"Sebagai seorang guru kita harus bisa memberikan pembelajaran yang menyenangkan dan membahagiakan murid. Pembelajaran yang kita lakukan harus berpihak kepada murid. Tiap mereka memiliki potensi dan keunikan masing-masing. Harus kita dukung agar mereka bisa berkembang sesuai potensi yang dimiliki. Sudah menjadi tugas kota untuk menggiring murid agar menjadi lebih maju. Tidak hanya sebagai penghafal buku, tetapi bagaimana mereka mampu berfikir kritis dalam menyelesaikan permasalahan yang ada. Tugas berat ada di pundak kita. Mari bersama kita menjalankan tugas ini".
Tepuk tangan membahana di seluruh ruang rapat saat Palupi menyelesaikan sambutannya. Sebagai wakil kepala sekolah sudah menjadi tugasnya untuk memberi masukan dan arahan kepada para guru dalam melakukan pembelajaran di kelas. Palupi menjalankan perannya dengan baik.
"Mbak Upi, nanti makan siang bareng ya?" Ria salah satu junior di sekolah menghampiri sambil tersenyum lebar.
"Duh, sogokannya makan siang". Palupi menjawab dengan senyum tak kalah lebar.
"Adikmu ini baru mampu nyogok makan siang mbak. Terimakasih sudah membantu memecahkan masalahku."
"Setiap masalah pasti ada solusinya dek. Mbak mau beberes dulu ya. Nanti mbak susul ke kantin". Palupi mendahului Ria berbelok menuju ruang kerjanya.
"Siap mb. Ria duluan".
Memasuki ruang kerjanya, ternyata Palupi sudah ditunggu oleh pak Sudarmaji.
"Bapak, sudah lama menunggu? Tadi ngobrol dulu dengan Ria." Palupi tersenyum ramah dengan Pak Sudarmaji.
"Tidak, belum terlalu lama".
"Ada apa Pak, sepertinya ada hal serius yang ingin dibicarakan?"
"Begini nduk. Bapak tidak mau mengajar di kelas XI IPS 4. Kelas itu anak-anaknya bandel, sering terlambat masuk kelas. Tidak mau kerjakan PR. Rambutnya gondrong. Kelasnya jorok. Bapak tidak mau ngajar di kelas itu. Bapak mau mengajar di kelas XI IPA 1 saja. Anaknya pandai-pandai". Pak Sudarmaji menceritakan kegalauan hatinya yang sejak tadi rapat diberlangsung sudah ditahannya.
"Pak, bukankah kenakalan anak-anak itu masih wajar? Mereka hanya mencari perhatian. Sebenarnya mereka pandai, baik dan motivasi belajarnya tinggi". Palupi berusaha membujuk Pak Sudarmaji yang tampak memerah wajahnya menahan luapan emosi.
"Tidak, Bapak tidak mau. Anak-anak itu sudah kurang ajar nduk. Bapak cuma minta pindah kelas mengajar. Bapak ingin mengajar dengan tenang. Apakah kamu tidak bisa mengabulkan keinginan Bapak ini? Kalau kamu tidak bisa, Bapak akan menghadap Kepala Sekolah saja. Percuma punya murid seperti kamu, tidak bisa diandalkan."
Pak Sudarmaji merupakan guru Sejarah Palupi. Dahulu Palupi alumni di sekolah dimana sekarang dia mengajar. Sehingga beberapa rekan guru merupakan gurunya dahulu. Sehingga hubungan mereka lebih erat dibanding lainnya. Terutama Pak Sudarmaji dimana telah dianggap Palupi sebagai figur pengganti Ayahnya yang telah tiada. Melihat kemarahan di wajah pak Sudarmaji, Palupi luluh dan tidak bisa melakukan apapun selain meloloskan keinginannya.
"Njih Bapak. Baik. Upi akan ubah jadwal mengajar yang sudah ada. Tetapi mohon bersabar sedikit. Karena Palupi harus menghubungi beberapa guru terkait perubahan jadwal ini".
"Nah itu, baru murid kebanggaanku. Inget, Bapak tidak mau mengajar di hari Jumat dan Sabtu".
"Baik pak, akan Palupi coba dulu".
" Ya, sudah. Bapak mau pulang kalau gitu."
"Hati-hati di jalan Pak".
Palupi menghela nafas panjang. Mengawasi punggung Pak Sudarmaji yang pergi menjauh. Selalu saja kalah dan lemah menghadapi sang Bapak. Walau keinginannya salah tetapi Palupi tidak bisa berkutik. Palupi lemah dalam hal ini. Kidung pagi sudah berlalu. Menghadirkan kidung siang yang menyengat, membakar kepala. Kidung siang ini tidak disukai Palupi. Tetapi kidung itu tetapi disenandungkan. Walau tanpa diiringi musik yang merdu.
KAMU SEDANG MEMBACA
KIDUNG LEMATANG
AdventureSejuk, damai dan menenangkan. Suara Lematang laksana kidung yang menenangkan. Diantara gemuruh masalah dan pekerjaan yang menghantam. Kidung itu mampu meredam sekaligus menghadirkan nuansa yang selalu dirindukan. Sang Pendamping berjuang menyelesaik...