Sudah lebih satu bulan suami Pipit tetangga depan rumah berpulang. Ada perubahan drastis pada rumah itu. Biasanya saat pengajian mingguan Pipit paling rajin hadir, begitu juga saat acara rutin Dasawisma komplek. Pipit paling semangat dan selalu membawa aneka panganan hasil praktek resep baru untuk sekedar icip-icip. Saat pengajian duduk paling depan dan antusias mendengarkan ceramah bu Ustadzah. Kini semua berbeda.
Beredar kabar kalau Pipit mengalami kesulitan keuangan. Suaminya pergi dengan meninggalkan cicilan bank untuk rumah yang mereka tempati. Satu-satunya sumber pengahasilan hanya dari gaji sang suami sebagai staf keuangan di salah satu perusahaan swasta. Kini mereka hanya hidup dari sisa uang bela sungkawa dan tunjangan dari kantor yang sebentar lagi habis. Terakhir kali bertemu, wajah Pipit tampak murung dan kuyuh. Beban ini begitu berat untuknya. Sore ini Palupi berniat untuk main ke rumah Pipit untuk menengok tetangganya itu. Sekalian memberikan beberapa cemilan untuk anak-anaknya.
"Gimana kabarnya Jeng, kemarin kok tidak datang pengajian?" Palupi membuka percakapan setelah dipersilahkan masuk rumah oleh Palupi. Tampak rumah itu lengang. Beberapa pajangan yang biasa menghiasi ruang tamu tidak tampak. Pipit merupakan seorang yang suka membuat kerajinan dan aneka panganan. Beberapa kerajinan tangan mewah seperti bungan, wadah tisu dan lainnya menghiasi ruang tamu dan membuat beberapa iri karena kalau mereka beli harganya tidak murah. Pipit berhasil membuat sendiri dengan biaya murah.
"Beginilah keadaanku Jeng. Berkumpul dengan teman-teman di pengajian aku tidak sanggup. Aku belum bayar uang kas. Belum hilang sedihku kehilangan suami. Tapi sudah ditambah masalah baru. Aku tidak sanggup melewatinya sendiri jeng." Pecahlah tangis Pipit di pelukan Palupi. Ditunggunya oleh Palupi sampai tangis Pipit mereda sebelum melanjutkan percakapan.
"Manusia diuji hanya jika mereka kuat. Allah tidak mungkin memberi ujian jika Jeng Pipit tidak kuat."
"Aku bingung, pemasukan tidak ada. Tetapi uang sekolah, cicilan rumah, mengirim uang orang tua di kampung. Hanya mengandalkan sisa tabungan dan uang tunjangan kantor. Itu tidak akan cukup." Pipit mengusap wajahnya membayangkan saldo tabungan yang menipis. Sementara minggu depan jadwal untuk mengirim uang bulanan ke orang tua di kampung. Sebagai anak tertua suami mengambil tanggung jawab mengirimi orang tua uang bulanan. Biasanya uang itu akan digunakan sang mertua untuk kebutuhan bulanan dan membiayai kuliah sang adik.
"Apa Jeng Pipit dan suami tidak punya penghasilan lain atau investasi?"
"Ini salahku Jeng Upi. Seharusnya aku tidak bergantung sepenuhnya dengan suami. Suami pernah bilang dia membeli kebun karet di kampung, tapi saat ini belum menghasilkan. Belum waktunya digarap. Kebun itu rencana untuk persiapan kuliah anak-anak. Sekarang aku musti gimana Jeng."
"Tidak ada salahnya, masalah kebun di komunikasikan dengan mertua agar jelas. Untuk masalah keuangan. Bagaimana kalau Jeng Pipit jualan makanan dan kerajinan saja. Kue-kue yang sering Jeng buat itu enak lho, bisa dijual. Atau bikin kerajinan pajangan bunga, tempat tisu seperti biasa Jeng buat itu. Biasa dipajang di meja tamu kan ya? Ibu-ibu komplek pada suka lho."
"Ia, kemarin pajangan bunga dan tempat tisu saya jual ke bu RT. Uangnya mau saya kirim ke mertua. Untuk jualan aku ga punya modal buat sewa toko jeng."
"Masalah sewa toko gampang. Bisa jualan online dulu. Kalau udh cukup uangnya baru sewa toko."
"Apa aku bisa jualan online. Aku malu jeng."
"Semua bisa dipelajari. Kenapa musti malu. Toh, tidak mencuri. Nanti saya bantu promosi. Kebetulan lusa di sekolah ada rapat, saya pesen snack box nya 50 ya"
"Alhamdulillah, terimakasih jeng. Aku akan coba buat. Aku pikir dunia kiamat saat suami meninggal. Berat sekali. Cerita begini beban saya berkurang. Terimakasih Jeng."
"Sama-sama"
Malam itu mata Palupi sulit terpejam. Terbayang wajah Pipit. Bagaimana rasanya kehilangam suami, berat sekali. Selama ini dia tidak pernah mau mengalami hal yang dirasakan Mamanya. Hal yang saat ini dirasakan Pipit. Kehilangan merupakan hal yang sulit untuk diterima. Tetapi kehilangan juga tidak dapat dihindari. Allah sudah mengatur skenario terbaik. Tapi Palupi merasa tidak mau kembali ke masa itu.
Tangisan Pipit terus terdengar ditelinganya. Begitu memilukan. Tiba-tiba Palupi seperti tersadar bahwa tidak ada yang tau kedepan akan seperti apa. Dia harus menerima semua kemungkinan yang akan terjadi.
Kidung malam ini begitu menyedihkan. Bintang seolah-olah mengoreskan syair pilu yang menyayat hati. Sang rembulan turun memberikan kesedihan dengan sinarnya yang redup. Seolah belum cukup. Kidung sedh itu diiringi rintik hujan. Seolah alam turut bersedih mendengarkan kidung sang bayu malam ini. Kidung sedih yang mengalun syahdu dikeremangan malam yang diselimuti dingin sang hujan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KIDUNG LEMATANG
AdventureSejuk, damai dan menenangkan. Suara Lematang laksana kidung yang menenangkan. Diantara gemuruh masalah dan pekerjaan yang menghantam. Kidung itu mampu meredam sekaligus menghadirkan nuansa yang selalu dirindukan. Sang Pendamping berjuang menyelesaik...