⚜️ {04} Haedar Dan Kesendiriannya⚜️

89 16 0
                                    

Orion dan Jefri sudah tiba di rumah mereka dan langsung di sambut oleh Yuna dengan tatapan khawatir ketika melihat Orion di papah oleh Jefri.

"Loh Jef, adek kamu kenapa?" tanya Yuna sembari membantu Orion berjalan dan mendudukkan putranya di sofa.

Jefri hendak menjawab, namun Orion segera menyelanya. "Tadi aku keseleo, Ma. Tapi udah ga lumayan sakit kok, Bang Jefri nya aja yang lebay pake acara di papah segala padahal kaki aku udah ga papa."

Jefri langsung memberikan deathglare nya pada Orion, tapi sayangnya Orion tidak peduli. Buktinya ia mengabaikan tatapan yang dilayangkan Jefri padanya.

Yuna menghembuskan nafas lega setelah mendengar penjelasan Orion kekhawatirannya sedikit mereda.

"Ya udah kalo gitu Mama panggilkan tukang urut ya."

"Ga usah Ma," tolak Orion panik. "Kaki aku udah ga papa kok."

"Serius?" tanya Yuna tidak percaya.

Orion mengangguk pasti. "Iya, kalo gitu aku ke kamar dulu ya," pamit Orion sembari berdiri dari duduknya.

"Mau gue bantu?" tawar Jefri membuat Orion merotasikan bola matanya.

"Gue bisa sendiri," jawab Orion kemudian dengan langkah sedikit kesulitan ia pun pergi menuju kamarnya yang ada di lantai 2.

Yuna menatap kepergian putra keduanya dengan sendu. "Ori seriusan ga papa 'kan?" tanya Yuna pada putra sulungnya.

Jefri tersenyum menenangkan kemudian mengusap punggung Sang ibu. "Mama ga usah khawatir, dia baik-baik aja kok. Kalo gitu Jefri juga ke kamar dulu ya." Setelah mendapatkan anggukan, Jefri pun pergi ke kamarnya yang berdampingan dengan kamar Orion.

Kembali lagi pada Orion, kini pemuda itu tengah duduk di samping ranjang miliknya dengan kaki kiri yang diselonjorkan sedangkan kaki kanan di tekuk. Dengan perlahan ia pun menggulung celana jeans hitamnya sampai lutut, ringisan refleks keluar ketika melihat lebam keunguan di tulang keringnya yang putih pucat, pantas saja rasanya sakit. Begitulah pikir Orion. Tendangan Javin tadi memang sangat keras jadi tidak heran kalo meninggalkan lebam.

Setelah melihat kaki kanannya, Orion pun beralih pada kaki kiri, hembusan nafas lega keluar dari mulut Orion ketika melihat keadaan kaki kirinya. Setidaknya kaki kirinya tidak separah kaki kanan.

Orion pun membuka laci nakas paling bawah yang ada di sampingnya dan mengambil salep luka, kemudian ia pun mengoleskannya ke atas lebam. Setelah selesai Orion mengembalikan salep tersebut ke tempat semula.

Tak ada yang dilakukan Orion setelahnya, ia hanya terdiam dengan kepala yang yang menengadah menatap langit-langit kamar. Pikirannya menerawang jauh pada kejadian di rumah sakit tadi, lagi-lagi ia membuat Javin marah.

Ia jadi teringat pada kejadian setengah tahun yang lalu dimana ia juga membuat Javin murka karena perkataannya yang meminta Javin untuk mengikhlaskan kepergian Rei dan Bang Marcell dan itulah yang menjadi muasal Orion tidak pernah menemui Javin karena ia tidak mau membuat mental Javin terganggu.

Tapi nyatanya kejadian yang ingin ia hindari kembali terjadi dan jujur ia merasa menjadi sahabat yang tidak berguna yang hanya dapat menambah beban tanpa bisa membantu apa-apa baik untuk Javin maupun Haedar.

Membicarakan tentang Haedar, ia sudah lama tidak mengunjungi rumahnya mungkin bila dia ke sana, kesedihan Orion bisa menghilang.

Melirik sejenak jam weker diatas nakas yang menunjukan pukul 10.04 WIB, Orion pun langsung merogoh ponselnya yang ada di saku jaket yang ia kenakan, membuka aplikasi chat berwarna hijau lalu mengirimkan pesan pada ibu dari sahabatnya itu. Ia jelas harus memberitahu kedatangannya ke rumah Haedar karena ditakutkan Haedar dan keluarganya sedang tidak ada di rumah.

UTOPIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang