Tien

0 1 0
                                    

Asal bersama dalam suka cita, bahagia pasti akan menyerta dengan sederhana.

ㆀㆀㆀ

"Kamu udah tahu belum kalau di lantai atas ada sesuatu yang menarik?"
"Apa tuh?"
"Ayo sini, ikut aku."
Hema menarik tangan Mira menuju tangga yang ada di sudut ruangan. Entah mengapa, saat jari-jari Hema menyentuh tangannya, seakan ada sengatan tekanan rendah mengalir di seluruh pembuluh darahnya. Aneh, pikir Mira.
Mereka pun bersisian saat menaiki anak-anak tangga dengan tangan Mira dan Hema yang masih bertautan. Mira seakan tidak ingin melepas tautan tangan mereka, mungkin karena nggak lama bertemu sahabat, pikirnya lagi.
"Wah!"
Sesampainya di lantai atas, Mira hanya bisa merasakan takjub dan terkesima. Ruangan lantai atas ini layaknya dunia dalam bangunan. Plafon-plafon dilukis layaknya langit cerah beserta awan-awan. Dinding juga dilukis dengan berbagai jenis lukisan, mulai dari doodle, kehidupan laut, luar angkasa, dan masih banyak lagi. Di lantai ke dua ini juga banyak diletakkan pot-pot tanaman hijau juga meja-meja bundar di atas permadani berwarna biru cerah. Juga ada rak-rak buku berukuran besar yang belum terisi penuh.
"Kamu suka?"
"Bahkan kalimat 'terlalu sangat bagus banget sekali' masih kurang untuk ngasih penilaian," ujar Mira dengan mata yang masih terkesima dengan pemandangan ajaib ini.
Jendela-jendela besar juga banyak terpasang di dinding, membuat para pengunjung pasti merasa lapang dan sangat nyaman berlama-lama di sini.
"Pantesan namanya World Books."
Hema pun terkekeh, "sejak masih di LA, mama udah ngedesain sendiri konsep toko buku ini. Mama sih awalnya nggak suka tanamam, tapi gara-gara tetangga apartemen samping punya banyak banget tanaman di balkonnya, mama juga ikut-ikutan suka. Dan masukin konsep ini ke desainnya."
"Jadi, PramBooks udah diduakan oleh World Books nih," goda Mira.
"Awalnya Papa kesel ngeliat mama ganti nama tokonya, padahalkan PramBooks itu toko yang papa bangun dari nol. Butuh waktu lama banget mama ngebujuk papa, dan akhirnya entah dengan jurus apa, papa nurutin mau mama juga," cerita Hema.
Mira pun tergelak lalu menyahut, "jurus cinta kayaknya."
Mereka berdua pun tertawa bersama, lalu hening. Selama ini, baru kali ini Mira mengatakan kata 'cinta' saat bersama Hema. Entah mengapa mereka mereka merasa sedikit kikuk.
Mira memutuskan untuk pergi ke balkon sebagai penghilang rasa kikuknya dengan Hema. Sedangkan Hema, dia melihat-lihat buku di rak sambil sesekali mencuri pandang ke arah Mira.
Dari jauh Ia bisa melihat rambut hitam sebahu Mira yang beterbangan karena angin yang lumayan kencang di luar.
"Cantik," gumam Hema tak sadar.
Ia pun langsung mengeleng-gelengkan kepalanya, entah apa yang ada dibenaknya sampai Ia mengumamkan pujian kepada Mira.
Mira memang memiliki paras yang jelita, juga bersikap rendah hati ke pada semua orang. Tetapi ia tak pernah sekalipun memuji kecantikan Mira secara gamblang, apalagi Ia teringat saat tangganya menggandeng Mira. Seakan ada sengatan aneh di sekujur tubuhnya, tetapi Ia merasa nyaman dan seperti tak rela jika harus melepas tautan tangannya.
Saat Mira masih memikirkan tautan tangannya dengan Hema tadi, poselnya berdering.
Kara memanggil.
Bagaimana ia bisa melupakan adiknya, pasti ia sedang mencari-cari keberadaannya sekarang. Ia pun langsung mengangkat telepon Kara.
"Halo, Kar—"
"Kakak di mana? Aku nyari-nyari kakak dari tadi tapi nggak ketemu, kakak di mana sih!"
Belum sempat Mira memberi sapaan, rentetan pertanyaan terdengar dari seberang. Suara Kara juga terdengar sangat khawatir dan marah.
"Maaf, Kara. Kakak ada di lantai atas, kakak turun sekarang ya."
Mira pun menutup teleponnya lalu segera menghampiri Hema.
"Hema aku turun ya, adik aku nyariin di bawah."
"Oh, ayo. Aku temani."
Mira mengangguk, mereka pun kembali menuruni tangga yang terbuat dari kayu yang sudah dipoles oleh pernis. Sesampainya di bawah Ia melihat Kara yang menatap kesal dirinya.
"Maaf ya, kakak lupa bilang ke kamu kalau kakak ke atas," sesal Mira.
Walau dengan ekspresi yang masih kesal, Kara tetap menganggukkan wajahnya. Lalu Ia menatap tak suka ke arah Hema.
"Wah, ini Kara, Mir? Udah gede banget, lho. Kayak dia yang lebih gede dari kamu."
Hema terkejut saat mengetahui kalau pemuda berbadan gagah dan berparas rupawan layaknya model adalah Kara.
Mira tersenyum, "kamu ingat Kak Hema? Teman kakak di SMA dulu? Ini dia."
Hema tak kalah terkejutnya setelah mendengarkan penuturan sang kakak.
"Kak Hema?"
Hema tersenyum lebar sambil mengangguk. Mereka pun langsung saling memeluk melepas kerinduan.
Sejak Hema tahu kalau Mira adalah karyawan Papanya, Ia sering mengantarkan Mira pulang ke rumahnya. Bahkan di waktu senggang, Ia sering berkunjung ke rumah Mira. Entah untuk mengerjakan tugas bersama, atau mengajak Kara bermain PS. Sebenarnya PS itu adalah miliknya, tetapi sangat jarang Ia mainkan karena tak ada teman yang bisa Ia ajak. Ia pun berinisiatif untuk memindahkannya ke rumah Mira, agar Ia dan Kara bisa bermain PS bersama.
"Kak Hema kok bisa di sini juga? Kak Hema selama ini ke mana? Aku kangen banget, lho!"
Hema meringis lalu terkekeh, "nggak adik, nggak kakak, nanyanya banyak sekaligus."
Mira pun juga ikut terkekeh lalu mengulang cerita yang tadi disampaikan padanya.
"Ah ... jadi, kakak tinggalnya di mana? Aku pengen mampir lain kali."
"Di komplek Tawang Persona, blok D nomor 2."
"Deket banget tuh sama komplek kita, Kak," seru Kara.
Mira mengangguk, "iya, cuma di batesin sama ruko-ruko aja."
"Iya? Rumah kalian di komplek mana?"
"Di komplek Tawang Lawa," ujar Kara.
"Oh yang di depan toko mebel itu kan?"
"Iya, di sana," jawan Mira.
"Bisa tuh, kita main PS sekali seminggu, Kar," ucap Hema sambil menaik-naikkan kedua alisnya.
Kara terkekeh, "pasti."

ㆀㆀㆀ

"Goedemorgen para rakyat Vera yang ganteng dan cantik jelata."
Vera yang baru membuka pintu ruangan kerja tim Mira langsung memberi sapaan dengan bahasa Belanda andalannya. Vera mengaku kalau Ia tinggal di Belanda sekitar dua tahun karena melanjutkan studi S2-nya di kota kincir angin itu.
"Heboh banget ya kalau ngatain orang," Olin mencebik.
"Baru sadar kalau kak Vera bilangnya 'jelata' bukan 'jelita'," Dhita menyahut.
"Oh iya. Maafkanlah adik nya Billie Eilish ini sahabat-sahabat. Anyway!"
Vera mengeluarkan sebuah kotak plastik, mangkuk-mangkuk mini, dan sebuah botol yang berisi cairan coklat seperti minuman soda.
"Taraaa ... sekotak pempek ikan gabus untuk sarapan kita!"
"Wah!"
"Makan enak nih!"
"Asik!"
Mira, Arin, Olin, Dhita, dan Danang langsung berbinar saat Vera membuka penutup kotak plastik tersebut. Vera langsung mengisi mangkuk-mangkuk kecil dengan cairan yang ada di dalam botol lalu membagikannya kepada teman-teman satu tim yang sudah mengerubunginya.
"Aku kira ini soda lho," celetuk Arin.
Danang menyahut, "cukanya ini mah."
"Cuko, bukan cuka." Vera mengoreksi.
"Mana timunnya? Bukannya cuka, eh cuko itu pakai timun?"
Vera menggeleng cepat, "aslinya itu nggak ada timunnya."
Yang Mira ketahui, Vera memang keturunan Palembang-Jakarta. Nama panjang Vera sendiri adalah Nyayu Savera Tirta.
"Di Palembang itu ada kalimat lucu yang terkenal tentang pempek, lho," ujar Vera.
"Apa tuh?" Mira menyahut.
Vera terkekeh lalu menjawab, "cuko dak becuko tengah duo."
"Apa tuh?" Sekarang giliran Arin yang bertanya.
"Artinya, 'pake cuka atau enggak, tetap seribu lima ratus', gitu. 'Tengah duo' itu tuh seribu lima ratus."
"Kalau tengah lima? Eh, limo ya?" tanya Dhita.
"Empat ribu lima ratus."
Mereka pun mengangguk-angguk.
"Pempek ini," Vera menunjuk beberapa pempek bulat kecil. "Namanya itu pempek adaan. Nggak tau deh kenapa namanya adaan, padahal nggak ada isinya."
"Terus yang ini, pempek favorit aku," Vera menunjuk pempek bulat gepeng yang tak tipis dan juga tak tebal. "Namanya pempek kulit, karena bahannya itu dari ikan yang digiling plus kulit dan tulangnya. Kalau nggak salah sih begitu."
"Ada juga satu lagi, namanya pempek kates. Isinya pepaya, kates itu bahasa Palembangnya pepaya. Nggak aku bawa karena aku nggak terlalu suka," Vera menambahkan.
"Kalau yang ini gue tahu, pasti pempek telur!" celetuk Danang.
"Iya lah, kan ada telurnya di dalam," Mira menyahut kesal.
"Ye, Danang Dunung," ejek Olin.
"Sewot aja lu debu kaca!"
"Enak aja, elu telor cicak!"
"Kutu kebo!"
"Upil kambing!"
Selama Danang dan Olin saling beradu mulut, Mira, Vera, Dhita, dan Arin terbahak-bahak mendengar segala macam ejekan dari sang julid couple ini. Iya, itu adalah julukan yang mereka berikan kepada Olin dan Danang. Bahkan diam-diam, mereka juga menyomblangkan Olin dan Danang sampai halal.
"Udah, udah! Jadi lemah lesu letoy pempek gue denger ocehan kalian," Vera mencebik.
"Tau tuh si Danang!"
"Eh, kok gue, elu yang mulai ingus semut!"
"Elu cacing banjir!"
"Daki tokek!"
"Tai siput!"
"Siput bisa BAB apa?" Arin tiba-tiba menceletuk.
"Bisa kali," Dhita mengangkat kedua bahunya.
"Tapi dari mana?" Mira ikut-ikutan bertanya.
Dan ya, setelahnya hanya ada ribuan pertanyaan tentang 'tahi siput' yang menyelimuti benak mereka.

ㆀㆀㆀ

•) Update setiap hari jumat🐋
•) Vote dan kritik saran kalian sangat dinanti💕

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 24, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The OrphansTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang