Chapter 9: Not a Perfect Life

417 68 7
                                    

Kehidupan Winter di Amerika tentu saja lebih dari cukup. Ayahnya memiliki rumah yang besar dan kehidupan ekonomi yang di atas rata-rata. Winter diberikan fasilitas yang sangat baik dan disekolahkan di Manhattan School of Music, salah satu sekolah musik terbaik di New York. Semuanya tampak sempurna tapi tidak dengan kehidupannya di rumah. Ia harus bertemu dengan ibu dan saudara tirinya. Ibu tirinya sudah memiliki anak perempuan sebelum menikah dengan ayahnya. Ibu tirinya jelas tidak suka ketika ayahnya membawa Winter untuk tinggal bersamanya. Ayahnya selalu memaksa mereka untuk makan bersama-sama di meja makan. Ia melakukan itu untuk mengakrabkan Winter dengan keluarga barunya. Namun, hal itu malah membuat Winter semakin stress.

Pagi itu ada pagi biasanya dimana semua anggota keluarga sudah berkumpul di meja makan. Winter selalu yang paling terlambat karena ia malas.

"Pagi, Nak." Sapa Ayahnya.

"Pagi." Balasnya datar.

"Bangun kok siang banget." Komentar ibu tirinya, "Ga kaya Karina, ia sudah bangun pagi-pagi dan ikut nyiapin sarapan."

Winter hanya memutar bola matanya tidak peduli.

"Ya ada baiknya kamu bangun lebih pagi, Winter. Bantu buat sarapan juga." Ucap Ayahnya.

Yah, memang ayahnya lebih membela ibu dan saudara tirinya. Winter tidak heran. Ayahnya sampai selingkuh, sudah pasti ia lebih menyayangi istrinya yang sekarang dan juga Karina.

"Kan udah ada Karina, buat apa aku bantu lagi?" Jawab Winter.

"Yeobo, lihat anakmu ini nakal sekali. Beda dengan Karina yang penurut dan manis." Ucap ibu tirinya.

Winter tertawa kecil. Dasar wanita jalang, siapa di sini yang lebih nakal sampai merebut suami orang? Winter mengambil rotinya, mengolesinya dengan selai dan menggigitnya.

"Aku berangkat." Ucap Winter lalu pergi begitu saja.

Beginilah kehidupan sehari-hari Winter di New York. Ia selalu dibanding-bandingkan dengan Karina, saudara tirinya. Mereka hampir seumuran hanya berbeda satu tahun. Mungkin Winter adalah anak kandung dari ayahnya, tapi ia bisa melihat jelas kalau ayahnya lebih menyayangi Karina. Lalu mengapa ayahnya bersikeras untuk membawanya ke sini? Winter benar-benar tidak mengerti. Ia sebenarnya hanya perlu bersabar. Kalau ia lulus dan sudah bisa mandiri, ia akan kembali lagi ke Korea dan akan hidup bersama Jaemin.

Jaemin... laki-laki yang setiap saat ia rindukan. Mungkin ia akan lebih kuat dan sabar kalau ada Jaemin di sisinya sekarang. Namun, hal itu tidak mungkin. Mereka terpisah ribuan kilometer dan tidak mudah bagi mereka untuk bertemu begitu saja.

Winter mengecek ponselnya. Sudah ritual bagi Winter dan Jaemin untuk menelepon atau video call. Tidak ada chat dari Jaemin, jadi Winter langsung meneleponnya.

"Kenapa belum ngabarin apa-apa." Ujar Winter begitu Jaemin mengangkat teleponnya.

"Maaf ketiduran." Jawab Jaemin yang memang baru saja bangun. Rambutnya acak-acakan dan wajahnya terlihat masih mengantuk.

"Sebelum tidur bisa kali kirim chat atau apa." Ujar Winter ketus.

"Iya, Gongjunim. Maaf." Ujar Jaemin sambil tersenyum. Senyum yang selalu meluluhkan hati Winter.

"Yaudah." Kata Winter yang tidak jadi marah.

"Kamu lagi dimana?" Tanya Jaemin.

"Aku lagi di kampus nunggu kuliah." Jawab Winter.

"Kamu keliatannya murung gitu. Kenapa?"

"Biasalah..."

"Masalah ibu dan saudara tiri kamu?"

Winter SummerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang