Acht

0 0 0
                                    

Membantu bukanlah tentang imbalan apa yang akan kita dapat, membantu adalah tentang bagaimana jika kita yang membutuhkan bantuan.

ㆀㆀㆀ

"Mira, kamu ... mau temenin aku ke koperasi?"
Mira langsung mengangguk, "ayo"
Mereka pun berjalan menyusuri tiap koridor menuju koperasi dalam diam. Mira tak tahu ingin melontarkan kalimat apa lagi untuk memulai percakapan, dan Hema juga hanya diam, berjalan sambil menunduk.
Mira juga tak habis pikir, untuk apa merundung seseorang? Kepuasan seperti apa yang para pelaku dapatkan sehingga mereka memilih untuk melakukan sesuatu yang sangat jahat. Entahlah, Mira hanya bisa berdoa semoga tak ada lagi kasus-kasus perundungan di sekolahnya atau di mana pun.
Sesampainya di koperasi, Mira melihat hanya ada Bu Neci penjaga sekolah yang sedang merapikan tumpukan alat-alat tulis.
"Pagi, Bu," sapa Mira.
Bu Neci langsung menengok, "oh Nak Mira, mau beli apa?"
Mira melirik ke arah Hema yang sedang menatap ruangan koperasi, ia terlihat seperti belum pernah masuk ke ruangan itu.
Bu Neci ikut melirik Hema, dan benar saja. Bu Neci terkejut melihat kondisi celana Hema.
"Onde Mande, baa kok sarawanyo kumuah bana!" Dan, ya. Keluarlah bahasa minang Bu Neci.
Mira yang cukup sering berkomunikasi dengan Bu Neci bisa mengerti maksudnya. Sedangkan Hema hanya diam dan menampilkan ekspresi terkejut dan bingung.
"Kata Bu Neci, 'aduh, kenapa celananya kotor banget', kurang lebih gitu," jelas Mira sambil meniru gaya bicara Bu Neci.
Hema menjawab dengan suara kecil, "ah, tadi ... jatuh, Bu."
"Tajatuah? Lain kali hati-hati lah bajalan, caliak lah tu ha sarawanyo, jadi kumuah bana."
Mira kembali menerjemahkan ucapan Bu Neci, "kata Bu Neci, 'jatuh? Lain kali hati-hati pas jalan, lihat celananya, jadi kotor banget,' kurang lebih gitu."
Hema hanya mengangguk patuh.
"Jadi ... mau beli apa?"
"Dia mau beli celana ganti, Bu," jawab Mira sambil melirik ke arah Hema.
Hema kembali mengangguk untuk kedua kalinya.
"Ke sini, pilih ukuran yang mana," ajak Bu Neci ke Hema menuju ruangan khusus menaruh stok barang yang dijual di koperasi.
Selagi Hema memilih, Bu Neci kembali lalu bertanya ke Mira
"Nak Mira, kenapa dia bisa jatuh begitu?"
"Dia, em, dirudung."
"Onde mande! Dirudung?"
Mira mengangguk, sedangkan Bu Neci hanya menghela napas.
"Tak habis pikir, kenapa mereka merundung anak baik seperti dia," ujar Bu Neci lalu berjalan ke arah Hema.
"Sudah dapat?"
Hema mengangguk lalu menunjukkan celana yang akan dia beli.
"Ganti di sini saja, tutup pintu itu ya."
Hema kembali mengangguk, "iya, Bu."
Bu Neci pun keluar lalu duduk di kursi samping Mira untuk menunggu Hema berganti celana.

ㆀㆀㆀ

Keesokan harinya, Mira dipanggil oleh Pak Nor untuk membantunya membereskan buku-buku di perpustakaan yang baru datang. Jam terakhir memang sedang kosong. Karena seluruh guru yang mengajar kelas sebelas sedang rapat.
Sejak kelas 10 dahulu, Mira sering dimintai tolong oleh Pak Nor. Namun, karena Pak Nor tahu Mira adalah yatim piatu dan bekerja, ia juga sering memberikan imbalan kepada Mira walau Mira sering menolaknya.
Pak Nor sudah seperti ayah Mira di sekolah, sedangkan Bu Neci layaknya ibu Mira. Mereka selalu memberi kasih sayang, mendidik, juga membantu kesulitan Mira. Entah itu dalam masalahnya di sekolah, atau memberi sedikit rezeki kepada Mira dan adiknya.
"Pak Nor, buku cetak kelas sebelas mau diganti ya?"
"Iya, buku cetak yang kalian pakai sudah terbitan lama. Jadinya dinas pendidikan kasih kita buku-buku baru untuk gantinya. Materinya sama saja, tapi ya, sudah direvisi jadi lebih baik lagi."
Pak Nor menambahkan, "tapi ya, bukunya belum datang semua. Harus melewati banyak tahapan dulu, yang sekarang saja baru ada empat mata pelajaran IPA, dan tiga pelajaran IPS."
Mira mengangguk-angguk mengerti.
Pak Nor sendiri hampir menginjak 60 tahun. Berkulit sawo matang, dengan kumis tebal yang meruncing diujung-ujung layaknya para pewayang. Tak heran, Pak Nor memang berasal dari daerah Jawa.
Saat Mira dan Pak Nor melanjutkan pekerjaan mereka, tiba-tiba terdengar pintu perpustakaan yang diketuk, lalu masuklah seorang siswa.
"Hema?"
"Eh, Mira."
Hema juga sama terkejutnya melihat Mira yang sedang menyusun buku-buku di rak. Sedangkan Pak Nor hanya diam melanjutkan catatan buku-buku yang ada.
"Kamu mau pinjam buku?" tanya Mira.
"Rencananya, iya."
Sebenarnya Mira cukup senang, Hema tak terlalu hemat kata seperti kemarin.
Mira mengangguk-angguk. "Kalau mau pinjam komik, novel, atau buku nonfiksi lainnya ada di rak sana," tunjuk Mira.
Hema mengangguk, "kamu sendiri ... lagi ngapain?"
"Ah? Oh ... lagi nyusun buku-buku yang baru datang," jawab Mira sambil tersenyum.
"Aku ... boleh bantu nggak?"
"Mau? Boleh boleh, sini!"
Hema pun langsung duduk di samping Mira sambil tersenyum tipis.
"Aku bantu apa?"
"Di halaman terdepan udah ada kode buku, kamu tulis ulang di samping buku kayak gini," jelas Mira sambil memperlihatkan contoh buku yang sudah diberi kode.
"Tulisnya pakai spidol ini, kalau udah selesai tumpuk di sini biar aku susun di rak."
Hema mengangguk mengerti dan langusung mengerjakan apa yang dicontohkan Mira. Mira ikut memperhatikan pekerjaan Hema untuk memastikan Hema melakukannnya dengan benar.
"Nah iya, kayak gitu."
"Gampang ya," ujar Hema sambil menulis.
"Iya gampang, tapi banyak," ujar Mira sambil mengarahkan telunjuknya ke tumpukan dus berisi buku-buku.
Mira pun tergelak melihat raut wajah Hema yang seperti menciut, "tenang aja. Itu nggak harus selesai hari ini kok."
Hema menoleh ke Mira, "aku kira harus selesiai hari ini."
"Enggak, ya kali. Patah tulang aku kalau kayak gitu," ringis Mira lalu tergelak. Hema pun ikut-ikutan tergelak.
Pak Nor yang sejak yadi memperhatikan interaksi Mira dan Hema hanya tersenyum dan geleng-geleng.
"Mira, bapak mau keluar dulu sebentar ya. Kalau capek kalian istirahat dulu aja."
Mira dan Hema mengangguk bersama, "iya, Pak Nor."
"Pak Nor itu orang Jawa atau Malaysia ya?" tanya Hema.
Kontan saja Mira tergelak setelah mendengar pertanyaan Hema, "aku udah duga kamu bakal nanya itu.
"Pak Nor itu orang Jawa, tapi lahir dan lama tinggal di Malaysia. Itulah kenapa nama Pak Nor mirip nama orang Malaysia. Tapi pas sekitar umur 15 tahun, Pak Nor balik lagi ke Indonesia. Cerita Pak Nor sih begitu," lanjut Mira.
"Oh gitu."
Setelahnya mereka kembali melanjutkan pekerjaan mereka dalam diam, paling tidak sampai ....
"TUGAS AKU!" pekik Mira.
Ia benar-benar melupakan sepuluh buah soal fisika yang harus dikumpulkan saat jam pulang nanti.
"Aduh, PR-nya fisika lagi, mana banyak. Kenapa juga anak IPS harus belajar fisika," monolog Mira lalu mencebik.
"Ada ... berapa soal?" tanya Hema.
Mira langsung melirik Hema lalu menjawab dengan raut wajah kusut, "sepuluh. Baru dikasih tadi, tapi nanti pas pulang harus dikumpul."
"Mau aku bantu?"
Mira terdiam sebentar, Ia teringat kalau Hema adalah anak IPA. "Boleh?"
Hema mengangguk lalu tersenyum.
Kedua mata Mira pun berbinar, "makasih ya!"
Mira langsung mengambil tas sandangnya yang mulai robek-robek termakan usia. Maklum saja, tas itu sudah Ia gunakan selama tujuh tahun.
Mira mengeluarkan buku tulis beserta buku cetak fisika lalu membawanya ke arah Hema.
"Soalnya sih pilihan ganda, tapi disuruh buat jalan juga." Mira berujar sambil memperlihatkan kesepuluh soal fisika di buku cetak kepada Hema.
"Oh ini ... kelas aku udah selesai, udah dinilai juga. Kamu mau lihat?" tawar Hema.
"Boleh?"
"Iya, boleh kok."
Hema juga ikut mengeluarkan buku tulisnya lalu memberikannya kepada Mira.
"Kamu kerjain aja dulu, biar aku bantu susun ini di rak."
"Aduh, jadi ngerepotin kan. Maaf banget ya," ringis Mira.
"Santai aja, buruan kerjain. Empat puluh menit lagi jam pulang, lho."
Mira pun langsung menulis setiap soal, jawaban, beserta jalannya dari buku Hema ke buku miliknya. Bisa dibilang Mira tak pernah menyontek seluruh jawaban orang lain seperti ini. Tetapi dengan waktu yang sangat singkat dan banyaknya soal fisika yang harus dikerjakan, Mira tak punya alasan lain.

ㆀㆀㆀ

•) Update setiap hari jumat🐋
•) Vote dan kritik saran kalian sangat dinanti💕

The OrphansTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang