dan alamat kantor tempat ia bekerja.
"Oh iya kamu ke sini sendiri?" tanya Hema.
Mira menggeleng, "sama Kara."
Kening Hema mengerinyit seperti sedang mengingat-ingat.
"Adik aku," lanjut Mira yang seolah tahu pertanyaan di otak Hema.
"Ah iya, Kara! Pasti sekarang dia udah kuliah," tebak Kara.
"Yep, mau ketemu? Kara lagi duduk-duduk di bagian cafe sana."
"Omong-omong, kamu suka nggak sama desain toko ini?" tanya Hema.
Mira langsung mengangguk cepat, "suka. Unik banget konsepnya."
Hema pun tersenyum, tetapi Mira merasa ada yang janggal dengan senyuman Hema.
"Jangan bilang ... ini toko kamu!"
Hema langsung tergelak mendengar penuturan Mira, tetapi Ia mengangguk untuk membenarkannya.
"Wah! Jadi udah diganti nih, dari PramBooks jadi World Books .... " goda Mira.
PramBooks adalah nama toko buku tempat Mira bekerja. Toko itu sendiri adalah milik keluarga Pramtama.
"Iya, ide mama."
Mira mengangguk-angguk
"Kamu udah tahu belum kalau di lantai atas ada sesuatu yang menarik?"ㆀㆀㆀ
8 tahun yang lalu.Lonceng tanda istirahat sudah bergema, murid-murid pun langsung berhamburan ke luar kelas mereka. Ada yang pergi ke perpustakaan, ke toilet, tetapi kebanyakan mereka pergi ke kantin untuk mengisi perut yang keroncongan.
Begitu juga dengan Mira, tetapi ia pergi ke kantin sendiri karena teman-temannya sibuk mengerjakan pr atau pergi ke toilet. Mira sendiri bingung, apa mereka tidak lapar setelah pelajaran geografi yang menguras tenaga tadi?
Mira ingin sekali memesan mie ayam, atau bubur yang bisa mengenyangkan. Tetapi Mira sedang dalam tanggal tua. Gajinya akan cair seminggu lagi, dan gaji bulan lalu semakin menipis karena banyaknya pengeluaran untuk Kara yang akan mengikuti serangkaian try out dan ujian akhir disekolahnya.
Otomatis sekitar dua bulan lagi Kara akan masuk sekolah menengah pertama, dan itu pasti membutuhkan banyak biaya. Mira harus menghemat lagi untuk itu.
Itulah mengapa Mira hanya memesan biskuit, sedangan untuk minuman Mira selalu membawa satu botol air dari rumah.
Mira melihat sekeliling kantin, semua meja yang ada penuh, tak ada satupun tempat yang kosong. Mira menghela napas, ia pun memutuskan untuk pergi ke taman belakang sekolah saja. Biasanya di sana cukup sepi, hanya ada tanaman-tanaman obat dan pohon-pohon buah.
Mira duduk di sebuah bangku yang menghadap ke sebuah telaga yang dahulunya adalah rawa tetapi dirapikan sehingga airnya jernih dan terawat layaknya telaga.
Mira membuka bungkus plastik biskuit lalu memakannya secara perlahan, dalam satu bungkus terdapat lima buah biskuit. Makanan inilah yang paling sering Mira beli saat di sekolah karena harganya yang murah dan memiliki isi yang cukup untuk menunda lapar.
Saat memakan biskuit ke dua, Mira melihat seorang siswa yang berbadan tambun yang sedang berjalan sendiri. Setelah diperhatikan beberapa saat, Mira tertegun, ternyata celana siswa tersebut basah dan kotor. Ia langsung berdiri dan memanggil siswa tersebut.
"Hei!"
Tentu saja siswa tersebut langsung terkejut dan terlihat sedikit ketakutan melihat Mira yang berjalan menghampirinya.
"Celana kamu ... kenapa?"
Pertanyaan Mira seakan hanya angin lalu, siswa tersebut hanya diam melihat Mira dengan air muka yang rumit.
"Kamu jatuh ya?"
Akhirnya pertanyaan kedua Mira dijawab dengan anggukan ragu-ragu. Mira berprasangka kalau siswa ini takut padanya, ia pun berinisiatif untuk mengenalkan dirinya.
"Kenalin, aku Almaheera Warsana, dari 11 IPS 2. Panggil aja Mira," ujar Mira sambil mengulurkan tangan.
Siswa tersebut awalnya hanya diam memperhatikan tangan Mira, akhirnya ia menjabat tangan Mira dengan ragu-ragu.
"Hema, Hema Pramtama. 11 IPA 1."
"Wah, IPA ya," Mira berbasa-basi.
Hema hanya menanggapi dengan anggukan ragu.
Mira berusaha untuk tak terlalu menghiraukan bagian bawah celana siswa yang bernama Hema itu basah dan kotor karena tanah, tetapi ia tak tahan lagi.
"Kamu nggak ada celana ganti? Itu celananya basah lho," ucap Mira dengan hati-hati.
Hema melirik lama ke arah celananya lalu menggeleng.
Mira bingung mau menyarankan apa lagi, Hema terlihat sangat berantakan dengan celana tersebut.
"Kalau ... em, di koperasi sih ada jual celana. Kalau kamu, mungkin ... kamu bisa beli di sana," ujar Mira sambil meringis karena takut salah bicara.
Hema melihat Mira, "ada?"
Mendengar pertanyaan Hema Mira langsung mengangguk, "ada."
Hema kembali melihat celananya.
"Kalau ... em, aku boleh tahu. Kamu ... kenapa bisa celananya kotor?" lagi-lagi Mira meringis takut salah bicara.
Hema terdiam sebentar lalu menjawab dengan suara mencicit, "diganggu, anak IPS."
Sontak saja Mira terdiam. Sudah hampir dua tahun ia bersekolah di sini, tetapi tak pernah sekalipun ia mendengar kalau ada kasus perundungan. Tentu Mira iba terhadap Hema, tetapi ia tak memperlihatkannya. Ia takut Hema menjadi sedih.
"Mira, kamu ... mau temenin aku ke koperasi?"ㆀㆀㆀ
•) Update setiap hari jumat🐋
•) Vote dan kritik saran kalian sangat dinanti💕

KAMU SEDANG MEMBACA
The Orphans
Mystère / ThrillerAlmaheera Warsana, biasa dipanggil Mira, seorang wanita lajang yang bekerja di suatu perusahaan. Dia mempunyai kelainan yaitu terlalu tidak peka dan terlalu baik hati kepada orang. Alkara Warsana, biasa dipanggil Kara, adik laki-laki semata wayang...