Negen

0 1 0
                                    

Sekecil apa pun itu, kebaikan akan selalu diharapkan oleh dunia.

ㆀㆀㆀ

Akhirnya semua tugas Mira sudah selesai, Ia menulis dengan kecepatan maksimal dalam kurun waktu dua puluh menitan. Mira pun kembali bergabung dengan Hema. Sedangkan Pak Nor belum kembali sejak tadi.
"Wah, ini tinggal nyusun dikit lagi."
Mira terkejut melihat setumpuk buku yang sudah diberi kode di bagian samping.
"Aku bingung, kamu yang cepet atau aku yang nulisnya lama?"
Hema hanya meringis kecil, "aku udah biasa."
Mira mengangguk-angguk lalu membantu menyusun buku yang hanya tersisa sedikit. Saat buku terakhir Mira letakkan di rak, daun pintu perpustakaan terbuka.
"Wah, udah selesai? Cepat sekali."
Pak Nor menambahkan, "kalau begitu kita langsung makan bakso aja."
"Bakso?" tanya Hema kebingungan.
"Tadi bapak beli bakso, pasti kalian lapar kan. Oh iya Mira, tolong ambilkan mangkuk, piring, sama minum di dapur ya."
Mira mengangguk patuh lalu keluar dari perpustakaan.
"Ayo ke sini, Nak Hema."

ㆀㆀㆀ

Setelah selesai memakan bakso, Mira dan Hema berterima kasih kepada Pak Nor, lalu izin pamit pulang karena bel pulang sudah berbunyi.
"Hema, temenin aku ke ruang guru yuk, aku mau kasih tugas fisika tadi."
Hema mengangguk, "ayo."
Mereka memasuki ruang guru yang mulai sepi, hanya ada beberapa guru yang sedang berbincang-bincang.
"Hema!"
Hema dan Mira langsung menoleh ke belakang, ternyata itu adalah Bu Purba, guru fisika Mira dan Hema.
"Kamu lagi apa?" tanya Bu Purba.
"Mau temenin Mira kasih tugasnya ke Ibu," jawab Hema sopan sambil melirik Mira.
Bu Purba ikut melihat ke arah Mira, "oh, Mira, ibu kira siapa tadi."
Mira tersenyum kecil, "iya bu. Oh iya, ini buku tugas Mira, Bu."
"Tugas yang sepuluh soal tadi? Kan tadi ibu sudah bilang ke teman kamu kumpulkan minggu depan aja."
Sontak Mira terkejut, "nggak jadi hari ini, Bu?"
Bu Purba menggeleng, "enggak. Minggu depan, tapi soal esainya juga dikerjakan."
Mira yang masih tak percaya hanya mengangguk lalu izin pulang. Padahal Ia tadi sudah mengerjakan sepuluh soal dengan kecepatan maksimal—walau mencontek punya Hema—dan sekarang malah tak jadi dikumpulkan hari ini. Bahu dan bibir Mira seakan otomatis luruh sambil berjalan ke gerbang.
Hema pun tersenyum kecil lalu menepuk-nepuk pundak Mira, "sabar ya."
Mira melirik ke arah Hema lalu kembali menunduk dan menghela napas panjang.
Sekarang Ia harus pulang kerumah, menggoreng tempe dan telur untuk makan Kara, lalu pergi ke toko buku untuk bekerja.
"Aku duluan ya, Hema."
Hema mengangguk lalu melambaikan tangan, "dah!"

ㆀㆀㆀ

"Mira, tadi ada buku-buku yang baru datang. Tolong kamu cek pakai catatan ini, cek apa bukunya lengkap dan kondisinya bagus semua. Habis itu kasih ke bapak ya."
Mira tersenyum, "oke, Pak!"
Setelah Pak Banda—bos nya—pergi, Mira pergi menuju ruangan khusus yang hanya bisa dimasuki oleh para pegawai. Ia mulai mengecek satu persatu, mulai dari kondisi buku sampai semua lengkap seperti di catatan.
Tetapi saat Mira masih melihat-lihat kondisi buku, lampu tiba-tiba mati.
"Aduh, mati lampu lagi."
Samar-sanar Mira terlihat sebuah senter yang ada tak jauh darinya. Mira langsung mengambil lalu menyalakannya. Ia pun kembali melanjutkan pekerjaannya hanya dengan mengandalkan sebuah senter.
Tak terasa bulir-bulir peluh membanjiri wajah Mira dalam kegelapan, ruang ini tak ada satupun ventilasi, juga karena lampu mati kipas tak bisa hidup. Mira mempercepat pekerjaannya tetapi tetapi dengan teliti agar tak ada kesalahan apa pun.
Setelah mencentang kolom terakhir, lampu kembali hidup. Mata Mira memicing kesal melihat sekeliling lalu menghela napas. Mira pun memutuskan untuk keluar dari ruangan.
Tetapi saat ingin memegang gagang pintu, ada orang juga yang ingin masuk ke dalam.
"Mira?"
"Hema?"
Ternyata orang itu adalah Hema.
"Kok kamu di sini?"
"Kok kamu di sini?
Untuk kedua kalinya mereka bertanya dengan waktu yang bersamaan.
"Aku kerja paruh waktu di sini," jawab Mira mendahului.
Sedangkan Hema terkejut mendengar penuturan Mira.
"Kamu udah selesai Hema?" Itu adalah suara Pak Banda.
Hema dan Mira hanya diam celingukan.
"Eh, Mira. Udah selesai?"
Mira mengangguk lalu menjawab sambil memberikannya catatan ke pada Pak Banda, "udah, Pak. Lengkap dan bagus semua kondisinya."
"Oh iya, Mira. Ini Hema, anak tunggal yang pernah bapak ceritain dulu."
Tentu saja Mira terkejut, "Hema anak bapak?"
Pak Banda mengangguk, "kalian saling kenal? Oh iya, kalian kan satu sekolah."
"Ini Mira yang aku ceritain kemarin, Pa," ujar Hema.
Pak Banda juga ikut-ikutan terkejut, "oh jadi nak Mira ini."
"Makasih banyak ya Mira. Kemarin Hema cerita ke bapak kalau kamu sudah nolongin dia," sambung Pak Banda.
"Iya, Pak. Sama-sama," jawab Mira kikuk.
"Pa, aku izin ajak karyawan terbaik Papa ini beli es krim ya."

ㆀㆀㆀ

Setelah perbincangan tadi, Hema mengajak Mira membeli es krim di sebuah cafe yang tak jauh dari toko buku tempat Mira bekerja.
Awalnya Mira menolak berkali-kali, tetapi Hema tetap memaksa dan mengatakan kalau Ia akan mentraktir Mira. Mira pun hanya bisa pasrah mengikuti kehendak temannya yang juga merangkap sebagai anak bosnya, catat itu baik-baik.
"Kamu mau coba yang vanila, Mir?" Hema menawarkan es krim vanila miliknya.
Mira menggeleng, "aku nggak terlalu suka vanila."
"Kenapa?"
"Em, kenapa ya? Rasanya itu kayak ada amisnya."
"Amis?" Hema tergelak.
"Iya ... nggak tau juga deh. Pokonya aneh aja rasanya tuh."
Selanjutnya mereka hanya bercincang-bincang ringan sambil menikmati mangkuk yang penuh es krim.
"Eh iya, gimana caranya kamu bisa jadi karyawannya Papa, Mir?"
Mira mengingat-ingat, "dulu itu aku mau pergi kerja kelompok pas SMP kelas 8. Terus aku lihat ada kertas lowongan pekerjaan di pintu depan toko. Waktu itu bentar lagi mau ujian kenaikan kelas dan hanya bisa ikut ujian kalau SPP udah lunas, sedangkan SPP aku udah nunggak sekitar delapan bulan. Jadi aku langsung aja nyoba ngelamar di sini, nggak bawa apa-apa. Cuma bermodal tas isi buku sama alat tulis dan kertas karton buat kerja kelompok tadi," cerita Mira lalu tertawa sendiri mengingat kejadian itu.
"Terus terus?" Hema menjadi semakin penasaran kelanjutan dari kisah Mira.
"Apa ya ... oh iya, pas masuk aku ketemu sama Bu Lena yang lagi nyusun-nyusun buku di rak. Terus aku ditanyain mau cari apa, ya aku jawab aku mau ngelamar pekerjaan. Mama kamu langsung kaget, terus nanya aku kelas berapa, sekolah di mana, aku serius atau enggak, alasan aku ngelamar."
Mira manambahkan, "terus aku jawab semuanya jujur, sampai lupa kalau mau kerja kelompok."
Mira dan Hema pun tergelak.
"Bu Lena awalnya masih nggak percaya, tapi mama kamu langsung manggil Pak Banda terus bilang kalau dia mau nerima aku. Reaksi Pak Banda sama kayak Bu Lena, terus Bu Lena bicara sama Pak Banda sedangkan aku disuruh lihat-lihat ke dalam."
"Selang beberapa menit, aku dipanggil. Terus mereka bilang kalau aku bisa kerja besok, deh. Aku langsung kesenengan dan pulang. Tapi pas mau masuk ke rumah, aku kaget. Aku lupa nggak kerja kelompok," Mira dan Hema kembali tergelak.
"Aku langsung lari ke rumah temen aku, sampai aku jatuh di dekat rumah temen aku itu. Awalnya mereka mau marah besar, tapi ngeliat aku yang luka-luka mereka nggak jadi marah terus ngobatin luka aku deh."
Mira menggeleng-geleng sedangkan Hema diam-diam merasa kagum terhadap perjuangan Mira sejak kecil. Ada satu hal yang memenuhi benak Hema, mengapa Mira hanya hidup berdua dengan adiknya?
Tetapi Hema merasa kalau Mira akan sedih jika dirinya mempertanyakan soal itu, lebih baik nanti ia tanyakan saja ke Papanya.
"Mira, aku mau ngucapin makasih."
Mira tertegun, "makasih buat apa?"
"Makasih buat bantuin aku kemarin, makasih buat mau jadi teman ngobrol aku sekarang."
Mira hanya bisa tersenyum.
"Kalau, kamu mau ... kita bisa nggak jadi teman?" Hema bertanya dengan ragu-ragu tetapi memandang Mira dengan tatapan penuh harapan.

Mira terkejut mendengar penuturan Hema, tetapi dengan cepat Ia tersenyum tulus dan mengatakan, "mulai detik ini, kita jadi sahabat. Selamanya, titik.

ㆀㆀㆀ

•) Update setiap hari jumat🐋
•) Vote dan kritik saran kalian sangat dinanti💕

The OrphansTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang