Drie

4 2 0
                                    

Segala hal yang dilakukan dalam kolam emosi, hanya akan menghasilkan hal yang hanya ingin terjadi dalam delusi.


ㆀㆀㆀ

"Kamu mau ke mana?"
Mira melihat ke arah Kara yang baru saja kela dari kamarnya dengan setelan yang rapi.
"Tadi aku kasih kabar ke orang konveksi kalau aku terima tawaran mereka, terus langsung diajakin tanda tangan kontrak malam ini," jawab Kara.
Mira mengangguk-angguk, "itu hoodie buat apa?"
Kara melirik ke arah hoodie hitam yang diberi oleh Mira saat pertukaran hadiah seminggu yang lalu.
"Buat dijual," jawab Kara enteng.
Mira pun melotot lalu melempar bantal kecil yang ada di sofa ke arah Kara, "enak aja!"
Kara pun terbahak melihat tingkah sang kakak, "enggak lah. Aku pulangnya bakal kemaleman. Jadi bawa hoodie biar nggak dingin."
Mira masih memicingkan matanya, "jangan kemaleman banget. Kamu bawa kunci kan?"
"Bawa kok," jawab Kara lalu melihat ke jam dinding yang menunjukkan pukul setengah delapan malam.
"Aku pergi sekarang ya."
"Ya sudah, hati-hati"

ㆀㆀㆀ


Mira membuka daun pintu ruang kerja tim nya dengan perlahan lalu berjalan menuju meja nya. Baru saja duduk, Vera langsung menghampiri Mira dengan raut wajah rumit.
"Mir, lo udah tau belum?"
"Tahu apa?" tanya Mira sambil melihat to do list hari ini.
"Aji resign, Mir."
Tiba-tiba tubuh Mira seakan membeku, "re- resign?"
Mira pun langsung menghadap ke Vera dengan raut terkejut, "Aji resign? Kok bisa?"
"Gue nggak tau kenapa. Tadi Pak bos telfon Danang bilang kalau malam kemarin Aji kirim email surat resign dia ke Pak bos."
Mira pun langsung menatap Danang dengan tatapan penuh tanya. Danang yang merasa dirinya diperhatikan perlahan menoleh ke arah Mira.
"Pak bos bilang apa lagi?"
"Katanya hari ini kita harus gantiin kerjaan Aji. Kebetulan besok bakal ada anak-anak magang, jadi bisa bantu kita paling nggak sampai ada pengganti Aji. Tuh anak kok jadi gini ya?" jelas Danang.
"Terus yang kata lo tentang pesangonnya si Aji?" Kini Vera yang bertanya.
Danang menaikkan kedua bahunya, "nggak tau. Pak bos bilang dia nyoba hubungin nomor Aji, tapi nggak bisa. Nomornya nggak aktif. Barusan gue coba telfon dia karena penasaran, eh ternyata emang nomornya mati."
"Sayang banget lho, pesangon sama bonus bergepok-gepok dia tinggalin. Ada masalah apa sih tu anak?" celetuk Olin, teman satu tim Mira juga.
Rega pun ikut menyahut, "ngerasa udah jadi sultan kali."
Mira hanya diam, ia larut dalam banyaknya pertanyaan yang menyesakkan pikirannya. Mengapa Aji resign? Mengapa Aji tidak bisa dihubungi? Apa Aji semarah itu dengannya?

ㆀㆀㆀ


Setelah turun dari taksi, Mira memasuki pekarangan rumahnya dengan raut wajah yang terlihat sangat kusut. Dengan resign-nya Aji yang notabenenya co-leader tim Mira, meninggalkan banyak pekerjaan yang harus dibagi rata kepada Mira, Danang, Vera, Olin, dan juga Rega.
Terlebih lagi proyek yang mereka garap sebelumnya berhasil total, tim Mira dipercayakan proyek besar lainnya yang harus diselesaikan secepat mungkin.
Mira pun meluruhkan badannya ke sofa ruang tamu. Rumah mereka tidak lah besar tidak juga kecil, bertingkat satu dan hanya memiliki tiga kamar, tetapi hanya ditempati dua kamar saja. Masing-masing untuk kamar Mira, dan juga kamar Kara. Kamar satu lagi tidak pernah digunakan, digunakan hanya untuk menyimpan barang-barang tak terpakai.
Seluruh dinding rumah baik di luat maupun di dalam bercat abu-abu dengan beberapa list hitam. Gorden jendela juga berwarna hitam, dengan furnitur seperti sofa yang berwarna abu-abu polos. Tak banyak juga lukisan atau foto yang terpampang di dinding. Hanya ada satu pigura foto yang memperlihatkan Dara, Kara, dan Mira, saat mereka kecil. Juga satu pigura lainnya yang menampakkan foto Kara dan Mira yang menggunakan toga saat acara wisuda Mira. Selebihnya hanya ada lukisan-lukisan berukuran kecil dan sedang yang sengaja disusun bertingkat-tingkat.
Tak terasa Mira sudah terlelap di atas sofa dengan pakaian kantor dan kacamata minusnya yang masih bertengger.
Selang beberapa saat Kara keluar dari kamar dengan kantung mata yang menghitam dan juga tablet di tangannya. Ia menyadari ternyata bekerja di konveksi sambil kuliah tidak lah semudah itu. Tetapi ia tidak menyesal, karena Kara juga harus mengumpulkan uang untuk masa depannya. Ia tak ingin membuat Mira terbebani oleh dirinya. Itulah mengapa sejak duduk di bangku sekolah menengah ia meminta diajari tentang dunia desain grafis kepada seniornya.
Kara pun merasa ia cocok dengan bidang itu lalu melanjutkan kuliah dengan jurusan Desain Komunikasi Visual di sebuah perguruan tinggi negeri.
Kara memperhatikan wajah Mira yang tampak tenang dan damai. Untuk kejutaan kalinya, ia merapalkan ucapan sayangnya kepada Mira. Ia, benar-benar tak sanggup menahan diri bila ada yang mengganggu apalagi menyakiti kakaknya.
Terlebih lagi setelah ibu mereka tewas terbunuh oleh ayah mereka sendiri. Selama bertahun-tahun Ia menghilang, dan kembali saat Mira telah berkuliah dan Kara yang duduk di bangku kelas dua SMK.

ㆀㆀㆀ


5 tahun yang lalu.

"Kak Mira, bantuin dong. Aku bingung deh, aku kan SMK jurusan animasi. Terus kenapa masih ada pelajaran kimia lah, biologi, sejarah!" gerutu Kara saat ia mengerjakan pekerjaan rumahnya di ruang tamu.
Mira pun tertawa, "karena dasar pelajaran itu juga harus dipelajari oleh semua orang. Mau kamu jurusan animasi, tata boga, kelautan, tetap masih belajar mata pelajaran itu juga kok. Paling lama sih, sampai semester empat."
Kara pun membuang napas dengan kasar, Mira yang sedang berjalan mendekati Kara hanya tersenyum lalu bergeleng-geleng.
Setelah duduk disamping Kara, Mira melihat-lihat soal kimia yang ada di buku paket Kara, "soal nomor berapa?"
"Nomor 18, tentang kadar keaslian senyawa. Ya kali lho kak anak animasi ditanya begitu, coba tanyanya tool-tool penting di photoshop untuk ngubah background, kan enak!" Kara kembali menggerutu.
Mira pun mengerinyit, lalu membuka mulut untuk mengatakan kalau dirinya juga tidak mengerti tentang soalnya. Tetapi tiba-tiba pintu rumah terbuka dan menampilkan seorang lelaki paruh baya yang sedang menatap ke arah Kara dan Mira. Mereka berdua pun terdiam membeku, setelah sekian lama ....
"Ayah?"
"Ayah?"
Mira dan Kara membeo dengan waktu yang bersamaan.
"Mira, Kara," ucap lelaki tersebut dengan tersenyum dan mata yang berkaca-kaca.
Ayah mereka, Surya Warsana kembali setelah bertahun-tahun menghilang dan meninggalkan tanggung jawabnya untuk membesarkan Mira dan Kara, dan tentunya juga berhasil lolos dari tuntutan mendekam di penjara selama 12 tahun.
Belum sempat Surya menginjakkan kakinya ke dalam rumah, Kara tiba-tiba berdiri dan melesat ke arah Surya.
Surya pun memperhatikan tubuh Kara yang tentunya sangat berbeda dari Kara usia tujuh tahun.
"Kara, maafkan Ayah, Nak."
Dari jutaan kalimat yang Ingin Surya ucapkan, hanya satu kalimat maaf yang berhasil lolos dari mulutnya.
"Maaf? Setelah bertahun-tahun hilang, maaf? Setelah ngebunuh Ibu, maaf?" ujap Kara dingin lalu menyengih.
"Ayah ... ayah, maafkan Ayah." Surya pun menangis sesenggukan.
Mira yang awalnya sangat marah akan kedatangan sang Ayah setelah bertahun-tahun, menjadi iba melihat kondisi Surya yang berantakan juga tubuh kurus, sangat jauh berbeda dengan kondisi ayahnya saat Mira masih usia kanak-kanak.
Mira perlahan berjalan mendekati Kara dan Ayahnya, tetapi perintah Kara langsung menyentak lamunannya.
"Berhenti kak, jangan ke sini."
Kara masih berucap dingin, ia memandang Surya yang juga dipandang balik oleh Surya yang bersusah payah meredakan tangisannya. Hanya ada diam yang menyelimuti reuni keluarga setelah bertahun-tahun itu, paling tidak sampai ...
PLAK!
BUGH!
"KARA!"
Mira syok melihat kejadian yang baru saja terjadi tepat di depan matanya.
Kara menampar wajah Surya lalu meninju perut Surya sampai Ia terguling.
Kara menunjuk Surya dengan jari telunjuk tangan kirinya, "pergi, PERGI LO DARI SINI!"
"Setelah ngebunuh Ibu, ninggalin kami, hilang bertahun-tahun, nggak bertanggung jawab. Dan lo masih berani ke sini. LO PUNYA OTAK GA SIH!"
"ANJING!" Kara kembali memukul, meninju, dan menendang tubuh Surya dengan bertubi-tubi tanpa henti.
Mira bersusah payah menghentikan adiknya yang sedang dibutakan oleh dendam sambil menangis kencang.
"CUKUP KARA, CUKUP! SADAR, ITU AYAH KAMU!"
"DIA BUKAN AYAH AKU KAK!" bentak Kara dengan dada yang naik turun juga wajah yang memerah.
"Ke sini lo anjing, BANGSAT!"
Kara masih berusaha untuk menendang Surya yang berusaha berdiri, tetapi Mira dengan sekuat tenaga menahan sang adik. Mira sangat takut jika Kara mengikuti jejak sang ayah, menjadi seorang pembunuh yang tak disengaja.
"Pergi, Yah. PERGI!"
Mira berteriak menyuruh Surya pergi sambil memeluk kuat tubuh sang adik. Surya pun berjalan keluar dengan langkah yang terseok-seok, pergi meninggalkan Mira dan Kara, lagi.

ㆀㆀㆀ

•) Update setiap hari jumat🐋
•) Vote dan kritik saran kalian sangat dinanti💕

The OrphansTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang