Vier

1 2 0
                                    

Layak atau tidak, kau harus mencari alasan untuk bertahan, itulah arti kehidupan.


ㆀㆀㆀ


Setelah kejadian itu, atmosfer di antara Mira dan Kara menjadi dingin. Tak ada lagi lontaran canda, mereka hanya akan mengeluarkan suara jika sangat dibutuhkan.
Sebenarnya Mira tak ingin ada jarak dingin di antara dirinya dan Kara, tetapi setelah berkali-kali mengajak Kara berbincang seperti biasa, Kara hanya menjawab dengan ucapan singkat. Mira tidak tahu harus apa, karena selama hidupnya baru kali ini mereka menjadi jauh dan hemat bicara. Beberapa kali memang mereka bertengkar kecil, tetapi itu tidak berlangsung lama.
Mira pun memiliki ide untuk memasak makanan kesukaan Kara, udang cumi saus Padang. Karena pendapatannya dari gaji part time di sebuah toko buku hanya pas-pasan, mereka jarang bisa makan lauk yang cukup mahal. Biasanya hanya telur, ikan, atau tahu tempe.
Sambil menunggu Kara pulang sekolah, Mira mengerjakan laporan PKL-nya di ruang tamu.
Mira pun larut dalam pekerjaannya sampai tak sadar kalau jam sudah menunjukkan pukul empat sore.
"Kara ke mana ya? Kok masih belum pulang?"
Biasanya adiknya pulang sekolah pukul setengah dua siang. Jika Kara akan pulang terlambat, Ia pasti akan mengabari Mira terlebih dahulu.
Daun pintu pun terbuka menampilkan Kara yang masih menggunakan pakaian sekolah, tetapi terlihat sangat berantakan. Rambut lepek yang acak-acakan dan kemeja putih yang dikeluarkan dari celana.
Hampir saja Mira akan mengomeli sang adik, tetapi Ia langsung teringat akan rencana hari ini untuk membujuk Kara.
"Kara, kakak masak kesukaan kamu lho. Udang cumi saus Padang, kamu pasti lapar kan," ujar Mira.
Kara melirik ke arah Mira, "aku masih kenyang." Lalu melenggang masuk ke dalam kamar.
Sudah, ini tidak lagi bisa ditoleransi Mira. Kara tidak bisa bersikap seperti ini terus. Sebagai seorang kakak, Mira merasa bersalah dan terpukul akan kondisi di antara mereka. Ia merasa dirinya tidak berguna.
"Kara!" teriak Mira yang berhasil menghentikan langkah Kara.
"We need to talk."

ㆀㆀㆀ


Di sinilah mereka sekarang, dapur dengan ukuran tiga kali tiga meter yang juga digunakan sebagai ruang makan. Tadi mereka sudah menghabiskan masakan Mira dalam diam. Tetapi perasaan Mira sedikit tenang sekarang, karena Ia melihat Kara yang dengan lahap menghabiskan masakannya.
"Kara, kita nggak bisa kayak gini terus," ujar Mira lembut untuk memulai pembicaraan mereka.
"Hm."
Kara hanya menjawab singkat, Mira pun menghela napas.
"Kakak ... kakak nggak mau kita diem-diem, bicara cuma satu dua kata. Kamu juga jadi sering ngabisin waktu di luar rumah atau di kamar yang selalu kamu kunci."
Kara hanya diam mendengarkan.
"Kakak tahu, kedatangan Ayah waktu itu benar-benar bikin kamu kaget dan marah. Sikap kamu waktu itu, kakak nggak bisa nyalahin kamu." Suara Mira mulai menjadi serak.
"Kakak ... kakak yang salah. Kakak nggak bisa jagain kamu, kakak nggak bisa jaga ... jagain Ibu."
Mira pun mulai menangis sesenggukan. Kara sebenarnya sedih melihat kondisi kakaknya, terlebih lagi setelah pengakuan bahwa Mira menyalahkan dirinya sendiri. Tetapi ego Kara masih mengendalikannya, Ia masih tetap duduk diam tak mengeluarkan suara.
"Maafin kakak. Maafin kakak, Kara. Kakak yang salah. Maaf ... maaf."
Sudah Kara tidak bisa menahan dirinya lagi, Ia berdiri lalu berjalan memutari meja menuju sang kakak.
Kara memeluk Mira sambil mengelus-ngelus punggungnya, "maafin Kara, Kak. Kara yang udah keterlaluan. Kara seharusnya jagain kakak, tapi Kara malah bikin kakak sedih. Maafin Kara, Kak."
Mereka pun saling memeluk dan berusaha untuk saling menguatkan satu sama lain seperti yang mereka lakukan sejak bertahun-tahun yang lalu.

ㆀㆀㆀ


Suasana di antara Kara dan Mira mulai kembali seperti biasa setelah percakapan kemarin. Tak ada lagi pembicaraan singkat atau hening yang menyelimuti saat mereka duduk di ruang yang sama.
Perasaan Mira menjadi tenang ditambah lagi laporan PKL-nya yang langsung diterima dosen hanya dengan satu kali revisi.
Kini Mira sedang dalam perjalanan pulang dari kampus. Ia menggunakan sepeda motor second yang Ia beli beberapa bulan lalu dari tabungan gajinya. Dahulu Mira adalah mahasiswa yang mendapat beasiswa bisikmisi. Tetapi beasiswa tersebut dicabut pihak kampus karena Ia ketahuan bekerja paruh waktu. Mira tidak bisa marah saat itu, Ia hanya kecewa karena pendapatan untuk menghidupi dirinya dan Kara akan berkurang. Tetapi itulah hidup, layak atau tidak, Mira akan selalu mencari alasan untuk bertahan.
Saat berbelok di tikungan masuk ke dalam perumahan rumahnya, Ia melihat Kara yang sedang berjalan pulang dari sekolahnya.
"Kara!" panggil Mira. "Ayo."
Kara pun langsung naik ke atas motor, selama diperjalanan mereka hanya berbincang-bincang ringan. Tetapi pembicaraan mereka terhenti saat melihat keramaian tepat di depan rumah mereka.
"Kara, itu kok rumah kita ramai-ramai!" ujar Mira panik terlebih lagi di sana juga terparkir sebuah mobil polisi.
"Itu beneran di rumah kita?" Kara juga bertanya dengan panik.
Mira mempercepat laju motor nya, ia benar-benar dilanda kebingungan dan juga panik. Ia tak tahu mengapa banyak warga dan juga polisi-polisi yang berkumpul di rumahnya.
Setelah sampai, Mira menepikan motornya lalu berjalan cepat membelah kerumunan warga yang juga diikuti oleh Kara.
"Permisi, Pak polisi. Maaf, ini ada apa ya?" Mira bertanya ke seorang polisi yang berdiri
"Apa benar ini dengan Mbak Almaheera Warsana yang tinggal di rumah ini?" tanya polisi lain.
Mira pun menganggukan kepalanya, "iya benar."
"Kami tadi mendapat panggilan bahwa ada kasus bunuh diri yang terjadi di dalam pekarangan rumah kalian."
Mira dan Kara langsung terkejut mendengar jawaban dari sang polisi, "bu- bunuh diri? Tapi siapa? Kami hanya tinggal berdua, Pak!"
"Dari kartu identitasnya, korban bernama Surya Warsana."
Seakan ribuan belati menusuk hati Mira, ia benar-benar tak percaya dengan pernyataan polisi tersebut. Mira dan Kara langsung melesat masuk ke dalam halaman rumah mereka, dan melihat tubuh yang ditutupi sehelai kain.
Setelah mengumpulkan keberanian, Mira perlahan menyibak kain tersebut. Dan benar saja, Surya Warsana, ayah kandung Mira dan Kara tewas bunuh diri dengan tangan yang masih mengucurkan darah.
"A-ayah." Kontan saja Mira menangis sesenggukan di dalam pelukan Kara.
Lagi, mereka harus saling menguatkan atas peristiwa yang menimpa.
Setelah Mira meregangkan pelukannya, Kara berbicara kepada polisi.
"Beliau adalah ayah kandung kami, dia telah meninggalkan kami bertahun-tahun sejak kami kecil. Beliau jugalah pelaku yang membunuh ibu kami."
Beberapa polisi yang mendengarkan pernyataan Kara langsung menampilkan ekspresi terkejut dan tak percaya.
Seorang polisi lainnya yang rambutnya sudah memutih karena usia, bertanya kepada Kara, "saya baru ingat. Apa ini adalah keluarga korban yang sepuluh tahun lalu Ibunya tak sengaja terbunuh oleh ayah mereka?"
Kara pun mengangguk.
Sepertinya polisi itu adalah polisi senior, dia mengingat kasus tragis yang terjadi sepuluh tahun lampau dalam keluarga Warsana. Polisi tersebut pun menghela napas lalu berjalan menjauh untuk menelfon atasannya.
Surya Warsana, setelah sepuluh tahun menghilang dan tak bertanggung jawab atas kasus maupun anak-anaknya, ditemukan tewas bunuh diri. Diduga ia memotong lengannya menggunakan pisau yang ada di tangannya yang lain.

ㆀㆀㆀ

•) Update setiap hari jumat🐋
•) Vote dan kritik saran kalian sangat dinanti💕

The OrphansTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang