"Aku mau telor ceplok setengah matang bu". Wafi putra ketiga Palupi yang duduk di kelas 3 SD, memesan menu sarapan. Sementara tangannya sibuk memeganh handuk untuk mengeringkan kepalanya.
"Aku mau nasi goreng sosis". Mufti putra kedua bersekolah kelas 5 SD tidak mau ketinggalan. Mengingatkan sang Ibu menu sarapan yang sudah dipesan sejak semalam.
"Aku omlet mie ya bu". Salsabila putri sulung yang duduk di bangku SMP kelas 9 juga turut meneriakkan apa yang diinginkannya untuk sarapan.
"Teh, bu". Anggoro suami Palupi dengan suaranya yang khas memecah kericuhan pagi itu. Semua terdiam saat mendengar suara sang Ayah.
"Ya, pakai baju dulu, sisiran yang rapih. Ibu tunggu di meja makan".
Semua sibuk mempersiapkan diri. Sementara Palupi menata meja makan untuk sarapan sesuai menu yang dipesan sang anak-anaknya.
Palupi menikah dengan Anggoro dan dikaruniai tiga anak. Pernikahan mereka tergolong harmonis dan tidak pernah ada masalah berat yang mengganggu. Anggoro mengerti posisi Palupi sebagai anak pertama yang menjadi tumpuan keluarganya. Sementara Palupi juga menyadari posisinya sebagai ibu rumah tangga, selalu berusaha patuh dan taat kepada sang suami. Selain itu Palupi tidak ingin sang anak kehilangan sosok ayah seperti yang dialaminya. Berperan sebagai istri yang baik.
"Nanti Ayah mau pergi ke perkebunan, pulang sore. Jangan lupa siang nanti pergi ke rumah Wanti, antarkan uang gajiannya. Suaminya sakit. Butuh uang untuk berobat". Anggoro memberi pesan kepada Palupi.
"Nanti ada rapat sampai siang. Tapi nanti tak usahakan izin dulu ke rumah Wanti". Palupi enggan melaksanakan perintah suami tetapi tidak berani menolak.
"Ayo anak-anak, selesaikan sarapannya. Berangkat bareng Ayah".
Setelah suami dan anak-anak berangkat. Palupi segera membereskan ala kadar meja makan. Terburu-buru dia berangkat ke sekolah. Sebenarnya Anggoro tidak pernah melarang semua aktifitas Palupi di sekolah. Dia bangga dengan sang istri yang mandiri. Sebagai guru Palupi termasuk dalam jajaran guru yang dihormati dan disegani di sekolah. Tetapi di rumah semua berbalik. Palupi seolah menghindari semua kemungkinan konflik dengan menghindar dan diam.
Pernah pada suatu hari, keluarga mereka ingin mengunjungi orang tua Anggoro. Palupi berniat menyiapkan berbagai oleh-oleh dan masakan kesukaan mertuanya. Pagi-pagi sekali Palupi sudah sibuk di dapur. Saat sang suami melihat itu semua, dia menegur dan menyuruh Palupi berhenti. Anggoro tidak mengizinkan Palupi masak lagi, dan disuruhnya bersiap untuk pergi. Oleh-oleh akan di beli dalam perjalanan berangkat. Mendengar perintah suami, Palupi tidak bisa berbuat banyak selain memasukkan semua bahan baku dalam lemari pendingin. Hilang sudah rasa antusias yang sejak semalam dirasakan Palupi. Disimpannya kembali tumpukan rantang yang sedianya untuk wadah pempek dan opor ayam ke dalam lemari.
Rumah Palupi hangat bagi orang-orang yang melihat dari luar. Terdengar kidung merdu yang mendayu dari rumah itu. Tetapi kidung itu selalu sama tidak pernah berganti irama. Palupi selalu mengikuti kidung itu. Tidak pernah mengganti kidung atau menciptakan kidungnya sendiri. Seakan bila kidung itu berganti kehangatan di rumah itu akan sirna. Tiada pilihan lain selain mengikuti kidung.
KAMU SEDANG MEMBACA
KIDUNG LEMATANG
AdventureSejuk, damai dan menenangkan. Suara Lematang laksana kidung yang menenangkan. Diantara gemuruh masalah dan pekerjaan yang menghantam. Kidung itu mampu meredam sekaligus menghadirkan nuansa yang selalu dirindukan. Sang Pendamping berjuang menyelesaik...